Merenungkan (Mengapa) banjir (terulang)
A
A
A
Lagi-lagi Ibu Kota Negara Indonesia lumpuh. Lagi-lagi kondisi tersebut diakibatkan banjir karena tingginya curah hujan dan ketidakmampuan sungai-sungai yang membelah Jakarta menampung tingginya debit air yang menggelontor deras dari wilayah Puncak dan Bogor.
Dibandingkan 2007 atau banjir lima tahunan sebelumnya, banjir kali ini diperkirakan lebih parah karena volume air yang masuk Jakarta kali ini lebih besar. Bahkan, banjir dalam dua hari ini diperkirakan hanya pemanasan saja karena BMKG memperkirakan dalam tiga hari ke depan curah hujan masih tinggi dan puncak hujan terjadi hingga akhir Januari hingga Februari ke depan. Bisa dipastikan,tidak ada upaya yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengendalikan,apalagi menghentikan banjir.
Yang bisa dilakukan sebatas mengevakuasi dan memberi bantuan kepada pengungsi.Paling banter menambal tanggul yang jebol seperti dilakukan di tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) yang menjadi pangkal tenggelamnya kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Bantuan pemerintah pusat pun,dalam kondisi seperti saat ini, ibarat menggarami air laut.
Karena itu,warga jangan berharap banjir segera surut,apalagi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo juga sudah memberi sinyal massa tanggap darurat akan berlangsung hingga akhir Januari ini. Yang bisa dilakukan adalah berdoa dan memikirkan keselamatan diri dan keluarga.Cukup sudah lima orang yang menjadi korban.
Begitu pun para pemimpin di Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat, selain melaksanakan tugas tanggap darurat, juga memanfaatkan momentum kelabu ini untuk berkontemplasi dan mereviu kembali tentang pilihan kebijakan yang diambil selama ini. Jika melihat beberapa tahun ke belakang, tidak ada upaya fundamental yang dilakukan untuk menangani banjir.
Beberapa upaya serius yang dilakukan, seperti penyelesaian Banjir Kanal Timur (BKT) maupun normalisasi sungai yang sedang dalam proses pengerjaan, hanyalah menyelesaikan persoalan hilir, bukan hulu: hanya memberi jalan pada banjir kiriman.Begitu pun rencana deep tunnel, apalagi sekadar perbaikan gorong-gorong dan mengangkat sampah di sungai.
Semua strategi yang diambil hanya fixing that fail, yakni perbaikan yang gagal dan justru menjauhkan akar persoalan. Rencana pembangunan Waduk Ciawi sebenarnya bisa menjadi solusi mengurangi volume air Sungai Ciliwung sehingga tidak semuanya menggerojok Jakarta.Begitu pun pembangunan enam waduk di Jakarta juga bisa menampung luapan sungai.
Keduanya juga bisa bermanfaat untuk konservasi air dan cadangan air tanah. Ini tentu tidak bisa dilakukan Pemprov DKI sendiri, tapi butuh campur tangan pemerintah pusat. Entah kenapa program yang sudah digagas sejak 2006 itu tidak kunjung dilaksanakan. Lebih mendasar lagi,lingkungan di kawasan Puncak dan Bogor perlu ditata kembali seperti melalui penghijauan kembali atau pembatasan perambahan oleh perumahan.
Dengan demikian,air hujan bisa terserap dan tidak meluncur begitu saja ke Jakarta. Domain tanggung jawab tentu lebih pada pemerintah pusat, termasuk merangkul Pemkab Bogor maupun Pemprov Jawa Barat. Persoalan mendasar lainnya adalah mengajak masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan dan di sisi lain Pemprov DKI Jakarta meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah serta mengajak masyarakat yang tinggal di bantaran sungai meninggalkan tempat tersebut karena bagaimanapun hal tersebut menjadi biang terjadinya banjir.
Jika hal tersebut tidak segera diwujudkan, yang akan terjadi adalah eskalasi masalah karena dampak yang akan ditimbulkan bisa semakin parah dan menjadi susah terselesaikan. Mari bersama kembali merenung mengapa banjir terulang.
Dibandingkan 2007 atau banjir lima tahunan sebelumnya, banjir kali ini diperkirakan lebih parah karena volume air yang masuk Jakarta kali ini lebih besar. Bahkan, banjir dalam dua hari ini diperkirakan hanya pemanasan saja karena BMKG memperkirakan dalam tiga hari ke depan curah hujan masih tinggi dan puncak hujan terjadi hingga akhir Januari hingga Februari ke depan. Bisa dipastikan,tidak ada upaya yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengendalikan,apalagi menghentikan banjir.
Yang bisa dilakukan sebatas mengevakuasi dan memberi bantuan kepada pengungsi.Paling banter menambal tanggul yang jebol seperti dilakukan di tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) yang menjadi pangkal tenggelamnya kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Bantuan pemerintah pusat pun,dalam kondisi seperti saat ini, ibarat menggarami air laut.
Karena itu,warga jangan berharap banjir segera surut,apalagi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo juga sudah memberi sinyal massa tanggap darurat akan berlangsung hingga akhir Januari ini. Yang bisa dilakukan adalah berdoa dan memikirkan keselamatan diri dan keluarga.Cukup sudah lima orang yang menjadi korban.
Begitu pun para pemimpin di Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat, selain melaksanakan tugas tanggap darurat, juga memanfaatkan momentum kelabu ini untuk berkontemplasi dan mereviu kembali tentang pilihan kebijakan yang diambil selama ini. Jika melihat beberapa tahun ke belakang, tidak ada upaya fundamental yang dilakukan untuk menangani banjir.
Beberapa upaya serius yang dilakukan, seperti penyelesaian Banjir Kanal Timur (BKT) maupun normalisasi sungai yang sedang dalam proses pengerjaan, hanyalah menyelesaikan persoalan hilir, bukan hulu: hanya memberi jalan pada banjir kiriman.Begitu pun rencana deep tunnel, apalagi sekadar perbaikan gorong-gorong dan mengangkat sampah di sungai.
Semua strategi yang diambil hanya fixing that fail, yakni perbaikan yang gagal dan justru menjauhkan akar persoalan. Rencana pembangunan Waduk Ciawi sebenarnya bisa menjadi solusi mengurangi volume air Sungai Ciliwung sehingga tidak semuanya menggerojok Jakarta.Begitu pun pembangunan enam waduk di Jakarta juga bisa menampung luapan sungai.
Keduanya juga bisa bermanfaat untuk konservasi air dan cadangan air tanah. Ini tentu tidak bisa dilakukan Pemprov DKI sendiri, tapi butuh campur tangan pemerintah pusat. Entah kenapa program yang sudah digagas sejak 2006 itu tidak kunjung dilaksanakan. Lebih mendasar lagi,lingkungan di kawasan Puncak dan Bogor perlu ditata kembali seperti melalui penghijauan kembali atau pembatasan perambahan oleh perumahan.
Dengan demikian,air hujan bisa terserap dan tidak meluncur begitu saja ke Jakarta. Domain tanggung jawab tentu lebih pada pemerintah pusat, termasuk merangkul Pemkab Bogor maupun Pemprov Jawa Barat. Persoalan mendasar lainnya adalah mengajak masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan dan di sisi lain Pemprov DKI Jakarta meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah serta mengajak masyarakat yang tinggal di bantaran sungai meninggalkan tempat tersebut karena bagaimanapun hal tersebut menjadi biang terjadinya banjir.
Jika hal tersebut tidak segera diwujudkan, yang akan terjadi adalah eskalasi masalah karena dampak yang akan ditimbulkan bisa semakin parah dan menjadi susah terselesaikan. Mari bersama kembali merenung mengapa banjir terulang.
(mhd)