Endang Rahayu, Namru & bisnis Amerika (bagian-3)
A
A
A
Sindonews.com - Mantan Menteri Kesehatan periode 2009–2014, Endang Rahayu Sedyaningsih meninggal dunia, Rabu 2 Mei 2012, sekira pukul 11.41 WIB, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, setelah berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya sejak lama. Endang meninggal dalam usia 57 tahun.
Kepergian Endang untuk selamanya itu, masih menyisakan tanda tanya besar seputar pengangkatannya sebagai menteri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Oktober 2009, menggantikan Siti Fadillah Supari. Banyak yang bertanya-tanya dan soal penunjukkan Endang ini karena adanya campur tangan Amerika Serikat (AS).
Beberapa kalangan menduga, ditunjuknya Endang sebagai menteri karena kedekatannya dengan Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut Amerika Serikat. Diketahui, Endang pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium di Namru dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, bidang penanganan penyakit menular, pada Juli-Desember 2001.
Dugaan itu diperkuat dengan ditolaknya calon menteri yang sebelumnya disebut-sebut sebagai bakal pengganti Siti, yakni Nila Anfasha Juwita Moeloek dengan alasan tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan pekerjaan yang berat. Padahal, saat berkarir di Departemen Kesehatan (Depkes), Endang memiliki catatan buruk.
Dia pernah diskorsing Siti yang kala itu masih menjabat sebagai menteri, karena diduga menjual virus Flu Burung ke luar negeri. Lebih jauh, Endang dinilai lebih mementingkan AS dengan bisnis kesehatannya, ketimbang Indonesia. Kendati begitu, SBY tetap tak bergeming. Sebab, semua ada di tangan presiden.
Bahkan, Endang tanpa melalui tes kesehatan saat proses seleksi menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Setelah setahun menjabat, Endang divonis mengidap kanker oleh RSPAD Gatot Subroto. Masyarakat melihat, banyak terjadi kejanggalan. Hal ini inilah yang menjadi polemik.
Namun, terpilih dan tidaknya seorang calon menteri, tetap tergantung SBY. Semua, dikembalikan kepada dia yang memutuskan orang tersebut layak atau tidak. Karena tes yang dijalankan oleh seorang calon menteri, hanya bagian dari penilaian awal dan bukan akhir. Banyak kalangan menduga, sikap SBY erat hubungannya dengan intervensi AS dan politik yang dianutnya.
Sebagai jawaban, pada 2007, Siti menulis buku "Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung Konspirasi Amerika Serikat dan Organisasi WHO", dalam mengembangkan senjata biologis dengan menggunakan virus flu burung. Buku ini menuai protes dari petinggi WHO dan Amerika Serikat.
Dalam buku tersebut, Siti membeberkan topeng intelijen AS pada negara-negara berkembang dan dunia ketiga dengan proyek kesehatannya. Berawal ketika banyak negara (termasuk Indonesia) dilanda bencana virus Flu Burung. WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu Burung untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka.
Dikatakan, hasil penelitian dari virus tidak diberikan kepada negara penderita (affected countries). Dia mengambil contoh di Vietnam, yang memiliki karakter seperti Indonesia, dimana penderita penyakit Flu Burung cukup banyak. Vietnam pun memberikan sampel virusnya ke WHO.
Tidak adanya vaksin yang didapat, malah terpaksa untuk membeli vaksin Flu Burung dari salah satu perusahaan farmasi AS dengan harga mahal. Vaksin flu burung yang dijual perusahaan AS itu, diduga didapat dari sampel virus Flu Burung yang ada di Vietnam? Pola seperti ini juga yang diduga dilakukan Namru di Indonesia dengan bantuan Endang.
Namun, di luar kontroversi yang ada dalam diri Endang, banyak juga jasa yang sudah diberikannya selama hidup. Salah satunya adalah ikut menyukseskan program Badan Pengamanan Jaringan Sosial (BPJS). Sayang, program kerakyatan itu belum diselesaikannya.
Seperti diketahui, Endang meninggal dunia Rabu 2 Mei 2012 sekira pukul 11.41 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, setelah berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya sejak lama. Endang meninggal dalam usia 57 tahun. (san)
Kepergian Endang untuk selamanya itu, masih menyisakan tanda tanya besar seputar pengangkatannya sebagai menteri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Oktober 2009, menggantikan Siti Fadillah Supari. Banyak yang bertanya-tanya dan soal penunjukkan Endang ini karena adanya campur tangan Amerika Serikat (AS).
Beberapa kalangan menduga, ditunjuknya Endang sebagai menteri karena kedekatannya dengan Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut Amerika Serikat. Diketahui, Endang pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium di Namru dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, bidang penanganan penyakit menular, pada Juli-Desember 2001.
Dugaan itu diperkuat dengan ditolaknya calon menteri yang sebelumnya disebut-sebut sebagai bakal pengganti Siti, yakni Nila Anfasha Juwita Moeloek dengan alasan tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan pekerjaan yang berat. Padahal, saat berkarir di Departemen Kesehatan (Depkes), Endang memiliki catatan buruk.
Dia pernah diskorsing Siti yang kala itu masih menjabat sebagai menteri, karena diduga menjual virus Flu Burung ke luar negeri. Lebih jauh, Endang dinilai lebih mementingkan AS dengan bisnis kesehatannya, ketimbang Indonesia. Kendati begitu, SBY tetap tak bergeming. Sebab, semua ada di tangan presiden.
Bahkan, Endang tanpa melalui tes kesehatan saat proses seleksi menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Setelah setahun menjabat, Endang divonis mengidap kanker oleh RSPAD Gatot Subroto. Masyarakat melihat, banyak terjadi kejanggalan. Hal ini inilah yang menjadi polemik.
Namun, terpilih dan tidaknya seorang calon menteri, tetap tergantung SBY. Semua, dikembalikan kepada dia yang memutuskan orang tersebut layak atau tidak. Karena tes yang dijalankan oleh seorang calon menteri, hanya bagian dari penilaian awal dan bukan akhir. Banyak kalangan menduga, sikap SBY erat hubungannya dengan intervensi AS dan politik yang dianutnya.
Sebagai jawaban, pada 2007, Siti menulis buku "Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung Konspirasi Amerika Serikat dan Organisasi WHO", dalam mengembangkan senjata biologis dengan menggunakan virus flu burung. Buku ini menuai protes dari petinggi WHO dan Amerika Serikat.
Dalam buku tersebut, Siti membeberkan topeng intelijen AS pada negara-negara berkembang dan dunia ketiga dengan proyek kesehatannya. Berawal ketika banyak negara (termasuk Indonesia) dilanda bencana virus Flu Burung. WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu Burung untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka.
Dikatakan, hasil penelitian dari virus tidak diberikan kepada negara penderita (affected countries). Dia mengambil contoh di Vietnam, yang memiliki karakter seperti Indonesia, dimana penderita penyakit Flu Burung cukup banyak. Vietnam pun memberikan sampel virusnya ke WHO.
Tidak adanya vaksin yang didapat, malah terpaksa untuk membeli vaksin Flu Burung dari salah satu perusahaan farmasi AS dengan harga mahal. Vaksin flu burung yang dijual perusahaan AS itu, diduga didapat dari sampel virus Flu Burung yang ada di Vietnam? Pola seperti ini juga yang diduga dilakukan Namru di Indonesia dengan bantuan Endang.
Namun, di luar kontroversi yang ada dalam diri Endang, banyak juga jasa yang sudah diberikannya selama hidup. Salah satunya adalah ikut menyukseskan program Badan Pengamanan Jaringan Sosial (BPJS). Sayang, program kerakyatan itu belum diselesaikannya.
Seperti diketahui, Endang meninggal dunia Rabu 2 Mei 2012 sekira pukul 11.41 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, setelah berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya sejak lama. Endang meninggal dalam usia 57 tahun. (san)
()