Kisah klasik di pelataran Prambanan

Jum'at, 20 Juli 2012 - 09:15 WIB
Kisah klasik di pelataran...
Kisah klasik di pelataran Prambanan
A A A
Di tengah impitan globalisasi dengan aneka ragam budaya pop, satu tradisi lokal masih bisa bertahan sampai sekarang. Kekayaan lokal ini dinikmati masyarakat luas hingga turis mancanegara.
Memasuki kompleks Candi Prambanan, Yogyakarta, sejenak akan menghilangkan kepenatan dari hiruk-pikuk perkotaan. Suara gamelan dari belasan niyaga (penabuh gamelan) dipadu dengan bunyi kenong, gambang, saron, kendang, dan sesekali pukulan gong menghadirkan suasana hati yang menenangkan. Seperti hidup di zaman kerajaan, di mana cerita Ramayana menjadi imajinasi yang realis.

Suasana demikian sejatinya bisa dirasakan ketika menyaksikan penampilan Sendratari Ramayana atau Ramayana Ballet di Kompleks Candi Prambanan. Apalagi di musim liburan, tentu saja pengunjung tidak hanya akan dimanjakan dengan indahnya panggung, sorotan lampu kekuningan, dan tarian gemulai dari para penari Sendratari, tapi juga akan disuguhi dengan performa kesenian lain yang ada di kompleks ini.

Salah satu penonton, yang juga pencinta drama dari Solo, Andika Harmoko, 29 mengatakan bahwa pergelaran yang menggabungkan drama dengan tari ini secara umum menakjubkan.

Keserasian venue, kostum, dan teatrikalnya membawa penonton seolah hidup dalam cerita yang dibawakan. “ Begitu pun dengan layar penerjemahnya, turut membantu para penonton asing untuk ikut memahami alur ceritanya. Yang paling saya senang adalah latar belakang panggung yang memakai bangunan Candi Prambanan langsung, itu keren banget,” cerita Andika.

Penonton lain yang berasal dari Klaten, Khotimun Sutanti, 28, menceritakan pengalamannya ketika menonton sendratari beberapa bulan lalu.

Menurut dia, penampilan Ramayana Ballet semakin unik karena digelar di lapangan terbuka pada malam hari. Penonton duduk seperti di stadion, melibatkan penari-penari Jawa dengan koreografi yang bagus.

Sementara bagian yang paling menarik adalah ketika Hanoman marah dan membakar kerajaan Alengka, maka disediakan rumahrumah kecil dari kayu yang benar-benar dibakar.

“Tak berlebihan jika penampilan sendratari ini menjadi kisah perjuangan yang terasa lebih nyata di depan mata,” kenang perempuan yang punya nama panggilan Imun ini.

Gairah masyarakat ingin menyaksikannya tidak cukup hanya sekali menonton. Dua penonton, Andika dan Imun, merupakan penonton setia yang sudah beberapa kali menyaksikan pertunjukan tersebut. Menurut keduanya, terdapat nilai yang berbeda dibandingkan dengan pementasan lain yang biasa digelar di panggung-panggung tertutup.

Sendratari adalah seni tari dan drama pementasan yang menampilkan kisah klasik, tapi dibingkai dengan konsep modern seperti yang terlihat pada pengoptimalan pemakaian busana dan padanan sorot lampu panggung. “Hal ini yang membuat orang tak ingin beranjak, meski hanya dua jam berlangsung,” ujar Imun.

Kepala Unit Pementasan Sendratari Ramayana Sapta Nugraha mengatakan, pada musim liburan seperti sekarang, pengunjung yang datang untuk menyaksikan sendratari bisa mencapai 800 orang dalam sehari.

Mereka tidak hanya berasal dari rombongan siswa sekolah, mahasiswa, tetapi juga karyawan dari institusi-institusi pemerintahan.

“Namun di hari biasa, dalam satu malam pengunjung bisa mencapai 500 orang,” kata Sapta kepada Seputar Indonesia (SINDO), Sabtu, 14 Juli 2012.

Sapta menambahkan, pengunjung biasanya datang secara bergerombol, ada yang satu bus atau dua sampai tiga bus. Mereka biasanya sengaja melakukan tur kunjungan ke beberapa tempat wisata budaya di Yogyakarta.

Sementara para karyawan dari institusi-institusi pemerintahan menjadikan Prambanan tujuan utama mereka, biasanya setelah mereka melakukan konferensi di daerah sekitar Jawa Tengah. Aksi drama dan tari yang ditampilkan hampir setiap malam ini memang patut diapresiasi.

Pasalnya, sejak diinisiasi presiden pertama Soekarno dan menteri kebudayaan dan pariwisata (Mendikbudpar) RI pertama, Djatikoesoemo pada 1961, hingga kini sendratari menjadi penampilan seni yang paling diidolakan di Prambanan.

“Bahkan, para turis dari negara-negara di Eropa dan Asia berdatangan hanya demi menyaksikan pertunjukan ini,” tutur Sapta.

Sendratari Ramayana merupakan salah satu kekayaan lokal yang sampai saat ini tetap eksis bisa dinikmati masyarakat luas. Pementasan yang mengisahkan kisah asmara Rama dan Shinta ini, dikelola secara apik oleh beberapa pihak yang menjadi mitra kerja.

Dahulu sendratari berada di bawah pengelolaan Mendikbudpar secara langsung. Tapi karena sekarang kementerian ini sudah tidak ada, saat ini menjadi badan usaha milik negara. Meski begitu, menurut pengakuan Sapta, pengelolaan pergelaran ini tetap bagus.

Sampai saat ini, keberadaannya memberi keuntungan yang tidak sedikit, termasuk membantu perekonomian masyarakat setempat.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5851 seconds (0.1#10.140)