Kasus Buol dinilai cacat hukum
A
A
A
Sindonews.com - Perkara korupsi pengurusan izin penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol yang menjerat setidaknya empat orang tersebut, dinilai telah cacat hukum.
Pasalnya, dari fakta persidangan yang ada selama ini terungkap, mantan Bupati Buol Amran Batalipu sebenarnya tidak dalam posisi sebagai penyelenggara negara saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya, tetapi dalam kapasitas sebagai pribadi seorang peserta Pemilukada.
“Kalau semua incumbent yang menerima sumbangan bisa dituduh menerima suap dan ditangkap KPK, maka semua calon bupati, semua calon gubernur, bahkan calon presiden incumbent bisa ditangkap dong,” kata kuasa hukum Hartati, Dodi Abdul Kadir, saat dihubungi wartawan, Rabu (9/1/2013).
Dody menganggap, KPK tidak berhak menangkap Amran Batalipu yang saat itu statusnya sebagai calon bupati incumbent. KPK memang berwenang menangkap penyelenggara negara, tapi kalau dia dalam kapasitas sebagai pribadi di Pemilukada, itu bukan kewenangan KPK.
Hartati Murdaya, sendiri menurut Dodi adalah pihak yang ditarik-tarik dalam kasus ini. Jaksa mendakwa Hartati memberikan uang untuk memuluskan perizinan perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantation (HIP).
Padahal perusahaan tersebut tidak butuh perizinan baru, karena perizinan yang ada sejak tahun 1993 masih berlaku sah. Perusahaan dalam posisi tidak ada kepentingan untuk mengurus perizinan baru.
Dalam proses persidangan, semuanya terbuka dengan jelas bahwa kasus ini adalah masalah sumbangan Pilkada. Dalam UU disebutkan calon bupati incumbent sekalipun sedang menjabat sebagai bupati status hukumnya adalah pribadi bukan penyelenggara negara.
Dodi menjelaskan, UU memperbolehkan calon bupati menerima sumbangan dari perorangan atau badan hukum. Karena itu legal, pemberian sumbangan itu tidak bisa dipidanakan, kalaupun ada pemberian yang melebihi batas maka yang diterapkan adalah sanksi pidana pemilu, bukan pidana korupsi.
Dijelaskan, di dalam persidangan terungkap,a Amran sebagai calon bupati meminta sumbangan Pilkada kepada Hartati. Namun Hartati menolak secara halus, karena sudah menjadi prinsip bagi Ibu Hartati untuk tidak memberikan dana ke Amran.
"Penolakan Hartati dilakukan dengan bersandiwara meminta Amran mengeluarkan surat rekomendasi dalam waktu satu minggu. Padahal Hartati tahu itu tidak mungkin terjadi. Sebab, kalau Hartati menolak secara gamblang, ada kekhawatiran perkebunan sawit miliknya akan diganggu," jelasnya.
Oleh karenanya, dia berharap majelis hakim yang menangani kasus ini melihat dengan jeli duduk perkara sebenarnya. Tidak semua yang disidangkan di Pengadilan Tipikor harus diputus bersalah, lantas dihukum.
"Apalagi fakta di persidangan memang menunjukkan tidak ada pelanggaran hukum sebagaimana dakwaan jaksa," pungkasnya.
Pasalnya, dari fakta persidangan yang ada selama ini terungkap, mantan Bupati Buol Amran Batalipu sebenarnya tidak dalam posisi sebagai penyelenggara negara saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya, tetapi dalam kapasitas sebagai pribadi seorang peserta Pemilukada.
“Kalau semua incumbent yang menerima sumbangan bisa dituduh menerima suap dan ditangkap KPK, maka semua calon bupati, semua calon gubernur, bahkan calon presiden incumbent bisa ditangkap dong,” kata kuasa hukum Hartati, Dodi Abdul Kadir, saat dihubungi wartawan, Rabu (9/1/2013).
Dody menganggap, KPK tidak berhak menangkap Amran Batalipu yang saat itu statusnya sebagai calon bupati incumbent. KPK memang berwenang menangkap penyelenggara negara, tapi kalau dia dalam kapasitas sebagai pribadi di Pemilukada, itu bukan kewenangan KPK.
Hartati Murdaya, sendiri menurut Dodi adalah pihak yang ditarik-tarik dalam kasus ini. Jaksa mendakwa Hartati memberikan uang untuk memuluskan perizinan perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantation (HIP).
Padahal perusahaan tersebut tidak butuh perizinan baru, karena perizinan yang ada sejak tahun 1993 masih berlaku sah. Perusahaan dalam posisi tidak ada kepentingan untuk mengurus perizinan baru.
Dalam proses persidangan, semuanya terbuka dengan jelas bahwa kasus ini adalah masalah sumbangan Pilkada. Dalam UU disebutkan calon bupati incumbent sekalipun sedang menjabat sebagai bupati status hukumnya adalah pribadi bukan penyelenggara negara.
Dodi menjelaskan, UU memperbolehkan calon bupati menerima sumbangan dari perorangan atau badan hukum. Karena itu legal, pemberian sumbangan itu tidak bisa dipidanakan, kalaupun ada pemberian yang melebihi batas maka yang diterapkan adalah sanksi pidana pemilu, bukan pidana korupsi.
Dijelaskan, di dalam persidangan terungkap,a Amran sebagai calon bupati meminta sumbangan Pilkada kepada Hartati. Namun Hartati menolak secara halus, karena sudah menjadi prinsip bagi Ibu Hartati untuk tidak memberikan dana ke Amran.
"Penolakan Hartati dilakukan dengan bersandiwara meminta Amran mengeluarkan surat rekomendasi dalam waktu satu minggu. Padahal Hartati tahu itu tidak mungkin terjadi. Sebab, kalau Hartati menolak secara gamblang, ada kekhawatiran perkebunan sawit miliknya akan diganggu," jelasnya.
Oleh karenanya, dia berharap majelis hakim yang menangani kasus ini melihat dengan jeli duduk perkara sebenarnya. Tidak semua yang disidangkan di Pengadilan Tipikor harus diputus bersalah, lantas dihukum.
"Apalagi fakta di persidangan memang menunjukkan tidak ada pelanggaran hukum sebagaimana dakwaan jaksa," pungkasnya.
(maf)