Agar tak jadi pengangguran intelek

Minggu, 10 Februari 2013 - 18:11 WIB
Agar tak jadi pengangguran intelek
Agar tak jadi pengangguran intelek
A A A
DUNIA pendidikan tidak selalu paralel dengan realitas dunia kerja. Wajar jika banyak lulusan perguruan tinggi begitu memasuki dunia kerja langsung terkaget-kaget. Apa yang mereka pikirkan selama kuliah ternyata sama sekali berbeda dengan kenyataan. Karena itu, ilmu yang mereka dapat di bangku kuliah seringkali juga tidak banyak membantu dalam dunia kerja.

Kesenjangan realitas dunia pendidikan dengan dunia kerja inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya pengangguran terdidik di Tanah Air. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012, pada Agustus 2010 jumlah pengangguran terbuka lulusan D-3 mencapai 443,2 ribu orang. Pada periode yang sama 2011 angkanya menurun menjadi 244,6 ribu orang.

Agustus tahun lalu, angka pengangguran berpendidikan D-3 sekitar 196,7 ribu orang. Sementara pengangguran yang menyandang gelar sarjana (S-1) pada Agustus 2010 mencapai 710,1 ribu orang. Pada periode yang sama tahun berikutnya angkanya menurun menjadi 492,3 ribu orang. Pada Agustus tahun lalu, angka pengangguran terbuka lulusan S1 mencapai 438,2 ribu orang. Padahal, jumlah pengangguran intelektual cukup signifikan pada tahun-tahun sebelumnya.

Pada 2005 jumlahnya sebesar 385.400 orang. Kemudian naik menjadi 409.900 orang pada 2007 dan pada 2008 menjadi 626.200 orang. Di samping ketersediaan lapangan pekerjaan, kesiapan memasuki dunia kerja juga menjadi salah satu faktor meningkatnya jumlah pengangguran intelektual. Realitas tingginya pengangguran terdidik di Indonesia diperparah dengan minat mahasiswa yang enggan berwirausaha setelah kuliah.

Karena itu,lembaga pendidikan dituntut agar mampu mencetak entrepreneur agar tidak bergantung pada minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Sekolah menengah kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan yang diharapkan mengambil peran tersebut. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah SMK saat ini sebanyak 10.685 sekolah. Dari jumlah tersebut 2.841 berstatus SMK negeri dan 7.844 sekolah swasta.

Selain menghasilkan lulusan siap kerja, SMK juga diharapkan bisa menghasilkan wirausaha muda. Direktur Pembinaan SMK Kemendikbud Anang Tjahyono menyatakan, sejak masuk kelas 1 SMK, guru sudah diharuskan merangsang jiwa wirausaha kepada siswa misalnya mengajak siswa menciptakan ide wirausaha. Siswa diminta mendesain ruangan plus menghitung biaya yang dibutuhkan. Sekolah juga diharapkan membuat unit bisnis yang dikelola sekolah dan siswa.

”Kita memberikan bantuan agar sekolah memulai berwirausaha,”kata Anang di Jakarta,Kamis (7/2). Sementara itu, menurut pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali, SMK selama ini dicanangkan untuk mengisi ketersediaan tenaga kerja di bidang industri seiring dengan investasi yang meningkat. Investasi ini dipergunakan untuk menekan impor dan peran tenaga kerja dari SMK sangat dibutuhkan. SMK masih didominasi pemenuhan tenaga kerja dibanding pembentukan entrepreneur.

Rhenald menyarankan, jika pemerintah ingin mencetak jiwa wirausaha sejak dini, basis fundamental pendidikan di Indonesia harus diubah. Tidak bisa siswa hanya dituntut pasif dengan diajari untuk mendengar, mencatat dan menghafal soal ujian. Salah satu basis pendidikan yang perlu diperbaiki adalah bahasa. Penguasaan bahasa Inggris siswa Indonesia termasuk yang paling kecil di ASEAN. Guna menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN pada 2015,persaingan dagang antarnegara akan semakin ketat.

Menurut Rhenald, penguasaan bahasa sangat berpengaruh pada kepercayaan diri. Hal inilah yang menjadi modal utama seorang wirausaha. ”Siswa harus mempunyai self confidence (kepercayaan diri), self awareness (kesadaran). Dua hal tersebut adalah modal untuk menjadi wirausaha,” kata Renald kepada koran Seputar Indonesia (SINDO). Sementara itu, pengusaha muda Sandiaga Uno memberikan masukan agar pemerintah harus memberikan contoh, pemerintah harus menciptakan birokrasi yang menerapkan wirausaha (entrepreneurial government).

Sekolah juga perlu mengembangkan kurikulum wirausaha nasional dan bahan ajarnya di tingkat sekolah menengah. ”Perlu melakukan kerja sama dengan dunia usaha misalnya dengan Kadin atau HIPMI atau komunitas seperti ‘TanganDi Atas’, yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk pemagangan, pemberian beasiswa wirausaha, gurup rofesional pertopik, dan yang lain,” kata Sandiaga kepada SINDO.

Menurut Sandiaga, sebenarnya mental wirausaha harus dilakukan sejak sekolah dasar. Sebagai sikap mental, itu harus tertanam sejak awal. Siswa perlu diajari kemandirian, keberanian mengemukakan pendapat, belajar menyelesaikan konflik dengan teman, belajar menjadi pemimpin di kelas, sikap anti mencontek, serta mampu mengembangkan ide kreatif dan inovatif.

Karena itu, wirausaha menjadi satu hal penting sebab kesuksesan seorang ilmuwan tidak bisa hanya dilihat berapa jumlah karya ilmiah yang mereka publikasikan, namun juga hasil riil yang dapat dicapai. Sementara aplikasi entrepreneurship tidak bisa hanya diwakili dengan pembuatan business plan. Tanpa terjun langsung ke lapangan, semua rencana yang dihadirkan dalam business plan tidak akan berarti dan bernilai apa-apa.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6361 seconds (0.1#10.140)