Belajar menghargai

Sabtu, 26 Januari 2013 - 08:13 WIB
Belajar menghargai
Belajar menghargai
A A A
Budaya menghargai karya dan jerih payah orang lain di negeri ini kian memudar. Meski sama sekali belum hilang, kita pantas prihatin dengan kondisi saat ini. Betapa tidak, begitu mudahnya orang mencela,mencerca,dan menghina orang lain tanpa alasan yang jelas.

Situasi saat ini juga bisa masuk kategori krisis berpikir dan berprasangka positif. Jika dirunut, ruang publik kita lebih banyak diisi oleh celaan, hinaan, cibiran, dan sikap-sikap yang didasari rasa sinis dan nyinyir. Lebih celaka lagi, sikap-sikap yang kurang terpuji ini keluar dari mulut orangorang yang seharusnya bisa menjadi panutan masyarakat, yakni para pemimpin, pejabat publik, dan para publik figur kita.

Bagi sebagian masyarakat yang sudah paham perilaku negatif para publik figur itu, mereka bisa maklum dan menganggap ocehan-ocehan itu sebagai omong kosong tanpa makna. Namun, bagi sebagian masyarakat lain, celotehan-celotehan yang tidak pantas itu bisa menjadi contoh yang buruk dalam perkembangan moral masyarakat. Terlebih lagi nada-nada bicara negatif elite kita sering kali muncul berulang-ulang seolah menganggap dirinya paling benar.

Kita semua tidak sadar sudah terbawa arus “berprasangka buruk” yang kekuatannya seperti banjir yang menenggelamkan Ibu Kota.Maka secara tidak sadar,kita sering kali larut dalam suasana itu dengan ikut serta mengumpat dan mencela seperti yang dilakukan sejumlah elite terhadap hasil karya ataupun sosok orang lain.Karena itu, budaya menghargai dan memberi apresiasi terhadap karya anak bangsa harus terus digalakkan,agar tidak tenggelam oleh kebiasaan mencela dan mencerca yang semakin kuat.

Dalam politik misalnya, berprasangka buruk, mencerca, dan sinisme dianggap sesuatu yang biasa bagi sebagian politikus dan masyarakat kita. Ini tidak bisa lepas dari iklim rivalitas antarindividu ataupun antarkelompok yang memang identik di dunia politik.Tidak begitu jelas apakah rivalitas itu dipicu oleh perbedaan gagasan besar,ideologi,atau disebabkan pertarungan perebutan kekuasaan dan pundi-pundi ekonomi.

Atau, bisa juga kedua jenis sebab itu saling memengaruhi satu sama lain. Namun yang patut jadi catatan penting di sini adalah, pentingnya para publik figur menahan diri untuk tidak saling mencerca di ruang publik, karena hal itu bisa menjadi edukasi negatif kepada masyarakat. Media massa hendaknya memiliki komitmen untuk menggalakkan jurnalisme positif, dengan lebih banyak memberi porsi pada sikap-sikap menghargai dan mengapresiasi daripada sikap-sikap mencela dan menghujat.

Ini tentu akan memberi pelajaran kepada para publik figur kita agar bisa lebih bijak dan santun dalam mengartikulasikan rivalitas dan perbedaan pendapat di ranah publik. Kritik yang disampaikan dengan kasar dan keras belum tentu mengenai sasaran. Bisa-bisa niat baik mengkritik, tapi dikemas dengan cara yang salah akan menjadi bumerang. Orang akan antipati dan kehilangan kepercayaan. Kita berharap para pemimpin, elite, dan publik figur yang menjadi panutan masyarakat agar memberi contoh dan keteladanan yang baik.

Tidak berarti sikap masyarakat kita yang selalu benar.Sering kali masyarakat kita juga terbawa arus untuk menghujat seseorang karena latah dan ikut-ikutan yang lain. Dan, yang begini harus dikritik dan diingatkan. Mencela memang lebih mudah dilakukan daripada menghargai. Daya rusak sikap mencela yang dilakukan publik figur akan lebih dahsyat daripada yang dilakukan masyarakat awam.

Karena itu,sikap saling cela dan cerca di ruang publik harus dihentikan. Gencarkanlah sikap-sikap besar hati untuk mengapresiasi orang lain meski itu lawan atau seterunya sekalipun. Mengkritik yang disertai dengan cercaan dan celaan akan mereduksi substansi kritik itu sendiri. Orang yang berpikir positif masih lebih baik dibandingkan orang yang tidak berpikiran negatif.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8821 seconds (0.1#10.140)