Ada penyimpangan di peraturan KPU
A
A
A
Sindonews.com - Dalam membuat peraturan seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengacu pada Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Hal tersebut, agar peraturan KPU itu tidak berbenturan dengan UU Pemilu. hal itu juga agar KPU tidak melakukan penyimpangan dalam membuat peraturan.
"Pembuatan peraturan KPU (harus) merujuk terhadap UU pemilu," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja saat dihubungi Sindonews, Jumat (29/3/2013).
Selain itu, kata dia, KPU telah melakukan penyimpangan dalam menafsirkan UU Pemilu. Dia mencontohkan, menyangkut syarat 30 persen perempuan di daerah pemilihan (dapil), jika syarat itu tidak terpenuhi maka caleg di dapil itu didrop semuanya. Padahal, dalam UU Pemilu itu hanya dikenakan sanksi sosial saja.
"Jika di satu dapil diharuskan dua perempuan, tapi hanya satu (yang ada), tidak bisa mengirimkan didrop semuanya, itu menghilangkan hak laki-laki dipilih di (dapil) situ. seharusnya cuma diumumkan oleh media, partai itu kena sanksi sosial," kata dia.
Penyimpangan peraturan KPU itu, lanjut dia, KPU menyatakan kepala desa dan kepala daerah yang nyaleg harus mundur dari jabatannya, sementara menurut UU Pemilu yang diharuskan mundur hanya kepala daerah.
"Perangkat negara tidak boleh berkampanye, jadi Kalau kepala desa nyaleg kampanye harus cuti dulu, kalau bupati harus mundur. Karena seorang bupati bisa mengkonsolidasikan warganya itu sangat mudah," kata dia.
Kendati demikian, kata dia, masih ada waktu untuk KPU segera memperbaiki peraturan KPU yang menyimpang itu, sehingga forum konsultasi dengan DPR sangat diperlukan.
"Maka di dalam UU Pemilu dan juga UU penyelenggara pemilu diminta berkonsultasi biar tidak nabrak UU, KPU silahkan konsultasi," pungkasnya.
Sebelumnya, Kamis 28 Maret 2013 malam kemarin, Komisi II DPR mengundang KPU ke DPR untuk membahas beberapa peraturan KPU. Pada pertemuan itu, Komisi II DPR banyak memberikan masukan, supaya KPU tidak keluar dari UU Pemilu.
"Pembuatan peraturan KPU (harus) merujuk terhadap UU pemilu," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja saat dihubungi Sindonews, Jumat (29/3/2013).
Selain itu, kata dia, KPU telah melakukan penyimpangan dalam menafsirkan UU Pemilu. Dia mencontohkan, menyangkut syarat 30 persen perempuan di daerah pemilihan (dapil), jika syarat itu tidak terpenuhi maka caleg di dapil itu didrop semuanya. Padahal, dalam UU Pemilu itu hanya dikenakan sanksi sosial saja.
"Jika di satu dapil diharuskan dua perempuan, tapi hanya satu (yang ada), tidak bisa mengirimkan didrop semuanya, itu menghilangkan hak laki-laki dipilih di (dapil) situ. seharusnya cuma diumumkan oleh media, partai itu kena sanksi sosial," kata dia.
Penyimpangan peraturan KPU itu, lanjut dia, KPU menyatakan kepala desa dan kepala daerah yang nyaleg harus mundur dari jabatannya, sementara menurut UU Pemilu yang diharuskan mundur hanya kepala daerah.
"Perangkat negara tidak boleh berkampanye, jadi Kalau kepala desa nyaleg kampanye harus cuti dulu, kalau bupati harus mundur. Karena seorang bupati bisa mengkonsolidasikan warganya itu sangat mudah," kata dia.
Kendati demikian, kata dia, masih ada waktu untuk KPU segera memperbaiki peraturan KPU yang menyimpang itu, sehingga forum konsultasi dengan DPR sangat diperlukan.
"Maka di dalam UU Pemilu dan juga UU penyelenggara pemilu diminta berkonsultasi biar tidak nabrak UU, KPU silahkan konsultasi," pungkasnya.
Sebelumnya, Kamis 28 Maret 2013 malam kemarin, Komisi II DPR mengundang KPU ke DPR untuk membahas beberapa peraturan KPU. Pada pertemuan itu, Komisi II DPR banyak memberikan masukan, supaya KPU tidak keluar dari UU Pemilu.
(mhd)