KPK siapkan strategi pemiskinan koruptor
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menemukan konsep dan strategi pemiskinan koruptor.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto menyatakan, pihaknya telah menggodok konsep pemiskinan koruptor itu.
Penggodokan konsep dan strategi dilakukan dua hari lalu. Menurutnya, korupsi digolongkan dalam orgnize crime dan calculatif crime.
Selama ini hukuman yang diterima koruptor hanya digolongkan pada hukuman badan yang tidak sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan.
"Korupsi itu kan kejahatan kalkulatif. KPK memandang hukuman yang berkaitan dengan hukuman finansial. Nah, untuk efek jera bagi koruptor, KPK bersiap membebankan biaya sosial korupsi untuk memiskinkan koruptor," kata Bambang saat konfrensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/7/2012).
Dia menambahkan, konsep biaya sosial korupsi ini merupakan kumulatif yang diakibatkan dari tindakan korupsi para koruptor. Menurutnya, hukuman badan tidak dapat merefleksikan dampak korupsi yang dihasilkan oleh perilaku koruptor yang mengambil uang rakyat.
Dia menjelaskan, akumulasi biaya finansial penangan korupsi sejak awal pengumpulan data dan bahan, penjemputan, penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan sampai masa persidangan akan dibebankan kepada tersangka korupsi.
"Para koruptor itu harus dapat menerima dampak hukuman dengan keuangan yang diambilnya dan hukuman mereka juga diupayakan untuk mengganti biaya-biaya itu. Apalalagi itu uang anda, saya, dan rakyat keseluruhan yang dipakai. Ada dua hal penting ketika menghukum koruptor, misalnya biaya implisit dan oppurtinity coast," bebernya.
Dia mencontohkan, kasus korupsi atau gratifikasi atau suap dalam satu peraturan daerah dan Undang-Undang terkait kehutanan memiliki dampak yang serius bagi kelangsungan masyarakat.
Jika melihat hal tersebut ada beberapa dampak seperti perhitungkan kerusakan lingkungungan dan biaya perbaikannya, yang bisa diakumulasi. Koruptor harus menanggung dampak korupsi yang dilakukannya.
"Nah penentuan akumulasi kerugian itu akan kita libatkan pakar-pakar dari berbagai bidang seperti ekonomi, keuangan, dan hukum pidana. Metodologi untuk memiskinkan koruptor harus dicari. Nah kita lakukan itu dalam diskusi (FGD) dengan pakar-pakar itu," bebernya.
Lebih lanjut mantan Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, biaya social coast itu merupakan kajian yang sangat mendalam yang dilakukan KPK demi kepentingan bangsa dan negara.
Dalam pandangannya, pemiskinan koruptor dengan biaya sosial krupsi itu bukan hanya problem KPK. Tapi bagi semua lembaga penegak hukum.
Dia menambahkan, nantinya KPK akan menghitung biaya sosial korupsi yang dikibatkan dari tindakan para koruputor.
"Gagasan ini sedang direalisasikan (KPK). Tapi belum bisa direalisasikan langsung. Sebenarnya penegagak hukum, jaksa, dan pihak ketiga bisa memasukannya (biaya sosial korupsi) di dalam dakwaan yang dipersiapkan untuk kasus korupsi tersebut. Itu ada di 98 KUHAP. Pada hari ini sedang ada amandemen buku pertama KUHP. Di dalam pasal sekitar 10-20 ada kualifikasi hukuman pokok dan tambahan. Biaya itu bisa masuk di sana. Kami mohon Komisi III untuk segera menyelesaikan itu (KUHP)," tandasnya.
Merujuk pada catatan versi KPK, selama tahun 2001-2009 jumlah penanganan kasus korupsi nilai total korupsinya mencapai 7,3 triiun. Namun dari jumlah itu, tuntutan lembaga penegak hukum hanya 5.53 triliun. "Hanya sekitar 7 persen saja," pungkasnya.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto menyatakan, pihaknya telah menggodok konsep pemiskinan koruptor itu.
Penggodokan konsep dan strategi dilakukan dua hari lalu. Menurutnya, korupsi digolongkan dalam orgnize crime dan calculatif crime.
Selama ini hukuman yang diterima koruptor hanya digolongkan pada hukuman badan yang tidak sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan.
"Korupsi itu kan kejahatan kalkulatif. KPK memandang hukuman yang berkaitan dengan hukuman finansial. Nah, untuk efek jera bagi koruptor, KPK bersiap membebankan biaya sosial korupsi untuk memiskinkan koruptor," kata Bambang saat konfrensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/7/2012).
Dia menambahkan, konsep biaya sosial korupsi ini merupakan kumulatif yang diakibatkan dari tindakan korupsi para koruptor. Menurutnya, hukuman badan tidak dapat merefleksikan dampak korupsi yang dihasilkan oleh perilaku koruptor yang mengambil uang rakyat.
Dia menjelaskan, akumulasi biaya finansial penangan korupsi sejak awal pengumpulan data dan bahan, penjemputan, penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan sampai masa persidangan akan dibebankan kepada tersangka korupsi.
"Para koruptor itu harus dapat menerima dampak hukuman dengan keuangan yang diambilnya dan hukuman mereka juga diupayakan untuk mengganti biaya-biaya itu. Apalalagi itu uang anda, saya, dan rakyat keseluruhan yang dipakai. Ada dua hal penting ketika menghukum koruptor, misalnya biaya implisit dan oppurtinity coast," bebernya.
Dia mencontohkan, kasus korupsi atau gratifikasi atau suap dalam satu peraturan daerah dan Undang-Undang terkait kehutanan memiliki dampak yang serius bagi kelangsungan masyarakat.
Jika melihat hal tersebut ada beberapa dampak seperti perhitungkan kerusakan lingkungungan dan biaya perbaikannya, yang bisa diakumulasi. Koruptor harus menanggung dampak korupsi yang dilakukannya.
"Nah penentuan akumulasi kerugian itu akan kita libatkan pakar-pakar dari berbagai bidang seperti ekonomi, keuangan, dan hukum pidana. Metodologi untuk memiskinkan koruptor harus dicari. Nah kita lakukan itu dalam diskusi (FGD) dengan pakar-pakar itu," bebernya.
Lebih lanjut mantan Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, biaya social coast itu merupakan kajian yang sangat mendalam yang dilakukan KPK demi kepentingan bangsa dan negara.
Dalam pandangannya, pemiskinan koruptor dengan biaya sosial krupsi itu bukan hanya problem KPK. Tapi bagi semua lembaga penegak hukum.
Dia menambahkan, nantinya KPK akan menghitung biaya sosial korupsi yang dikibatkan dari tindakan para koruputor.
"Gagasan ini sedang direalisasikan (KPK). Tapi belum bisa direalisasikan langsung. Sebenarnya penegagak hukum, jaksa, dan pihak ketiga bisa memasukannya (biaya sosial korupsi) di dalam dakwaan yang dipersiapkan untuk kasus korupsi tersebut. Itu ada di 98 KUHAP. Pada hari ini sedang ada amandemen buku pertama KUHP. Di dalam pasal sekitar 10-20 ada kualifikasi hukuman pokok dan tambahan. Biaya itu bisa masuk di sana. Kami mohon Komisi III untuk segera menyelesaikan itu (KUHP)," tandasnya.
Merujuk pada catatan versi KPK, selama tahun 2001-2009 jumlah penanganan kasus korupsi nilai total korupsinya mencapai 7,3 triiun. Namun dari jumlah itu, tuntutan lembaga penegak hukum hanya 5.53 triliun. "Hanya sekitar 7 persen saja," pungkasnya.
(lns)