Santun sikapi kritik
A
A
A
Kritik dalam kehidupan berbangsa di negara demokrasi merupakan sesuatu yang lumrah. Kritik bahkan diperlukan untuk mengingatkan pemerintah maupun lembaga publik agar tidak melenceng dari misinya melayani masyarakat.
Kritik boleh datang dari siapa saja. Ibu rumah tangga, tukang bakso, mahasiswa, orang tua, direktur, akademisi, tokoh agama, ulama, pengamat, dan semua boleh menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah atau aparat negara. Wajar jika seorang publik figur yang mempunyai jabatan dan kuasa yang tinggi akan menjadi sasaran kritik. Mulai dari yang lembut, sedang, sampai kritik kasar. Karena itu, lembaga negara seperti DPR, MA, kepresidenan, KPK, MK, dan lain-lain harus siap dikritik oleh rakyat selama 24 jam.
Para pimpinan lembaga negara itu juga harus mendengarkan dan mempertimbangkan kritik rakyat dalam pengambilan keputusan. Jika seorang pejabat publik sudah kebal kritik, orang akan yakin ini pertanda kejatuhan bagi si pejabat. Yang perlu ditekankan di sini bagaimana para pejabat publik kita menyikapi kritik. Ada bermacam-macam reaksi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, pasti memiliki reaksi berbeda dengan Ketua MK Mahfud MD dalam merespons kritik.
Dari derajat kekuasaan tentu SBY akan lebih banyak menerima kritik daripada ketua MK, ketua DPR, Kapolri, jaksa agung, dan seterusnya. Karena itu, beban psikologis Presiden pasti lebih banyak dari pejabat lain. Celakanya lagi, Presiden tidak bisa menyikapi kritik yang pedas sekalipun secara serampangan. Sekali dia keliru merespons kritik, baik bahasa lisan maupun bahasa tubuhnya, kritik berikutnya akan semakin keras.
Karena itulah, seorang Presiden harus didampingi orang-orang dekat (baik itu menteri, penasihat, staf khusus, maupun juru bicara) yang kapabel, kredibel, dan memiliki kepekaan terhadap fenomena masyarakat serta berintegritas tinggi. Presiden adalah manusia biasa yang bisa salah karena beban kerjanya berat dalam memimpin pemerintahan. Kelemahan itu harus bisa ditutupi oleh orang-orang dekatnya sehingga respons yang diberikan Presiden saat kritis tidak salah.
Seorang pemimpin ketika menghadapi situasi krisis yang berat pasti akan memanggil orang-orang dekat yang dia percaya untuk minta pertimbangan. Lain cerita ketika seorang Presiden tidak lagi percaya sama orang-orang dekatnya dan menganggap diri yang paling benar. Lain cerita juga jika Presiden ternyata salah memilih orang-orang dekatnya sehingga pertimbangan yang masuk kepadanya lebih banyak menjadi jebakan. Kita percaya Presiden SBY sangat concern dalam memilih para pembantunya sehingga semestinya Presiden bisa memberi respons yang santun dan elegan ketika menghadapi serangan politik dari masyarakat dan media massa.
Respons itu harus sangat terukur dan tepat. Komunikasi intens yang dilalukan Presiden SBY kepada tokohtokoh masyarakat akhir-akhir ini merupakan langkah baik. Apa pun silaturahmi adalah bagian penting dari penyelesaian masalah. Namun, energi positif dari pertemuan itu berubah menjadi negatif karena tuduhan ada kekuatan yang akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Tidak jelas dari mana sumber isu kudeta itu datang. Tapi jika isu itu datangnya dari Istana, amatlah disayangkan.
Jika gencarnya kritik kepada Presiden beberapa waktu terakhir diterjemahkan sebagai tanda-tanda kudeta, pastilah ini kesimpulan yang prematur. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana Presiden menjawab semua kritik kepadanya dengan bijak dan santun. Jika jawaban itu jujur dan baik, pastilah kritik akan mereda. Retorika soal kudeta bukan jawaban yang cerdas dan santun terhadap kritikan
Kritik boleh datang dari siapa saja. Ibu rumah tangga, tukang bakso, mahasiswa, orang tua, direktur, akademisi, tokoh agama, ulama, pengamat, dan semua boleh menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah atau aparat negara. Wajar jika seorang publik figur yang mempunyai jabatan dan kuasa yang tinggi akan menjadi sasaran kritik. Mulai dari yang lembut, sedang, sampai kritik kasar. Karena itu, lembaga negara seperti DPR, MA, kepresidenan, KPK, MK, dan lain-lain harus siap dikritik oleh rakyat selama 24 jam.
Para pimpinan lembaga negara itu juga harus mendengarkan dan mempertimbangkan kritik rakyat dalam pengambilan keputusan. Jika seorang pejabat publik sudah kebal kritik, orang akan yakin ini pertanda kejatuhan bagi si pejabat. Yang perlu ditekankan di sini bagaimana para pejabat publik kita menyikapi kritik. Ada bermacam-macam reaksi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, pasti memiliki reaksi berbeda dengan Ketua MK Mahfud MD dalam merespons kritik.
Dari derajat kekuasaan tentu SBY akan lebih banyak menerima kritik daripada ketua MK, ketua DPR, Kapolri, jaksa agung, dan seterusnya. Karena itu, beban psikologis Presiden pasti lebih banyak dari pejabat lain. Celakanya lagi, Presiden tidak bisa menyikapi kritik yang pedas sekalipun secara serampangan. Sekali dia keliru merespons kritik, baik bahasa lisan maupun bahasa tubuhnya, kritik berikutnya akan semakin keras.
Karena itulah, seorang Presiden harus didampingi orang-orang dekat (baik itu menteri, penasihat, staf khusus, maupun juru bicara) yang kapabel, kredibel, dan memiliki kepekaan terhadap fenomena masyarakat serta berintegritas tinggi. Presiden adalah manusia biasa yang bisa salah karena beban kerjanya berat dalam memimpin pemerintahan. Kelemahan itu harus bisa ditutupi oleh orang-orang dekatnya sehingga respons yang diberikan Presiden saat kritis tidak salah.
Seorang pemimpin ketika menghadapi situasi krisis yang berat pasti akan memanggil orang-orang dekat yang dia percaya untuk minta pertimbangan. Lain cerita ketika seorang Presiden tidak lagi percaya sama orang-orang dekatnya dan menganggap diri yang paling benar. Lain cerita juga jika Presiden ternyata salah memilih orang-orang dekatnya sehingga pertimbangan yang masuk kepadanya lebih banyak menjadi jebakan. Kita percaya Presiden SBY sangat concern dalam memilih para pembantunya sehingga semestinya Presiden bisa memberi respons yang santun dan elegan ketika menghadapi serangan politik dari masyarakat dan media massa.
Respons itu harus sangat terukur dan tepat. Komunikasi intens yang dilalukan Presiden SBY kepada tokohtokoh masyarakat akhir-akhir ini merupakan langkah baik. Apa pun silaturahmi adalah bagian penting dari penyelesaian masalah. Namun, energi positif dari pertemuan itu berubah menjadi negatif karena tuduhan ada kekuatan yang akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Tidak jelas dari mana sumber isu kudeta itu datang. Tapi jika isu itu datangnya dari Istana, amatlah disayangkan.
Jika gencarnya kritik kepada Presiden beberapa waktu terakhir diterjemahkan sebagai tanda-tanda kudeta, pastilah ini kesimpulan yang prematur. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana Presiden menjawab semua kritik kepadanya dengan bijak dan santun. Jika jawaban itu jujur dan baik, pastilah kritik akan mereda. Retorika soal kudeta bukan jawaban yang cerdas dan santun terhadap kritikan
(stb)