Anas dan Baratayudha
A
A
A
Di tengah turbulensi politik yang mendera Partai Demokrat, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum membuat status di BlackBerry Messenger, ‘’Politik Para Sengkuni.’’ Kontan saja status tersebut memicu beragam penafsiran.
Apakah status tersebut terkait dengan berbagai manuver yang dilakukan politisi senior belakangan ini? Siapakah orang yang berperan sebagai tokoh antagonis dalam dunia pewayangan tersebut? Atau Anas hanya ingin guyonan untuk sekadar melepas rasa penat?
Anas merespons aneka pertanyaan dengan mengatakan, ’’Saya sedang belajar Mahabarata, baru sedikit soal Sengkuni. Nanti kalau sudah lengkap baca, saya sampaikan.’’
Jawaban mengambang sekaligus bersayap tentu tidak mampu membekukan berbagai spekulasi. Sebaliknya, justru menambah rasa penasaran. Munculnya pertanyaan dan spekulasi sangat bisa dipahami, apalagi Anas seorang politisi.
Di dalam politik bahasa sering tidak linear, tapi berwujud simbol atau metafora. Munculnya nama Sengkuni dan Mahabarata sangat mungkin sebagai simbol yang berisi pesan tertentu yang ditujukan pada orang tertentu.
Simbolisasi seperti apa yang disampaikan Anas tentu harus memahami cerita Mahabarata.Dalam epos asal India, Sengkuni adalah paman Kurawa.
Namanya begitu mengemuka sekaligus sangat dibenci karena dialah yang menebar benih permusuhan keluarga Kurawa dengan anak Pandu yakni Pandawa Lima yang sejatinya masih keluarga. Puncaknya adalah perang Baratayudha dengan Kurawa sebagai pihak yang kalah dan Pandawa Lima sebagai lakon protagonis dalam wiracarita tersebut.
Tanpa menjustifikasi siapa Pandawa dan siapa Kurawa,apalagi siapa yang sebenarnya orang yang patut dicap sebagai Sengkuni, pesan yang bisa ditangkap dari status Anas adalah internal Partai Demokrat di ambang perang Baratayudha dan akhir ceritanya adalah harus ada pihak yang menang dan kalah: zero sum game.
Itulah politik. Kepentingan begitu membutakan sehingga siapa pun dengan mudah lupa siapa kawan dan lawannya.‘’There is no permanent friend and enemy, but only permanent interest,’’ demikian kata Lord Palmerston.
Karena kepentingan pula,alasan untuk mendepak kawan pun bisa dibuat, apakah berdasarkan hasil survei atau sekadar tuduhan korupsi yang belum terbukti. Sebagai politisi yang matang di organisasi, Anas tahu betul fakta-fakta yang muncul belakangan ini sudah mengarah pada desain yang begitu sistematis dan dengan target waktu yang sudah ditentukan.
Tokoh asal Blitar itu tentu paham betul, pendulum politik mengarah pada satu sasaran, dia harus didepak. Apalagi kabar yang muncul menyebutkan sudah ada nama “berkaliber” yang dipersiapkan mengganti posisinya.
Sebagai politisi tulen, Anas bisa dipastikan tidak akan pasrah menunggu nasib dan kemudian terdepak begitu saja. Dalam politik pemenang yang berkuasa menentukan kebenaran dan yang kalah menjadi pecundang seperti Kurawa dalam Mahabarata.
Karena itu, tidak ada pilihan bagi Anas selain bertarung habis-habisan melawan kelompok politisi senior. Mampukah Anas? Sejauh ini dia terlihat masih tenang,seolaholah dia tidak menghadapi masalah serius.
Tapi memang itulah Anas. Dia dikaruniai wajah yang sangat dingin dan menenteramkan pendukungnya. Karena itu, psikologi politik yang diperlihatkan bisa jadi menunjukkan kedalaman jurus politiknya.
Ibarat laut dalam yang tampak tenang di permukaan,tapi arus dalamnya begitu kuat dan mematikan. Dengan demikian, pertarungan Partai Demokrat akan berlangsung sangat seru seperti pertarungan Pandawa-Kurawa di padang Kurusetra.
Baik Anas maupun politisi senior akan mengeluarkan aji-aji pamungkas, baik kekuatan infrastruktur politik maupun opini publik. Bagaimana akhir ceritanya, kita tunggu saja.
Apakah status tersebut terkait dengan berbagai manuver yang dilakukan politisi senior belakangan ini? Siapakah orang yang berperan sebagai tokoh antagonis dalam dunia pewayangan tersebut? Atau Anas hanya ingin guyonan untuk sekadar melepas rasa penat?
Anas merespons aneka pertanyaan dengan mengatakan, ’’Saya sedang belajar Mahabarata, baru sedikit soal Sengkuni. Nanti kalau sudah lengkap baca, saya sampaikan.’’
Jawaban mengambang sekaligus bersayap tentu tidak mampu membekukan berbagai spekulasi. Sebaliknya, justru menambah rasa penasaran. Munculnya pertanyaan dan spekulasi sangat bisa dipahami, apalagi Anas seorang politisi.
Di dalam politik bahasa sering tidak linear, tapi berwujud simbol atau metafora. Munculnya nama Sengkuni dan Mahabarata sangat mungkin sebagai simbol yang berisi pesan tertentu yang ditujukan pada orang tertentu.
Simbolisasi seperti apa yang disampaikan Anas tentu harus memahami cerita Mahabarata.Dalam epos asal India, Sengkuni adalah paman Kurawa.
Namanya begitu mengemuka sekaligus sangat dibenci karena dialah yang menebar benih permusuhan keluarga Kurawa dengan anak Pandu yakni Pandawa Lima yang sejatinya masih keluarga. Puncaknya adalah perang Baratayudha dengan Kurawa sebagai pihak yang kalah dan Pandawa Lima sebagai lakon protagonis dalam wiracarita tersebut.
Tanpa menjustifikasi siapa Pandawa dan siapa Kurawa,apalagi siapa yang sebenarnya orang yang patut dicap sebagai Sengkuni, pesan yang bisa ditangkap dari status Anas adalah internal Partai Demokrat di ambang perang Baratayudha dan akhir ceritanya adalah harus ada pihak yang menang dan kalah: zero sum game.
Itulah politik. Kepentingan begitu membutakan sehingga siapa pun dengan mudah lupa siapa kawan dan lawannya.‘’There is no permanent friend and enemy, but only permanent interest,’’ demikian kata Lord Palmerston.
Karena kepentingan pula,alasan untuk mendepak kawan pun bisa dibuat, apakah berdasarkan hasil survei atau sekadar tuduhan korupsi yang belum terbukti. Sebagai politisi yang matang di organisasi, Anas tahu betul fakta-fakta yang muncul belakangan ini sudah mengarah pada desain yang begitu sistematis dan dengan target waktu yang sudah ditentukan.
Tokoh asal Blitar itu tentu paham betul, pendulum politik mengarah pada satu sasaran, dia harus didepak. Apalagi kabar yang muncul menyebutkan sudah ada nama “berkaliber” yang dipersiapkan mengganti posisinya.
Sebagai politisi tulen, Anas bisa dipastikan tidak akan pasrah menunggu nasib dan kemudian terdepak begitu saja. Dalam politik pemenang yang berkuasa menentukan kebenaran dan yang kalah menjadi pecundang seperti Kurawa dalam Mahabarata.
Karena itu, tidak ada pilihan bagi Anas selain bertarung habis-habisan melawan kelompok politisi senior. Mampukah Anas? Sejauh ini dia terlihat masih tenang,seolaholah dia tidak menghadapi masalah serius.
Tapi memang itulah Anas. Dia dikaruniai wajah yang sangat dingin dan menenteramkan pendukungnya. Karena itu, psikologi politik yang diperlihatkan bisa jadi menunjukkan kedalaman jurus politiknya.
Ibarat laut dalam yang tampak tenang di permukaan,tapi arus dalamnya begitu kuat dan mematikan. Dengan demikian, pertarungan Partai Demokrat akan berlangsung sangat seru seperti pertarungan Pandawa-Kurawa di padang Kurusetra.
Baik Anas maupun politisi senior akan mengeluarkan aji-aji pamungkas, baik kekuatan infrastruktur politik maupun opini publik. Bagaimana akhir ceritanya, kita tunggu saja.
(maf)