Kebijakan Pangan Segera Ditata
A
A
A
Meski sejumlah harga produk pangan yang sempat bergejolak mulai “jinak”, masyarakat tetap diliputi rasa khawatir hal demikian bakal terulang untuk produk pangan lain.
Sepanjang awal tahun ini, tercatat tiga jenis pangan yang kenaikan harganya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, mulai dari harga kedelai yang melambung, lalu harga daging sapi yang selangit, diikuti harga bawang putih dan bawang merah yang meroket karena “menghilang” dari pasar. Saat ini, masyarakat sedang mewaspadai harga cabai yang mulai menunjukkan fluktuasi harga.
Menyaksikan sejumlah harga pangan yang tidak bersahabat itu, timbul pertanyaan besar bahwa ada yang putus antara kebijakan pangan yang diterapkan pemerintah dengan kondisi yang terjadi saat ini. Entah kebutuhan masyarakat yang melonjak begitu tinggi atau adanya kegagalan produksi untuk sejumlah bahan pangan sebesar-besarnya. Bisa saja keduanya melanda negeri ini.
Yang menjadi masalah adalah cara mengatasinya yang kurang tepat, bahkan cenderung mengambil jalan pintas, yakni membuka keran impor seluas-luasnya. Langkah membuka keran impor sebebas-bebasnya memang jitu dan instan menutupi kekurangan kebutuhan pangan untuk sementara, tetapi dampaknya langsung mengancam sendi-sendi perekonomian.
Pemerintah sebaiknya menjadikan cermin lebar dari gejolak harga kedelai, daging sapi, serta bawang putih dan bawang merah untuk merevisi dan memperbaiki kebijakan pangan secara menyeluruh. Memang, kebijakan melakukan impor untuk menutup kekurangan pangan tidak salah, tetapi masalahnya impor untuk berbagai pangan sudah kebablasan. Bayangkan untuk urusan singkong dan garam harus didatangkan dari luar negeri.
Ini sebuah ironi untuk negara agraris yang amat luas dengan garis pantai yang cukup panjang. Ada baiknya, pemerintah sedikit meluangkan waktu untuk membuka arsip-arsip kebijakan pertanian di zaman Orde Baru. Kebijakan pertanian mendapat prioritas dengan dukungan anggaran yang memadai, mulai dari praproduksi, produksi, distribusi hingga stabilisasi harga, teknologi pertanian, dan pangan.
Tanpa bermaksud membandingkan kebijakanera Reformasi dan zaman Orde Baru dalam pengamanan pangan untuk masyarakat, sekarang kebijakan apa yang menonjol telah dilakukan pemerintah saat ini? Bukannya tidak ada, tetapi kebijakannya serba-tidak fokus, koordinasi lintas kementerian tidak maksimal sehingga setiap timbul masalah.
Saling lempar tanggung jawab pun menjadi argumentasi yang dipertontonkan di depan masyarakat yang kebingungan menghitung harga pangan yang terus meroket secara bergantian. Ketika para importir buah-buahan dituduh hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan nasional, terkait dengan komitmen yang lemah terhadap petani buah lokal karena tidak melirik buah lokal, jawabannya sederhana bahwa ini persoalan distribusi yang mahal.
Hal itu bukan isapan jempol ketika harga daging sapi melambung di Ibu Kota. Hal itu sebenarnya tak perlu terjadi seandainya dukungan distribusi pusat-pusat penghasil daging sapi seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dapat berjalan lancar. Kementerian Pertanian sampai mengemis transportasi ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengangkut daging sapi dari sentra-sentra produksi yang berlimpah itu.
Lalu, kebijakan stabilisasi harga pangan bukannya tidak ada, tetapi cenderung bersifat jangka pendek atau dengan kata lain pemerintah hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran: setelah api padam urusan selesai, padahal tidak sebatas itu. Idealnya, sesudah api padam, bagaimana langkah berikutnya agar tidak timbul kebakaran lagi.
Dulu, untuk urusan stabilisasi harga pangan, Radio Republik Indonesia (RRI) pun punya andil yang sangat besar menyiarkan secara nasional perkembangan harga setiap malam sehingga peluang spekulan memainkan harga sangat tipis.
Sepanjang awal tahun ini, tercatat tiga jenis pangan yang kenaikan harganya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, mulai dari harga kedelai yang melambung, lalu harga daging sapi yang selangit, diikuti harga bawang putih dan bawang merah yang meroket karena “menghilang” dari pasar. Saat ini, masyarakat sedang mewaspadai harga cabai yang mulai menunjukkan fluktuasi harga.
Menyaksikan sejumlah harga pangan yang tidak bersahabat itu, timbul pertanyaan besar bahwa ada yang putus antara kebijakan pangan yang diterapkan pemerintah dengan kondisi yang terjadi saat ini. Entah kebutuhan masyarakat yang melonjak begitu tinggi atau adanya kegagalan produksi untuk sejumlah bahan pangan sebesar-besarnya. Bisa saja keduanya melanda negeri ini.
Yang menjadi masalah adalah cara mengatasinya yang kurang tepat, bahkan cenderung mengambil jalan pintas, yakni membuka keran impor seluas-luasnya. Langkah membuka keran impor sebebas-bebasnya memang jitu dan instan menutupi kekurangan kebutuhan pangan untuk sementara, tetapi dampaknya langsung mengancam sendi-sendi perekonomian.
Pemerintah sebaiknya menjadikan cermin lebar dari gejolak harga kedelai, daging sapi, serta bawang putih dan bawang merah untuk merevisi dan memperbaiki kebijakan pangan secara menyeluruh. Memang, kebijakan melakukan impor untuk menutup kekurangan pangan tidak salah, tetapi masalahnya impor untuk berbagai pangan sudah kebablasan. Bayangkan untuk urusan singkong dan garam harus didatangkan dari luar negeri.
Ini sebuah ironi untuk negara agraris yang amat luas dengan garis pantai yang cukup panjang. Ada baiknya, pemerintah sedikit meluangkan waktu untuk membuka arsip-arsip kebijakan pertanian di zaman Orde Baru. Kebijakan pertanian mendapat prioritas dengan dukungan anggaran yang memadai, mulai dari praproduksi, produksi, distribusi hingga stabilisasi harga, teknologi pertanian, dan pangan.
Tanpa bermaksud membandingkan kebijakanera Reformasi dan zaman Orde Baru dalam pengamanan pangan untuk masyarakat, sekarang kebijakan apa yang menonjol telah dilakukan pemerintah saat ini? Bukannya tidak ada, tetapi kebijakannya serba-tidak fokus, koordinasi lintas kementerian tidak maksimal sehingga setiap timbul masalah.
Saling lempar tanggung jawab pun menjadi argumentasi yang dipertontonkan di depan masyarakat yang kebingungan menghitung harga pangan yang terus meroket secara bergantian. Ketika para importir buah-buahan dituduh hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan nasional, terkait dengan komitmen yang lemah terhadap petani buah lokal karena tidak melirik buah lokal, jawabannya sederhana bahwa ini persoalan distribusi yang mahal.
Hal itu bukan isapan jempol ketika harga daging sapi melambung di Ibu Kota. Hal itu sebenarnya tak perlu terjadi seandainya dukungan distribusi pusat-pusat penghasil daging sapi seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dapat berjalan lancar. Kementerian Pertanian sampai mengemis transportasi ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengangkut daging sapi dari sentra-sentra produksi yang berlimpah itu.
Lalu, kebijakan stabilisasi harga pangan bukannya tidak ada, tetapi cenderung bersifat jangka pendek atau dengan kata lain pemerintah hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran: setelah api padam urusan selesai, padahal tidak sebatas itu. Idealnya, sesudah api padam, bagaimana langkah berikutnya agar tidak timbul kebakaran lagi.
Dulu, untuk urusan stabilisasi harga pangan, Radio Republik Indonesia (RRI) pun punya andil yang sangat besar menyiarkan secara nasional perkembangan harga setiap malam sehingga peluang spekulan memainkan harga sangat tipis.
(kri)