Heroisme atau politisasi?
A
A
A
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ibaratnya kini menjadi lakon satu babak. Lembaga antikorupsi ini tengah menunjukkan sepak terjangnya, yakni menghimpun dana dari masyarakat untuk membangun gedung baru.
Langkah ini dilakukan setelah Komisi III DPR menunda keinginan KPK membangun gedung baru yang diajukan pimpinan KPK. Apa yang dilakukan KPK terkesan sangat heroik.
Saweran bisa dianggap sebagai simbol perlawanan KPK yang selama ini dianggap suci vis a vis DPR yang telanjur dianggap sebagai sarang korupsi. Dengan saweran, secara simbolis juga ingin membuktikan bahwa KPK bisa hidup tanpa dukungan dari DPR.
Secara simbolis pula hal itu dapat dibaca sebagai upaya KPK menantang lembaga tinggi negara tersebut untuk adu kekuatan dukungan rakyat atau masyarakat sipil.
Persoalannya, apakah sedemikian dahsyat persoalannya sehingga pimpinan KPK saat ini memilih “perang suci” melawan DPR? Apakah betul langkah DPR yang belum mau menghapus tanda bintang pada anggaran pembangunan gedung KPK sebagai langkah politis untuk membungkam langkah KPK melakukan pemberantasan korupsi? Apakah tidak ada alternatif selain KPK harus membangun gedung baru? Pantas pula dipertanyakan apakah masyarakat patut membela habis-habisan semua manuver KPK, termasuk mendukung saweran?
Apakah KPK saat ini sudah on the right track dan betul-betul suci sehingga patut dibela sedemikian rupa? Selanjutnya apakah saweran dibenarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibingkai peraturan dan perundangan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut disampaikan agar jangan sampai dukungan moral maupun material masyarakat luas terhadap KPK justru dieksploitasi untuk kepentingan lain.
Mengapa demikian? Tolok ukurnya sederhana. Di bawah kepemimpinan Abraham Samad, KPK sama sekali belum menunjukkan prestasinya.
KPK masih jalan di tempat dalam menangani kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),kasus Bank Century, kasus cek pelawat pemilihan deputi senior gubernur Bank Indonesia, kasus mafia Gayus Tambunan.
Padahal, Abraham Samad telah berjanji akan mundur jika dalam setahun tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Kesan yang muncul belakangan malah santer meneguhkan bahwa KPK menerapkan tebang pilih dalam menindaklanjuti kasus korupsi, cenderung menerapkan trial by opinion dengan menyebut nama-nama orang sebelum persoalan jelas, mengalihkan perhatian terhadap ketidakmampuannya dengan menggarap kasus-kasus kecil seperti penangkapan pegawai Bea Cukai di Bandara Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu.
Secara politis, upaya saweran bisa dianggap sebagai upaya pengalihan perhatian. Dengan saweran ini KPK telah mengaduk-aduk emosi masyarakat yang sejatinya bukan menjadi inti persoalan berdirinya KPK.
Keberadaan gedung sekadar sarana, tetapi pemberantasan korupsi kakap sebenar-benarnya adalah tugas utamanya. Semestinya KPK jangan mengedepankan perilaku politis.
Persoalan gedung kembalikan saja pada aturan main ketatanegaraan, bukan dengan gaya seperti disebut seorang anggota DPR sebagai gaya LSM. Memang sejumlah pimpinan KPK berlatar LSM, tapi bukan berarti serta-merta meng-copy-paste gaya LSM.
KPK adalah institusi negara sehingga apa pun pembiayaan terkait dengannya harus melalui mekanisme APBN. Menyikapi terkendalanya pembangunan gedung baru, KPK semestinya perlu bersabar dan terus mendekati DPR.
Pada sisi lain, KPK harus terus meningkatkan kinerjanya. Jika KPK benar-benar sudah menunjukkan kinerja positif, tetapi ternyata DPR tetap tidak mendukung, baru bisa disimpulkan siapa yang sebenarnya bermasalah.
Namun dalam kondisi yang tidak jelas seperti sekarang, sepak terjang apa pun yang dilakukan KPK lebih terasa suasana politisasinya ketimbang heroisme atau idealisme sesungguhnya.
Langkah ini dilakukan setelah Komisi III DPR menunda keinginan KPK membangun gedung baru yang diajukan pimpinan KPK. Apa yang dilakukan KPK terkesan sangat heroik.
Saweran bisa dianggap sebagai simbol perlawanan KPK yang selama ini dianggap suci vis a vis DPR yang telanjur dianggap sebagai sarang korupsi. Dengan saweran, secara simbolis juga ingin membuktikan bahwa KPK bisa hidup tanpa dukungan dari DPR.
Secara simbolis pula hal itu dapat dibaca sebagai upaya KPK menantang lembaga tinggi negara tersebut untuk adu kekuatan dukungan rakyat atau masyarakat sipil.
Persoalannya, apakah sedemikian dahsyat persoalannya sehingga pimpinan KPK saat ini memilih “perang suci” melawan DPR? Apakah betul langkah DPR yang belum mau menghapus tanda bintang pada anggaran pembangunan gedung KPK sebagai langkah politis untuk membungkam langkah KPK melakukan pemberantasan korupsi? Apakah tidak ada alternatif selain KPK harus membangun gedung baru? Pantas pula dipertanyakan apakah masyarakat patut membela habis-habisan semua manuver KPK, termasuk mendukung saweran?
Apakah KPK saat ini sudah on the right track dan betul-betul suci sehingga patut dibela sedemikian rupa? Selanjutnya apakah saweran dibenarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibingkai peraturan dan perundangan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut disampaikan agar jangan sampai dukungan moral maupun material masyarakat luas terhadap KPK justru dieksploitasi untuk kepentingan lain.
Mengapa demikian? Tolok ukurnya sederhana. Di bawah kepemimpinan Abraham Samad, KPK sama sekali belum menunjukkan prestasinya.
KPK masih jalan di tempat dalam menangani kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),kasus Bank Century, kasus cek pelawat pemilihan deputi senior gubernur Bank Indonesia, kasus mafia Gayus Tambunan.
Padahal, Abraham Samad telah berjanji akan mundur jika dalam setahun tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Kesan yang muncul belakangan malah santer meneguhkan bahwa KPK menerapkan tebang pilih dalam menindaklanjuti kasus korupsi, cenderung menerapkan trial by opinion dengan menyebut nama-nama orang sebelum persoalan jelas, mengalihkan perhatian terhadap ketidakmampuannya dengan menggarap kasus-kasus kecil seperti penangkapan pegawai Bea Cukai di Bandara Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu.
Secara politis, upaya saweran bisa dianggap sebagai upaya pengalihan perhatian. Dengan saweran ini KPK telah mengaduk-aduk emosi masyarakat yang sejatinya bukan menjadi inti persoalan berdirinya KPK.
Keberadaan gedung sekadar sarana, tetapi pemberantasan korupsi kakap sebenar-benarnya adalah tugas utamanya. Semestinya KPK jangan mengedepankan perilaku politis.
Persoalan gedung kembalikan saja pada aturan main ketatanegaraan, bukan dengan gaya seperti disebut seorang anggota DPR sebagai gaya LSM. Memang sejumlah pimpinan KPK berlatar LSM, tapi bukan berarti serta-merta meng-copy-paste gaya LSM.
KPK adalah institusi negara sehingga apa pun pembiayaan terkait dengannya harus melalui mekanisme APBN. Menyikapi terkendalanya pembangunan gedung baru, KPK semestinya perlu bersabar dan terus mendekati DPR.
Pada sisi lain, KPK harus terus meningkatkan kinerjanya. Jika KPK benar-benar sudah menunjukkan kinerja positif, tetapi ternyata DPR tetap tidak mendukung, baru bisa disimpulkan siapa yang sebenarnya bermasalah.
Namun dalam kondisi yang tidak jelas seperti sekarang, sepak terjang apa pun yang dilakukan KPK lebih terasa suasana politisasinya ketimbang heroisme atau idealisme sesungguhnya.
(hyk)