Peraturan menteri versus dunia usaha
A
A
A
Egoisme kementerian dalam menerbitkan berbagai peraturan menteri (permen) adalah sumber ancaman pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Disadari atau tak disadari, tidak sedikit permen yang diterbitkan tanpa koordinasi dengan kementerian satu sama lain yang justru bertentangan dan menyusahkan dunia usaha.
Selama ini bicara soal pelambatan pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyorot pada pengaruh eksternal di antaranya kondisi perekonomian global terutama di kawasan Eropa yang terus terpuruk.
Padahal, persoalan begitu nyata di depan mata yang bernama permen buah egoisme kementerian cenderung diabaikan. Bila terjadi egoisme kementerian didalam menerbitkan permen tanpa upaya serius mengantisipasinya, jangan pernah membayangkan fundamental perekonomian nasional bisa menopang pertumbuhan ekonomi domestik yang berkesinambungan.
Apalagi untuk menopang memasuki era masyarakat ekonomi ASEAN tiga tahun ke depan. Berbagai permen yang tumpang tindih terutama berkaitan dengan perekonomian akan berdampak pada tingginya biaya produksi dan logistik, daya saing lemah, dan persoalan birokrasi kian berbelit dan tidak bersahabat dengan dunia usaha.
Persoalan egoisme kementerian itu kini disorot tajam oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Seperti diakui Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur, keluhan dunia usaha masih seputar kebijakan terutama berkaitan sejumlah permen yang tumpang tindih.
“Sudah hampir 10 tahun terakhir tidak ada perubahan signifikan, keluhan dunia usaha masih di situ-situ saja,” kata Natsir dalam keterangan pers kemarin. Bicara soal ideal, seharusnya sebuah kebijakan atau permen yang terkait dunia usaha sebelum diterbitkan hendaknya mendengar suara pelaku usaha.
Hal ini tentu bukan sekadar untuk basa-basi,melainkan juga ada payung hukum yang menaunginya yakni Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1987 yang menegaskan bahwa Kadin adalah mitra kerja pemerintah.
Dalam situasi seperti itu, Kadin hendaknya juga tak boleh sekadar menunggu bola, harus rajin membuka dialog dan memberikan masukan kepada kementerian untuk membuat aturan yang sejalan dengan kepentingan dunia usaha.
Kalau Kadin sekadar bertahan menunggu permen terbit lalu mengkritisi, hal itu juga kurang benar. Sejak awal tahun ini sejumlah kebijakan kementerian dinilai bertabrakan satu sama lain. Misalnya di satu sisi Kementerian Perdagangan terus berupaya mendongkrak arus ekspor untuk mengimbangi derasnya serbuan impor, yang kini mengancam neraca perdagangan menjadi defisit.
Tetapi di sisi lain, Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan yang mengerem laju ekspor untuk sejumlah komoditas. Dalam kebijakan atas nama menata sumber daya alam tepatnya mineral, menteri keuangan menerbitkan peraturan soal besaran bea keluar untuk 14 jenis komoditas mineral.
Peraturan itu di mata pengusaha yang bergerak di bidang ekspor komoditas mineral tentu tidak senafas dengan kebijakan kementerian yang menerbitkan aturan memudahkan pengusaha berpartisipasi dalam meningkatkan ekspor.
Tetapi, permen itu harus dikecualikan dari tudingan Kadin sebagai sebuah egoisme kementerian. Sepertinya kebijakan itu memang tidak sejalan, tetapi pada prinsipnya tujuannya sama.
Kebijakan bea keluar tersebut salah satu program pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah mineral sebelum diekspor melalui pengolahan dan pemurnian, yang pada ujungnya meningkatkan nilai ekspor dan membuka lapangan kerja di dalam negeri sehingga kuncinya dialog pemerintah dengan pelaku bisnis jangan terputus.(*)
Selama ini bicara soal pelambatan pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyorot pada pengaruh eksternal di antaranya kondisi perekonomian global terutama di kawasan Eropa yang terus terpuruk.
Padahal, persoalan begitu nyata di depan mata yang bernama permen buah egoisme kementerian cenderung diabaikan. Bila terjadi egoisme kementerian didalam menerbitkan permen tanpa upaya serius mengantisipasinya, jangan pernah membayangkan fundamental perekonomian nasional bisa menopang pertumbuhan ekonomi domestik yang berkesinambungan.
Apalagi untuk menopang memasuki era masyarakat ekonomi ASEAN tiga tahun ke depan. Berbagai permen yang tumpang tindih terutama berkaitan dengan perekonomian akan berdampak pada tingginya biaya produksi dan logistik, daya saing lemah, dan persoalan birokrasi kian berbelit dan tidak bersahabat dengan dunia usaha.
Persoalan egoisme kementerian itu kini disorot tajam oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Seperti diakui Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur, keluhan dunia usaha masih seputar kebijakan terutama berkaitan sejumlah permen yang tumpang tindih.
“Sudah hampir 10 tahun terakhir tidak ada perubahan signifikan, keluhan dunia usaha masih di situ-situ saja,” kata Natsir dalam keterangan pers kemarin. Bicara soal ideal, seharusnya sebuah kebijakan atau permen yang terkait dunia usaha sebelum diterbitkan hendaknya mendengar suara pelaku usaha.
Hal ini tentu bukan sekadar untuk basa-basi,melainkan juga ada payung hukum yang menaunginya yakni Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1987 yang menegaskan bahwa Kadin adalah mitra kerja pemerintah.
Dalam situasi seperti itu, Kadin hendaknya juga tak boleh sekadar menunggu bola, harus rajin membuka dialog dan memberikan masukan kepada kementerian untuk membuat aturan yang sejalan dengan kepentingan dunia usaha.
Kalau Kadin sekadar bertahan menunggu permen terbit lalu mengkritisi, hal itu juga kurang benar. Sejak awal tahun ini sejumlah kebijakan kementerian dinilai bertabrakan satu sama lain. Misalnya di satu sisi Kementerian Perdagangan terus berupaya mendongkrak arus ekspor untuk mengimbangi derasnya serbuan impor, yang kini mengancam neraca perdagangan menjadi defisit.
Tetapi di sisi lain, Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan yang mengerem laju ekspor untuk sejumlah komoditas. Dalam kebijakan atas nama menata sumber daya alam tepatnya mineral, menteri keuangan menerbitkan peraturan soal besaran bea keluar untuk 14 jenis komoditas mineral.
Peraturan itu di mata pengusaha yang bergerak di bidang ekspor komoditas mineral tentu tidak senafas dengan kebijakan kementerian yang menerbitkan aturan memudahkan pengusaha berpartisipasi dalam meningkatkan ekspor.
Tetapi, permen itu harus dikecualikan dari tudingan Kadin sebagai sebuah egoisme kementerian. Sepertinya kebijakan itu memang tidak sejalan, tetapi pada prinsipnya tujuannya sama.
Kebijakan bea keluar tersebut salah satu program pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah mineral sebelum diekspor melalui pengolahan dan pemurnian, yang pada ujungnya meningkatkan nilai ekspor dan membuka lapangan kerja di dalam negeri sehingga kuncinya dialog pemerintah dengan pelaku bisnis jangan terputus.(*)
()