Amran minta KPK jadikan Amir dan Totok tersangka
A
A
A
Sindonews.com - Terdakwa kasus suap hak guna usaha (HGU) di Kabupaten Buol yang juga mantan Bupati Buol Amran Batalipu menilai, Direktur PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) Totok Lestiyo, Asisten I Bupati Buol dan mantan Ketua Tim Lahan, Amir Rihan Togila juga patut dijadikan tersangka.
Menurut Amran, Totok adalah perantara antara dia dan Hartati. Sementara Amir dan sembilan anggota tim lahan menerima uang imbalan masing-masing Rp 10 juta buat menerbitkan surat rekomendasi penerbitan HGU dan izin usaha perkebunan (IUP) buat PT HIP.
"Karena kedua orang itu jelas-jelas terlibat dalam perkara ini. Waktu proses penyidikan, penyidik KPK berjanji menjadikan keduanya sebagai tersangka," kata Amran usai pembacaan putusan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/2/2013).
Amran mengungkapkan, hal tersebut lantaran dirinya berkaca dari perkara suap dana penyesuaian infrastruktur daerah yang melibatkan terdakwa Fahd A Rafiq. Dimana saat ini ada saran dari lima anggota majelis hakim kepada penuntut umum KPK agar menetapkan Haris Andi Surahman menjadi tersangka, lantaran memberi keterangan berbelit dalam sidang.
Menanggapi permintaan Amran, Hakim Ketua Gusrizal Lubis tak sepakat. Dikatakan Gusrizal, penetapan seseorang menjadi tersangka bukan kewenangan hakim, melainkan kewenangan penyidik.
"Masalah siapa yang akan jadi tersangka menurut KUHAP adalah kewenangan penyidik. Kami majelis hakim tidak bisa melakukan hal itu. Kami hanya menerima perkara dan menyidangkannya," kata hakim Ketua Gusrizal menimpali permintaan Amran.
Sebelumnnya, Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, akhirnya menjatuhkan putusan kepada mantan Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu, dengan pidana penjara selama 7,5 tahun. Majelis hakim juga memutuskan pidana denda buat Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, sebesar Rp 300 juta seubsider selama enam bulan kurungan.
Hakim menilai bahwa Amran terbukti melanggar dakwaan pertama. Yakni Pasal 12 huruf a Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Vonis Amran hari ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebab, sebelumnya jaksa menuntut Amran dengan pidana penjara selama 12 tahun. Dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Saat itu jaksa juga meminta hakim memerintahkan Amran membayar uang pengganti Rp 3 miliar.
Soal uang mengganti Rp 3 miliar seperti dalam tuntutan jaksa, hakim tak sepakat. Sebab, duit yang diterima Amran tidak merugikan keuangan negara.
"Tidak lah tepat jika terdakwa dibebani penggantian uang kerugian negara karena memang tidak ada kerugian negara dalam kasus ini. Uang yang diterima dari Hartati bukanlah kerugian negara," kata anggota majelis hakim Made Hendra saat persidangan.
Menurut Amran, Totok adalah perantara antara dia dan Hartati. Sementara Amir dan sembilan anggota tim lahan menerima uang imbalan masing-masing Rp 10 juta buat menerbitkan surat rekomendasi penerbitan HGU dan izin usaha perkebunan (IUP) buat PT HIP.
"Karena kedua orang itu jelas-jelas terlibat dalam perkara ini. Waktu proses penyidikan, penyidik KPK berjanji menjadikan keduanya sebagai tersangka," kata Amran usai pembacaan putusan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/2/2013).
Amran mengungkapkan, hal tersebut lantaran dirinya berkaca dari perkara suap dana penyesuaian infrastruktur daerah yang melibatkan terdakwa Fahd A Rafiq. Dimana saat ini ada saran dari lima anggota majelis hakim kepada penuntut umum KPK agar menetapkan Haris Andi Surahman menjadi tersangka, lantaran memberi keterangan berbelit dalam sidang.
Menanggapi permintaan Amran, Hakim Ketua Gusrizal Lubis tak sepakat. Dikatakan Gusrizal, penetapan seseorang menjadi tersangka bukan kewenangan hakim, melainkan kewenangan penyidik.
"Masalah siapa yang akan jadi tersangka menurut KUHAP adalah kewenangan penyidik. Kami majelis hakim tidak bisa melakukan hal itu. Kami hanya menerima perkara dan menyidangkannya," kata hakim Ketua Gusrizal menimpali permintaan Amran.
Sebelumnnya, Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, akhirnya menjatuhkan putusan kepada mantan Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu, dengan pidana penjara selama 7,5 tahun. Majelis hakim juga memutuskan pidana denda buat Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, sebesar Rp 300 juta seubsider selama enam bulan kurungan.
Hakim menilai bahwa Amran terbukti melanggar dakwaan pertama. Yakni Pasal 12 huruf a Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Vonis Amran hari ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebab, sebelumnya jaksa menuntut Amran dengan pidana penjara selama 12 tahun. Dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Saat itu jaksa juga meminta hakim memerintahkan Amran membayar uang pengganti Rp 3 miliar.
Soal uang mengganti Rp 3 miliar seperti dalam tuntutan jaksa, hakim tak sepakat. Sebab, duit yang diterima Amran tidak merugikan keuangan negara.
"Tidak lah tepat jika terdakwa dibebani penggantian uang kerugian negara karena memang tidak ada kerugian negara dalam kasus ini. Uang yang diterima dari Hartati bukanlah kerugian negara," kata anggota majelis hakim Made Hendra saat persidangan.
(kri)