Verifikasi Parpol, DPR diduga intervensi KPU
Sabtu, 03 November 2012 - 22:44 WIB

Verifikasi Parpol, DPR diduga intervensi KPU
A
A
A
Sindonews.com - Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai rencana Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memanggil Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait tidak dilaksanakannya verifikasi faktual ditingkat kecamatan, penuh keganjilan.
"Pemanggilan itu diduga hanyalah strategi dari sembilan parpol di DPR untuk menekan KPU agar bisa diluluskan menjadi peserta Pemilu 2014," ujarnya dalam rilis, di Jakarta, Sabtu (3/11/2012).
Pasalnya, kata Said, menjadi aneh kalau hal itu baru dipermasalahan sekarang oleh DPR, sementara persoalan ini sebetulnya bisa mereka bahas pada tanggal 29 Oktober lalu, saat digelarnya pertemuan konsultasi antara Komisi II dengan KPU.
Bahkan, DPR sesungguhnya sudah mengetahui perihal tidak adanya program verifikasi faktual ditingkat kecamatan sejak bulan Juni lalu, ketika KPU melakukan konsultasi pembentukan PKPU No.8/2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Peserta Pemilu, dan saat itu DPR setuju-setuju saja.
"Jadi, sekalipun agenda pemanggilan itu penting, namun mengundang pertanyaan publik mengapa DPR baru mempermasalahkannya sekarang? Kenapa pula DPR harus berulang-ulang memanggil KPU? Apa maksudnya ini?" tanya Said.
Said mengungkapkan, pemanggilan yang terkesan diada-adakan dan berulang-ulang ini, bisa menggiring opini publik bahwa seolah-olah sembilan parpol di DPR sedang memainkan skenario untuk menekan KPU dengan tujuan agar mereka bisa diluluskan pada tahap verifikasi faktual nanti.
"Jadi ada dugaan ini, semacam usaha untuk melakukan barter kepentingan. KPU sengaja ditekan sedemikian rupa oleh DPR, sementara KPU yang sadar telah melakukan kekeliruan pada ujungnya akan meminta dukungan politik dari DPR agar kebijakannya tidak dipermasalahkan," ungkapnya.
Bentuk imbalan dari barter itu, jelas Said, boleh jadi adalah dengan diloloskannya parpol-parpol DPR menjadi peserta Pemilu 2014 oleh KPU, betapapun misalnya, secara faktual parpol-parpol itu tidak memenuhi persyaratan.
Dugaan ini juga ada presedennya pada saat KPU membentuk PKPU 15/2012 yang menjadi dasar pemunduran jadwal pengumuman hasil verifikasi administrasi.
"Sebelum diumumkan tanggal 28 Oktober oleh KPU, sejumlah parpol di DPR berteriak bahwa KPU keliru memundurkan jadwal. Tetapi setelah 9 parpol di DPR diluluskan oleh KPU pada tahap verifikasi administrasi, Komisi II malah bilang KPU tidak keliru dan pemunduran itu bisa dimaklumi," jelasnya.
Said menambahkan, DPR sebaiknya proporsional dalam melaksanakan fungsi pengawasannya kepada penyelenggara Pemilu. Kekeliruan KPU yang tidak menyelenggarakan verifikasi faktual ditingkat kecamatan tidak boleh diselesaikan melalui forum politik.
"Penyelesaian pelanggaran itu, seharsunya dilakukan melalui mekanisme hukum Pemilu," tandasnya.
"Pemanggilan itu diduga hanyalah strategi dari sembilan parpol di DPR untuk menekan KPU agar bisa diluluskan menjadi peserta Pemilu 2014," ujarnya dalam rilis, di Jakarta, Sabtu (3/11/2012).
Pasalnya, kata Said, menjadi aneh kalau hal itu baru dipermasalahan sekarang oleh DPR, sementara persoalan ini sebetulnya bisa mereka bahas pada tanggal 29 Oktober lalu, saat digelarnya pertemuan konsultasi antara Komisi II dengan KPU.
Bahkan, DPR sesungguhnya sudah mengetahui perihal tidak adanya program verifikasi faktual ditingkat kecamatan sejak bulan Juni lalu, ketika KPU melakukan konsultasi pembentukan PKPU No.8/2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Peserta Pemilu, dan saat itu DPR setuju-setuju saja.
"Jadi, sekalipun agenda pemanggilan itu penting, namun mengundang pertanyaan publik mengapa DPR baru mempermasalahkannya sekarang? Kenapa pula DPR harus berulang-ulang memanggil KPU? Apa maksudnya ini?" tanya Said.
Said mengungkapkan, pemanggilan yang terkesan diada-adakan dan berulang-ulang ini, bisa menggiring opini publik bahwa seolah-olah sembilan parpol di DPR sedang memainkan skenario untuk menekan KPU dengan tujuan agar mereka bisa diluluskan pada tahap verifikasi faktual nanti.
"Jadi ada dugaan ini, semacam usaha untuk melakukan barter kepentingan. KPU sengaja ditekan sedemikian rupa oleh DPR, sementara KPU yang sadar telah melakukan kekeliruan pada ujungnya akan meminta dukungan politik dari DPR agar kebijakannya tidak dipermasalahkan," ungkapnya.
Bentuk imbalan dari barter itu, jelas Said, boleh jadi adalah dengan diloloskannya parpol-parpol DPR menjadi peserta Pemilu 2014 oleh KPU, betapapun misalnya, secara faktual parpol-parpol itu tidak memenuhi persyaratan.
Dugaan ini juga ada presedennya pada saat KPU membentuk PKPU 15/2012 yang menjadi dasar pemunduran jadwal pengumuman hasil verifikasi administrasi.
"Sebelum diumumkan tanggal 28 Oktober oleh KPU, sejumlah parpol di DPR berteriak bahwa KPU keliru memundurkan jadwal. Tetapi setelah 9 parpol di DPR diluluskan oleh KPU pada tahap verifikasi administrasi, Komisi II malah bilang KPU tidak keliru dan pemunduran itu bisa dimaklumi," jelasnya.
Said menambahkan, DPR sebaiknya proporsional dalam melaksanakan fungsi pengawasannya kepada penyelenggara Pemilu. Kekeliruan KPU yang tidak menyelenggarakan verifikasi faktual ditingkat kecamatan tidak boleh diselesaikan melalui forum politik.
"Penyelesaian pelanggaran itu, seharsunya dilakukan melalui mekanisme hukum Pemilu," tandasnya.
(san)