Tolak rencana bantuan kepada IMF

Rabu, 11 Juli 2012 - 10:02 WIB
Tolak rencana bantuan kepada IMF
Tolak rencana bantuan kepada IMF
A A A
DIREKTUR Eksekutif IMF Christine Lagarde sedang bersafari ke berbagai negara di Asia guna menghimpun dana sebagai tambahan modal IMF untuk melawan krisis ekonomi Eropa, terutama di Irlandia, Italia, Portugal, Spanyol, Siprus, dan Yunani.

Lagarde akan bertemu dengan Presiden SBY di Jakarta pada hari ini. Salah satu agenda pertemuan adalah konfirmasi peminjaman sebesar USD1 miliar yang telah dikemukakan Presiden SBY pada pertemuan G-20 bulan lalu di Meksiko. Pemerintah antara lain menyatakan pemberian pinjaman kepada IMF merupakan bentuk solidaritas guna menyelamatkan perekonomian dunia.

Cara yang mungkin ditempuh adalah melalui peminjaman secara bilateral (Pemerintah RI dan IMF) atau melalui pembelian obligasi IMF. Rencana tersebut harus ditolak karena berbagai hal. Menurut Kepala BPS (2 Juli 2012), pada Maret 2012 jumlah penduduk miskin Indonesia 29,13 juta orang (12% populasi). Jika menggunakan standar Bank Dunia, yakni USD2 per kapita per hari, jumlah tersebut mencapai 115,52 juta orang (48%).

Menurut Eurostat (2011), sesuai dengan standar Bank Dunia USD2 per hari, pada 2011 jumlah penduduk miskin di Eropa hanya sekitar 2% dari 731 juta populasi, yaitu sekitar 15 juta orang. Akibat krisis, populasi penduduk miskin Eropa telah naik, tetapi jumlahnya tetap jauh lebih rendah dibandingkan penduduk miskin Indonesia.

Perbedaan kesejahteraan dapat pula dilihat dari perbandingan indeks pembangunan manusia (human development index, HDI) yang mengukur tingkat kemajuan kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Menurut UNDP (2011), HDI Indonesia adalah 0,617, jauh lebih rendah dibandingkan HDI Italia (0,951), Irlandia (0,962), Portugal (0,909), Spanyol (0,955), Siprus (0,941), dan Yunani (0,942). Aneh jika penyandang HDI rendah membantu penyandang HDI yang jauh lebih tinggi.

Pada 2011 pendapatan per kapita rakyat Indonesia hanyalah USD3.508. Pendapatan per kapita Indonesia ini jauh di bawah pendapatan per kapita negara-negara Eropa seperti Italia (sebesar USD31.870), Irlandia (USD37.700), Portugal (USD22.413), Spanyol (USD30.500), Siprus (28.000) dan Yunani (USD24.197).

Guna mengantisipasi dampak buruk krisis Eropa, Pemerintah Indonesia pun akan menandatangani komitmen pinjaman siaga sebesar USD5,5 miliar (Rp51,7 triliun) pada bulan ini. Pinjaman berasal dari Australia (USD1 miliar), Bank Dunia (USD2 miliar), ADB (USD500 juta), dan negara/lembaga kreditor lainnya. Jika pemerintah harus meminjam hingga Rp51,7 triliun untuk mengantisipasi dampak krisis Eropa dan meningkatnya defisit anggaran, mengapa pula pemerintah justru akan meminjamkan uang?

Kejahatan kapitalis
Dalam menghadapi krisis ekonomi 1997, Indonesia telah meminta bantuan IMF melalui penandatanganan letter of intent (LoI) pada 30 Oktober 1997. Esensi kesepakatan antara lain restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetatan likuiditas, serta penaikan suku bunga dan rencana penutupan sejumlah bank nasional.

Namun pemerintah pun harus memenuhi persyaratan tambahan jika diminta dan harus menyiapkan informasi yang dibutuhkan IMF. Dengan penandatanganan LoI diperoleh komitmen bantuan IMF sebesar USD43 miliar yang dikucurkan bertahap sesuai dengan progres pelaksanaan butir-butir LoI. Kucuran dana tahap I sebesar USD3 miliar dicairkan pada November 1997. Ternyata kucuran tahap berikutnya tidak terlaksana sesuai dengan jadwal karena prasyarat yang tak dipenuhi.

Prasyarat kucuran sangat banyak dan terus berkembang serta sebagian berupa agenda dan kepentingan IMF yang justru tidak relevan dengan upaya pemulihan ekonomi. Dalam hal ini, IMF berkepentingan menjalankan sistem ekonomi liberal di Indonesia sehingga bertindak sangat jauh mencampuri persoalan domestik. IMF memiliki akses yang luas di semua lembaga negara sehingga tidak ada lagi kerahasiaan informasi.

Setelah 5 tahun di bawah kendali IMF, ekonomi Indonesia tak kunjung pulih. Ternyata paket bantuan yang diberikan IMF justru membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Beberapa program yang dipaksakan IMF sangat merugikan negara seperti obral aset-aset BPPN, privatisasi BUMN, pemberian obligasi rekapitalisasi perbankan, dan penerbitan status release and discharge kepada pelaku pidana BLBI. Ternyata, IMF dan Bank Dunia datang bukan untuk menolong, tetapi mengambil kesempatan dan keuntungan dalam kesempitan.

IMF telah memaksakan penjualan 50% saham BCA seharga Rp5 triliun, padahal BCA masih memiliki obligasi rekap sebesar Rp60 triliun. Sebelumnya IMF sepakat saham bank-bank rekap, termasuk BCA, hanya akan dijual jika obligasi rekap telah ditarik. Namun karena agenda busuknya, IMF melanggar kesepakatan. Berbagai program IMF yang lain pada dasarnya telah merugikan RI ratusan hingga ribuan triliun rupiah.

Kerugian ini masih terus ditanggung rakyat melalui utang negara yang saat ini mencapai lebih dari Rp1.900 triliun. Dengan perilaku intimidatif dan sarat kepentingan, tak aneh jika banyak tokoh dan kalangan yang justru menuntut IMF. Namun ada pula oknum yang memberi apresiasi karena menjadi bagian atau jongos yang membantu agenda IMF.

Bahkan sebagian oknum tersebut justru sangat bangga “dipercaya” IMF mengampanyekan “keberhasilan” Indonesia keluar dari krisis 1997 kepada sejumlah negara yang dilanda krisis ekonomi 2008 atau 2011. Tanpa sadar mereka dimanfaatkan untuk kepentingan sistem kapitalis liberal IMF.

Frankfurt Agreement
Bukti lain culasnya IMF terlihat pada Frankfurt Agreement Juni 1998. Dengan alasan pemulihan kepercayaan internasional, Pemerintah RI dipaksa segera menyelesaikan tunggakan finansial kepada bank-bank asing. Dana pinjaman IMF justru harus segera digunakan membayar tagihan bank-bank asing dibandingkan untuk pemulihan ekonomi domestik.

Padahal sebagian besar utang tersebut dibuat secara tidak prudent dan sarat KKN. Lembaga keuangan asing tersebut tidak ikut menanggung risiko krisis, tetapi justru diselamatkan terlebih dahulu. Dengan kebijakan ini, Pemerintah Indonesia mengambil alih tanggung jawab utang swasta dan mengonversikannya menjadi utang negara. Seperti “pola” Frankfurt, sekitar 80% dari USD790 miliar bantuan pemerintah AS saat krisis ekonomi (sub-prime mortgage) tahun 2008 adalah untuk membayar sektor keuangan dan Wall Street, bukan untuk subsidi rakyat atau sektor ritel domestik.

Hal yang sama terjadi di Yunani, dari USD23 miliar bantuan tahap awal ECB (5/2012), hanya sebagian kecil yang mengendap di bank pemerintah karena mayoritas dana bantuan langsung ditransfer kepada para bank/kreditor asing. Akhirnya, diingatkan mayoritas rakyat Indonesia hidup sangat miskin dan tidak layak membantu rakyat di negara-negara yang jauh lebih kaya.

Dana ratusan miliar dolar AS yang sedang digalang IMF saat ini pada prinsipnya akan digunakan untuk membayar para kapitalis dan mengamankan sistem ekonomi liberal bermasalah, yang terbukti merugikan Indonesia. DPR pun harus menolak rencana pemberian pinjaman dana USD1 miliar oleh SBY yang tampaknya lebih memikirkan pencitraan dan kepatuhan pada asing dibandingkan memedulikan nasib rakyat, kerugian negara, dan harga diri bangsa yang telah dinistakan IMF.

MARWAN BATUBARA

Direktur Indonesian Resources Studies (Iress)
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4564 seconds (0.1#10.140)