Deklarasi Ciganjur & skenario penyelamatan Golkar
A
A
A
PEMBANTAIAN sekira satu juta lebih kaum komunis dan pendukung ideologi Marxisme-Leninisme yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 1965-1968, meninggalkan trauma mendalam bagi republik. Ketakutan itu kembali muncul pasca tumbangnya rezim otoriter Soeharto, pada 21 Mei 1998.
Mahasiswa mendesak Partai Golkar dibubarkan, dan dijadikan terlarang. Para pendukung Soeharto, pada 1960-an pernah melakukan hal ini terhadap PKI dan simpatisannya. Kekhawatiran akan terjadinya aksi balas dendam pun mencuat dari sebagian aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ).
"Begitu Golkar menjadi partai terlarang, akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Itu yang kami baca saat itu, sebab saat itu kami melihat penyebab rusaknya Orde Baru adalah Golkar," ujar pendiri FKSMJ Usmar Ismail, saat berbincang dengan Sindonews, di kampus Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Jakarta, pertengahan Mei 2013.
Di tengah kebimbangan arah gerakan saat itu, muncul ide menyatukan empat tokoh oposisi yang dikenal bersih saat itu untuk membawa arah reformasi yang mereka bidani. Pertemuan ini, dikenal dengan sebutan Deklarasi Ciganjur, yang dilangsungkan pada 10 November 1998.
Masing-masing tokoh itu, memiliki jumlah massa pendukung, dan dianggap mewakili berbagai kepentingan yang ada. Mereka adalah Abdurrahman Wahid yang kemudian menjadi Presiden RI ke-3 menggantikan BJ Habibie. Saat itu, pria yang biasa disapa Gusdur itu adalah tokoh oposisi yang memiliki basis pendukung dari kalangan NU.
Begitupun Amien Rais yang mewakili Muhammadiyah, dan dikenal kritis terhadap rezim Orde Baru. Tokoh selanjutnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kendati masuk dalam lingkaran dalam Soeharto di Partai Golkar, Sultan dikenal sebagai tokoh yang cukup bersih ketimbang tokoh Golkar yang lainnya.
Terakhir adalah Megawati Soekarnoputri. Putri Bung Karno ini dikenal sebagai tokoh oposisi dan mewakili kelompok nasionalis yang terpinggirkan dan teraniaya. Terlebih setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli. Sosok Megawati dilihat sebagai simbol perlawanan, sekaligus korban militerisme Orde Baru.
"Saat itu kami melihat dengan kacamata yang lebih jernih. Makanya, saat itu kami meyakini, bahwa sesuatu itu akan berhasil jika diserahkan kepada ahlinya. Dengan mengangkat empat orang ini, kami berharap mereka bisa membawa arah revolusi sosial yang tengah terjadi. Itu pertimbangan FKSMJ," ungkapnya.
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya FKSMJ bersepakat untuk mempertemukan keempat tokoh itu. Berikut isi Deklarasi Ciganjur:
I. Kami bangsa Indonesia mengakui, menyadari, dan meyakini bahwa negra Republik Indonesia adalah amanah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang wajib kita pertahankan, kita amankan, dan kita selamatkan dari ancaman mara bahaya yang datang setiap saat.
II. Bahwa bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat, telah melalui sejarah dengan kenangan tersendiri yang pahit dan getir, maupun yang manis. Sementara Indonesia akan terus bernyanyi, karena rakyatnya cinta damai, kerukunan, kekeluargaan, hormat menghormati, dalam kerangka persatuan dan kesatuan.
III. Selaku warganegara yang cinta tanah air, kami siap melakukan bela negara. Karena kami adalah pemilik sah negeri ini, kami adalah tuan di negeri sendiri, bukannya manusia tak bermartabat.
IV. Selaku tokoh masyarakat ataupun pemimpin masyarakat dan pemuda, kami sadar dan siap melakukan apapun yang terbaik demi keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Termasuk antara lain menyatakan diri salah, dan meminta maaf. Bahkan lengser dari jabatan apabila hal itu dirasa baik dan bijaksana secara pribadi, demi kejayaan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Selain empat poin itu, masih ada delapan poin lainnya. Kedelapan poin ini, merupakan inti dari Deklarasi Ciganjur yang penuh pro dan kontra itu. Berikut delapan poin Deklarasi Ciganjur:
1. Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa secara utuh dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dalam Negara Kebangsaan dan Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Para pemimpin formal maupun informal haruslah konsisten dengan semangat ini.
2. Mengembalikan kedaulatan rakyat dan memberdayakan lembaga-lembaga perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat yang mementingkan kepentingan rakyat bukan kepentingan penguasa.
3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sebagai azas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa ke arah masyarakat yang adil dan sejahtera, melalui cara-cara yang demokratis. Dalam rangka itu, haruslah dilakukan desentralisasi pemerintahan, sesuai dengan kemampuan daerah, dan ditetapkan penimbangan keuangan yang adil, antara pemerintah pusat dan daerah.
4. Agar dalam pelaksanaan reformasi diletakkan dalam perspektif kepentingan generasi baru Indonesia dalam menghadapi tantangan bangsa di masa yang akan datang.
5. Segera dilaksanakannya Pemilu yang jujur dan adil yang dilaksanakan oleh pelaksana independen, di mana panitia pemilu terdiri atas peserta pemilu, dan diawasi oleh tim independen. Pemilu merupakan jalan demokratis untuk untuk mengakhiri pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Presiden BJ Habibie, sekaligus menjadi cara untuk menetapkan pemerintahan yang baru secara legitimate. Selambat-lambatnya dalam tiga bulan setelah Pemilu pada bulan Mei 1999 berlangsung, pemerintahan baru itu harus sudah terbentuk melalui SU MPR.
6. Penghapusan dwifungsi ABRI secara bertahap, paling lama 6 (enam) tahun, dari tanggal pernyataan ini dibacakan dalam rangka mewujudkan masyarakat madani.
7. Dilakukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk menghapus dan mengusut pelaku KKN, diawali dengan pengusutan harta kekayaan Soeharto, dan para kroninya sesuai prosedur hukum yang berlaku.
8. Mendesak seluruh Pengamanan (PAM) Swakarsa Sidang Istimewa MPR 1998 untuk segera membubarkan diri saat ini juga, dan kembali ke rumah masing-masing agar tidak memperkeruh keadaan.
Selain FKSMJ, Deklarasi Ciganjur juga digagas oleh Keluarga Mahasiswa ITB (KM-ITB), dan Mahasiswa Universitas Siliwangi (UNSIL).
Pasca pertemuan itu, konsolidasi gerakan mahasiswa tidak berhenti. Wacana untuk membubarkan Partai Golkar dan menjadikannya sebagai partai terlarang pun kembali berhembus. Perdebatan antara mahasiswa yang mendukung membubarkan Golkar dan menjadikannya sebagai partai terlarang dan yang kontra pun berlanjut.
Hingga akhirnya lahir ide dari FKSMJ yang terkenal radikal, potong satu generasi. Di tingkat mahasiswa, ide ini banyak mendapat dukungan. Namun, segera dimentahkan oleh para elite politik yang ada saat itu. Termasuk oleh tokoh Ciganjur yang mereka usung.
"Potong satu generasi itu adalah, setiap orang yang pernah memegang jabatan publik dari lurah ke atas, harus dimoratorium minimal dua kali pemilu. Tapi tidak didukung. Sebab banyak bacaan, potong satu generasi itu berdarah-darah. Untuk potong satu generasi itu butuh dukungan dari semua elemen masyarakat," ungkap pria yang kini menjabat sebagai Kepala Biro Kemahasiswaan dan Alumni Moestopo.
Mahasiswa mendesak Partai Golkar dibubarkan, dan dijadikan terlarang. Para pendukung Soeharto, pada 1960-an pernah melakukan hal ini terhadap PKI dan simpatisannya. Kekhawatiran akan terjadinya aksi balas dendam pun mencuat dari sebagian aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ).
"Begitu Golkar menjadi partai terlarang, akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Itu yang kami baca saat itu, sebab saat itu kami melihat penyebab rusaknya Orde Baru adalah Golkar," ujar pendiri FKSMJ Usmar Ismail, saat berbincang dengan Sindonews, di kampus Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Jakarta, pertengahan Mei 2013.
Di tengah kebimbangan arah gerakan saat itu, muncul ide menyatukan empat tokoh oposisi yang dikenal bersih saat itu untuk membawa arah reformasi yang mereka bidani. Pertemuan ini, dikenal dengan sebutan Deklarasi Ciganjur, yang dilangsungkan pada 10 November 1998.
Masing-masing tokoh itu, memiliki jumlah massa pendukung, dan dianggap mewakili berbagai kepentingan yang ada. Mereka adalah Abdurrahman Wahid yang kemudian menjadi Presiden RI ke-3 menggantikan BJ Habibie. Saat itu, pria yang biasa disapa Gusdur itu adalah tokoh oposisi yang memiliki basis pendukung dari kalangan NU.
Begitupun Amien Rais yang mewakili Muhammadiyah, dan dikenal kritis terhadap rezim Orde Baru. Tokoh selanjutnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kendati masuk dalam lingkaran dalam Soeharto di Partai Golkar, Sultan dikenal sebagai tokoh yang cukup bersih ketimbang tokoh Golkar yang lainnya.
Terakhir adalah Megawati Soekarnoputri. Putri Bung Karno ini dikenal sebagai tokoh oposisi dan mewakili kelompok nasionalis yang terpinggirkan dan teraniaya. Terlebih setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli. Sosok Megawati dilihat sebagai simbol perlawanan, sekaligus korban militerisme Orde Baru.
"Saat itu kami melihat dengan kacamata yang lebih jernih. Makanya, saat itu kami meyakini, bahwa sesuatu itu akan berhasil jika diserahkan kepada ahlinya. Dengan mengangkat empat orang ini, kami berharap mereka bisa membawa arah revolusi sosial yang tengah terjadi. Itu pertimbangan FKSMJ," ungkapnya.
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya FKSMJ bersepakat untuk mempertemukan keempat tokoh itu. Berikut isi Deklarasi Ciganjur:
I. Kami bangsa Indonesia mengakui, menyadari, dan meyakini bahwa negra Republik Indonesia adalah amanah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang wajib kita pertahankan, kita amankan, dan kita selamatkan dari ancaman mara bahaya yang datang setiap saat.
II. Bahwa bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat, telah melalui sejarah dengan kenangan tersendiri yang pahit dan getir, maupun yang manis. Sementara Indonesia akan terus bernyanyi, karena rakyatnya cinta damai, kerukunan, kekeluargaan, hormat menghormati, dalam kerangka persatuan dan kesatuan.
III. Selaku warganegara yang cinta tanah air, kami siap melakukan bela negara. Karena kami adalah pemilik sah negeri ini, kami adalah tuan di negeri sendiri, bukannya manusia tak bermartabat.
IV. Selaku tokoh masyarakat ataupun pemimpin masyarakat dan pemuda, kami sadar dan siap melakukan apapun yang terbaik demi keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Termasuk antara lain menyatakan diri salah, dan meminta maaf. Bahkan lengser dari jabatan apabila hal itu dirasa baik dan bijaksana secara pribadi, demi kejayaan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Selain empat poin itu, masih ada delapan poin lainnya. Kedelapan poin ini, merupakan inti dari Deklarasi Ciganjur yang penuh pro dan kontra itu. Berikut delapan poin Deklarasi Ciganjur:
1. Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa secara utuh dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dalam Negara Kebangsaan dan Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Para pemimpin formal maupun informal haruslah konsisten dengan semangat ini.
2. Mengembalikan kedaulatan rakyat dan memberdayakan lembaga-lembaga perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat yang mementingkan kepentingan rakyat bukan kepentingan penguasa.
3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sebagai azas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa ke arah masyarakat yang adil dan sejahtera, melalui cara-cara yang demokratis. Dalam rangka itu, haruslah dilakukan desentralisasi pemerintahan, sesuai dengan kemampuan daerah, dan ditetapkan penimbangan keuangan yang adil, antara pemerintah pusat dan daerah.
4. Agar dalam pelaksanaan reformasi diletakkan dalam perspektif kepentingan generasi baru Indonesia dalam menghadapi tantangan bangsa di masa yang akan datang.
5. Segera dilaksanakannya Pemilu yang jujur dan adil yang dilaksanakan oleh pelaksana independen, di mana panitia pemilu terdiri atas peserta pemilu, dan diawasi oleh tim independen. Pemilu merupakan jalan demokratis untuk untuk mengakhiri pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Presiden BJ Habibie, sekaligus menjadi cara untuk menetapkan pemerintahan yang baru secara legitimate. Selambat-lambatnya dalam tiga bulan setelah Pemilu pada bulan Mei 1999 berlangsung, pemerintahan baru itu harus sudah terbentuk melalui SU MPR.
6. Penghapusan dwifungsi ABRI secara bertahap, paling lama 6 (enam) tahun, dari tanggal pernyataan ini dibacakan dalam rangka mewujudkan masyarakat madani.
7. Dilakukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk menghapus dan mengusut pelaku KKN, diawali dengan pengusutan harta kekayaan Soeharto, dan para kroninya sesuai prosedur hukum yang berlaku.
8. Mendesak seluruh Pengamanan (PAM) Swakarsa Sidang Istimewa MPR 1998 untuk segera membubarkan diri saat ini juga, dan kembali ke rumah masing-masing agar tidak memperkeruh keadaan.
Selain FKSMJ, Deklarasi Ciganjur juga digagas oleh Keluarga Mahasiswa ITB (KM-ITB), dan Mahasiswa Universitas Siliwangi (UNSIL).
Pasca pertemuan itu, konsolidasi gerakan mahasiswa tidak berhenti. Wacana untuk membubarkan Partai Golkar dan menjadikannya sebagai partai terlarang pun kembali berhembus. Perdebatan antara mahasiswa yang mendukung membubarkan Golkar dan menjadikannya sebagai partai terlarang dan yang kontra pun berlanjut.
Hingga akhirnya lahir ide dari FKSMJ yang terkenal radikal, potong satu generasi. Di tingkat mahasiswa, ide ini banyak mendapat dukungan. Namun, segera dimentahkan oleh para elite politik yang ada saat itu. Termasuk oleh tokoh Ciganjur yang mereka usung.
"Potong satu generasi itu adalah, setiap orang yang pernah memegang jabatan publik dari lurah ke atas, harus dimoratorium minimal dua kali pemilu. Tapi tidak didukung. Sebab banyak bacaan, potong satu generasi itu berdarah-darah. Untuk potong satu generasi itu butuh dukungan dari semua elemen masyarakat," ungkap pria yang kini menjabat sebagai Kepala Biro Kemahasiswaan dan Alumni Moestopo.
(san)