Modalnya kemauan dan kerja keras
A
A
A
Segera mewujudkan usaha yang ingin dijalankan, dari yang paling sederhana dan jangan berpikir terlalu lama. Artinya, untuk menjadi wirausahawan, tidak perlu banyak pertimbangan, yang penting adalah kemauan dan aksi nyata.
Modal materi bukanlah persoalan utama, tapi bagaimana memiliki kemauan dalam menekuni bisnis. Cara berpikir seperti itu yang menjadikan Rangga Umara, 31, sukses menjadi pengusaha muda di bidang kuliner dengan mendirikan Rumah Makan Pecel Lele Lela.
Pecel Lele Lela merupakan singkatan “pecel lele lebih laku”. Outlet kuliner yang semarak dengan warna hijau ini pertama kali didirikan pada Desember 2006. Bermula dari ide cemerlangnya melihat penikmat pecel lele yang tak mengenal kelas dan warungnya berada di banyak pinggiran jalan, Rangga pun melihat peluang ini.
Dia mengatakan, pecel lele pasarnya sudah sangat luas dan sudah dikenal di seluruh Indonesia. Yang terpenting, usaha pecel lele selalu eksis di mana-mana dan tidak pernah mengenal krisis, hal ini disebabkan bahan baku lele mudah didapat dan margin penjualannya sangat tinggi.
“Yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha adalah punya kemauan dan mau mewujudkannya,” ujar Rangga saat mengisi seminar Sindo Entrepreneurship di Hotel Novotel, beberapa waktu lalu.
Sebenarnya apa yang menjadi rahasia Rangga sukses memiliki 70 cabang Pecel Lele Lela. Ternyata, dia memulai bisnis dari hal yang “salah”. Justru, dari “kesalahan” itu dia belajar mengelola usaha bidang kuliner.
“Kesalahan pertama saya saat memulai usaha adalah karena salah memilih tempat. Memang harga sewanya murah, tapi jauh dari keramaian, jadi bagaimana orang bisa tahu apa yang saya jual,” kisahnya.
Belajar dari kesalahan tersebut, Rangga pun akhirnya memilih tempat usaha di tengah-tengah keramaian. Tidak perlu khawatir karena banyak pesaing. Berpikir sebaliknya, bahwa membuka usaha di pusat keramaian justru memberikan pilihan.
“Sebagai pemilik brand baru, kita harus memperkenalkannya terlebih dulu.Setelah itu, kita pasti punya langganan,” jelas pria yang dijuluki Raja Lele ini.
Kini berkat ketekunan dan kerja kerasnya, Rangga bisa meraih omzet hingga Rp4,2 miliar per bulan.
Tetapi, apa yang dicapai Rangga bukan hasil kerja semalam. Rangga membuka usaha pecel lele setelah di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari jabatan marketing communication manager di sebuah perusahaan di Bekasi setelah lima tahun bekerja.
Malah, pemegang gelar sarjana manajemen informatika ini pernah terjerat rentenir ketika mendirikan usahanya. Praktis, Rangga harus jatuh bangun dalam membangun bisnis kuliner yang dia geluti.
Sebelumnya Rangga juga pernah bisnis di bidang lain seperti penyewaan komputer, tetapi gagal. Lalu dia memutuskan untuk membuka usaha kuliner karena alasan yang sangat sederhana. Dia suka makan.
Mulailah dia membuka warung seafood dengan modal Rp3 juta yang dia dapat setelah menjual sejumlah barang pribadinya. Karena modalnya sangat paspasan, Rangga mencari tempat yang harga sewanya murah.
Dia mendapat lahan dengan biaya sewa Rp250 per bulan di bilangan Pondok Kelapa. Di situlah dia kemudian mendirikan warung kaki lima semi permanen berukuran 2x2 meter. Warung dia desain secara unik, berbeda dengan warung seafood lain yang umumnya bertenda biru.
Awalnya, usaha tidak berjalan mulus. Selama tiga bulan pertama dia selalu rugi.Tetapi, Rangga tetap bersemangat menjalankan usahanya. Sampai suatu hari dia mendapat tempat semi permanen, juga di bilangan Pondok Kelapa dengan harga sewa Rp1 juta per bulan.
Tempat ini dia sewa dari pemilik rumah makan yang hendak menutup usahanya karena tidak laku. Bulan pertama buka usaha mulai tampak hasilnya. Pembeli mulai berdatangan. Lalu, Rangga memutuskan untuk berjualan pecel lele, yang juga makanan favoritnya sejak kuliah.
Dia pun berusaha keras memperkenalkan masakan lele. Awalnya dia membuat menu ikan lele yang ditaburi tepung. Tetapi yang terjadi justru, ikan lele racikannya mirip pisang goreng. Dari itu Rangga mulai mengolah lebih serius lele tepungnya.
Dia menambahkan telur dengan beberapa kali proses. Hasilnya, racikan lelenya mulai disukai orang. Setelah itu makin banyak orang yang berkunjung ke rumah makan miliknya. Rangga pun terus menekuni bisnis tersebut. Tetapi, cobaan kembali datang.
Uang sewa rumah makan dinaikkan si pemilik rumah makan menjadi Rp2 juta per bulan. Dia pun harus memikirkan gaji tiga karyawannya. Rangga akhirnya mengambil jalan pintas meminjam modal dari seorang rentenir Rp5 juta pada 2007. Uang itu dia gunakan untuk menggaji karyawan.
Beruntung Rangga bisa menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Hal tersebut bisa terjadi karena Rangga lebih suka mencari peluang untuk membuka jalan keluar, bukan lari dari masalah. Dia terus berpikir optimistis dan bersemangat mencari solusi terbaik.
Berkat kecemerlangannya melihat peluang itu, usaha kuliner yang punya logo mirip dengan logo kedai kopi asal Amerika Serikat (AS), Starbucks Coffee, ini dikenal luas dan menjadi pundi-pundi pendapatannya.
Kesuksesan mengelola bisnis di bidang kuliner juga dirasakan pengusaha muda, Reza Nurhalim. Reza menjadi Presiden Maicih yang memiliki omset penjualan Rp4 miliar per bulan. Padahal, modal pertama yang dikeluarkannya hanya Rp15 juta.
“Modal itu hanya cukup untuk kebutuhan bahan baku, seperti halnya tungku penggorengan,” ungkap Riza.
Maicih pertama kali dikembangkan pada 29 Juni 2010. Pemilihan produk keripik pedas ini dinilai Reza karena akan menarik pasar yang besar, sesuai dengan lidah orang Indonesia.
“Pemilihan nama Maicih sendiri berangkat dari dompet kecil yang berisi receh yang biasa disebut “icih” oleh Ibunda Reza,” tulis situs resmi Maicih.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika bisnis yang digeluti Reza kini berbuah manis.Dengan memanfaatkan jejaring sosial sebagai media pemasarannya, usaha keripik pedasnya menarik banyak peminat. Ia sengaja memilih tempat penjualan berpindah-pindah agar para pelanggan mencari informasinya melalui media sosial.
Strategi ini berhasil, keripiknya menjadi barang buruan remaja kota Bandung sampai harus mengantre berjam-jam. Pengalaman sukses berbisnis kuliner juga dialami Firmansyah Budi. Pria asal Yogyakarta ini mendirikan usaha cemilan berbahan olahan singkong dengan bendera Tela Krezz.
Dengan bermodalkan gerobak pinjaman dan uang senilai Rp200.000, kini usaha yang didirikannya sejak 2006 ini telah memiliki 60 karyawan tetap dan masih banyak yang outsourching.
”Saya bangga dengan menu yang saya tawarkan, yakni Tela Krezz.Yang kemudian dikomplain habis-habisan karena keripik ketelanya tidak kres sama sekali,sebaliknya mlempem,” kenang Firman.
Dalam sebuah usaha, kesalahan dalam berbisnis seperti yang dialami Firman, Riza, dan Rangga adalah sebagai pemicu untuk melangkah lebih baik.
Modal materi bukanlah persoalan utama, tapi bagaimana memiliki kemauan dalam menekuni bisnis. Cara berpikir seperti itu yang menjadikan Rangga Umara, 31, sukses menjadi pengusaha muda di bidang kuliner dengan mendirikan Rumah Makan Pecel Lele Lela.
Pecel Lele Lela merupakan singkatan “pecel lele lebih laku”. Outlet kuliner yang semarak dengan warna hijau ini pertama kali didirikan pada Desember 2006. Bermula dari ide cemerlangnya melihat penikmat pecel lele yang tak mengenal kelas dan warungnya berada di banyak pinggiran jalan, Rangga pun melihat peluang ini.
Dia mengatakan, pecel lele pasarnya sudah sangat luas dan sudah dikenal di seluruh Indonesia. Yang terpenting, usaha pecel lele selalu eksis di mana-mana dan tidak pernah mengenal krisis, hal ini disebabkan bahan baku lele mudah didapat dan margin penjualannya sangat tinggi.
“Yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha adalah punya kemauan dan mau mewujudkannya,” ujar Rangga saat mengisi seminar Sindo Entrepreneurship di Hotel Novotel, beberapa waktu lalu.
Sebenarnya apa yang menjadi rahasia Rangga sukses memiliki 70 cabang Pecel Lele Lela. Ternyata, dia memulai bisnis dari hal yang “salah”. Justru, dari “kesalahan” itu dia belajar mengelola usaha bidang kuliner.
“Kesalahan pertama saya saat memulai usaha adalah karena salah memilih tempat. Memang harga sewanya murah, tapi jauh dari keramaian, jadi bagaimana orang bisa tahu apa yang saya jual,” kisahnya.
Belajar dari kesalahan tersebut, Rangga pun akhirnya memilih tempat usaha di tengah-tengah keramaian. Tidak perlu khawatir karena banyak pesaing. Berpikir sebaliknya, bahwa membuka usaha di pusat keramaian justru memberikan pilihan.
“Sebagai pemilik brand baru, kita harus memperkenalkannya terlebih dulu.Setelah itu, kita pasti punya langganan,” jelas pria yang dijuluki Raja Lele ini.
Kini berkat ketekunan dan kerja kerasnya, Rangga bisa meraih omzet hingga Rp4,2 miliar per bulan.
Tetapi, apa yang dicapai Rangga bukan hasil kerja semalam. Rangga membuka usaha pecel lele setelah di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari jabatan marketing communication manager di sebuah perusahaan di Bekasi setelah lima tahun bekerja.
Malah, pemegang gelar sarjana manajemen informatika ini pernah terjerat rentenir ketika mendirikan usahanya. Praktis, Rangga harus jatuh bangun dalam membangun bisnis kuliner yang dia geluti.
Sebelumnya Rangga juga pernah bisnis di bidang lain seperti penyewaan komputer, tetapi gagal. Lalu dia memutuskan untuk membuka usaha kuliner karena alasan yang sangat sederhana. Dia suka makan.
Mulailah dia membuka warung seafood dengan modal Rp3 juta yang dia dapat setelah menjual sejumlah barang pribadinya. Karena modalnya sangat paspasan, Rangga mencari tempat yang harga sewanya murah.
Dia mendapat lahan dengan biaya sewa Rp250 per bulan di bilangan Pondok Kelapa. Di situlah dia kemudian mendirikan warung kaki lima semi permanen berukuran 2x2 meter. Warung dia desain secara unik, berbeda dengan warung seafood lain yang umumnya bertenda biru.
Awalnya, usaha tidak berjalan mulus. Selama tiga bulan pertama dia selalu rugi.Tetapi, Rangga tetap bersemangat menjalankan usahanya. Sampai suatu hari dia mendapat tempat semi permanen, juga di bilangan Pondok Kelapa dengan harga sewa Rp1 juta per bulan.
Tempat ini dia sewa dari pemilik rumah makan yang hendak menutup usahanya karena tidak laku. Bulan pertama buka usaha mulai tampak hasilnya. Pembeli mulai berdatangan. Lalu, Rangga memutuskan untuk berjualan pecel lele, yang juga makanan favoritnya sejak kuliah.
Dia pun berusaha keras memperkenalkan masakan lele. Awalnya dia membuat menu ikan lele yang ditaburi tepung. Tetapi yang terjadi justru, ikan lele racikannya mirip pisang goreng. Dari itu Rangga mulai mengolah lebih serius lele tepungnya.
Dia menambahkan telur dengan beberapa kali proses. Hasilnya, racikan lelenya mulai disukai orang. Setelah itu makin banyak orang yang berkunjung ke rumah makan miliknya. Rangga pun terus menekuni bisnis tersebut. Tetapi, cobaan kembali datang.
Uang sewa rumah makan dinaikkan si pemilik rumah makan menjadi Rp2 juta per bulan. Dia pun harus memikirkan gaji tiga karyawannya. Rangga akhirnya mengambil jalan pintas meminjam modal dari seorang rentenir Rp5 juta pada 2007. Uang itu dia gunakan untuk menggaji karyawan.
Beruntung Rangga bisa menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Hal tersebut bisa terjadi karena Rangga lebih suka mencari peluang untuk membuka jalan keluar, bukan lari dari masalah. Dia terus berpikir optimistis dan bersemangat mencari solusi terbaik.
Berkat kecemerlangannya melihat peluang itu, usaha kuliner yang punya logo mirip dengan logo kedai kopi asal Amerika Serikat (AS), Starbucks Coffee, ini dikenal luas dan menjadi pundi-pundi pendapatannya.
Kesuksesan mengelola bisnis di bidang kuliner juga dirasakan pengusaha muda, Reza Nurhalim. Reza menjadi Presiden Maicih yang memiliki omset penjualan Rp4 miliar per bulan. Padahal, modal pertama yang dikeluarkannya hanya Rp15 juta.
“Modal itu hanya cukup untuk kebutuhan bahan baku, seperti halnya tungku penggorengan,” ungkap Riza.
Maicih pertama kali dikembangkan pada 29 Juni 2010. Pemilihan produk keripik pedas ini dinilai Reza karena akan menarik pasar yang besar, sesuai dengan lidah orang Indonesia.
“Pemilihan nama Maicih sendiri berangkat dari dompet kecil yang berisi receh yang biasa disebut “icih” oleh Ibunda Reza,” tulis situs resmi Maicih.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika bisnis yang digeluti Reza kini berbuah manis.Dengan memanfaatkan jejaring sosial sebagai media pemasarannya, usaha keripik pedasnya menarik banyak peminat. Ia sengaja memilih tempat penjualan berpindah-pindah agar para pelanggan mencari informasinya melalui media sosial.
Strategi ini berhasil, keripiknya menjadi barang buruan remaja kota Bandung sampai harus mengantre berjam-jam. Pengalaman sukses berbisnis kuliner juga dialami Firmansyah Budi. Pria asal Yogyakarta ini mendirikan usaha cemilan berbahan olahan singkong dengan bendera Tela Krezz.
Dengan bermodalkan gerobak pinjaman dan uang senilai Rp200.000, kini usaha yang didirikannya sejak 2006 ini telah memiliki 60 karyawan tetap dan masih banyak yang outsourching.
”Saya bangga dengan menu yang saya tawarkan, yakni Tela Krezz.Yang kemudian dikomplain habis-habisan karena keripik ketelanya tidak kres sama sekali,sebaliknya mlempem,” kenang Firman.
Dalam sebuah usaha, kesalahan dalam berbisnis seperti yang dialami Firman, Riza, dan Rangga adalah sebagai pemicu untuk melangkah lebih baik.
(kur)