Sutan: Presiden idealnya tak rangkap jabatan di partai
A
A
A
Sindonews - Wakil Ketua Fraksi Demokrat Sutan Bhatoegana sepakat jika seorang yang terpilih menjadi Presiden harus melepas jabatannya di partai. Menurutnya, aturan itu tak hanya berlaku bagi Presiden tapi juga seluruh pejabat negara.
"Ya untuk idealnya sih begitu. Tapi bukan aja Presiden, tapi juga berlaku untuk semua pejabat negara yang di eksekutif, dari Lurah sampai Presiden. Seperti yang dikatakan, 'My loyality to party ends, when my loyality to country begin'," kepada Sindonews, Kamis (21/2/2013).
Mengapa hal itu dipandang ideal? Karena, kata Sutan, pejabat negara yang sudah terpilih sudah menjadi milik rakyat bukan lagi milik partai. Namun, menurutnya, masih membutuhkan waktu yang panjang mematangkan aturan itu.
"Namun itu berlaku untuk beberapa tahun ke depan lagi. Sampai Demokrasi kita berjalan dan tumbuh berkembang dengan baik seiring dengan telah berubahnya performance parpol-parpol kita secara menjanjikan," ucapnya.
Sementara, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengajak segenap lapisan masyarakat mendorong agar dilakukannya pembatasan terhadap Presiden untuk menduduki posisi strategis di partai. Tujuannya, agar Presiden bisa fokus dalam mengurusi negara dan rakyat yang telah memilihnya.
"Saya kira itu yang harus kita dorong. Presiden 2014 enggak boleh memegang posisi strategis di partai. Enggak boleh menjadi orang kunci di partai. Sehingga ke depan seluruh hal yang terjadi di partai tidak harus yang bersangkutan menyelesaikannya," ujarnya.
Untuk itu, pihaknya mendorong agar Undang-Undang Pilpres yang sedang digodok Badan Legislasi (Baleg) DPR bisa memasukkan batasan-batasan seorang Presiden wajib melepas jabatan di partai.
"Saya kira kita akan terus dorong seperti itu. Berkaca apa yang terjadi pada SBY dua periode ini. Itu dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan fasilitas negara. Karena itu penting Undang-Undang Pilpres pembatasan itu," ujarnya.
"Ya untuk idealnya sih begitu. Tapi bukan aja Presiden, tapi juga berlaku untuk semua pejabat negara yang di eksekutif, dari Lurah sampai Presiden. Seperti yang dikatakan, 'My loyality to party ends, when my loyality to country begin'," kepada Sindonews, Kamis (21/2/2013).
Mengapa hal itu dipandang ideal? Karena, kata Sutan, pejabat negara yang sudah terpilih sudah menjadi milik rakyat bukan lagi milik partai. Namun, menurutnya, masih membutuhkan waktu yang panjang mematangkan aturan itu.
"Namun itu berlaku untuk beberapa tahun ke depan lagi. Sampai Demokrasi kita berjalan dan tumbuh berkembang dengan baik seiring dengan telah berubahnya performance parpol-parpol kita secara menjanjikan," ucapnya.
Sementara, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengajak segenap lapisan masyarakat mendorong agar dilakukannya pembatasan terhadap Presiden untuk menduduki posisi strategis di partai. Tujuannya, agar Presiden bisa fokus dalam mengurusi negara dan rakyat yang telah memilihnya.
"Saya kira itu yang harus kita dorong. Presiden 2014 enggak boleh memegang posisi strategis di partai. Enggak boleh menjadi orang kunci di partai. Sehingga ke depan seluruh hal yang terjadi di partai tidak harus yang bersangkutan menyelesaikannya," ujarnya.
Untuk itu, pihaknya mendorong agar Undang-Undang Pilpres yang sedang digodok Badan Legislasi (Baleg) DPR bisa memasukkan batasan-batasan seorang Presiden wajib melepas jabatan di partai.
"Saya kira kita akan terus dorong seperti itu. Berkaca apa yang terjadi pada SBY dua periode ini. Itu dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan fasilitas negara. Karena itu penting Undang-Undang Pilpres pembatasan itu," ujarnya.
(kri)