Bupati korup, parpol dilarang ikut pilkada
A
A
A
Sindonews.com - Aturan tegas akan diberlakukan bagi siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi. Pemerintah akan mengusulkan adanya pelarangan parpol ikut pilkada jika kepala daerah yang diusung terbukti korupsi.
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengatakan, pemerintah akan mengusulkan adanya aturan khusus mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah.
Menurut dia, parpol atau gabungan parpol dilarang mencalonkan kepala daerah minimal satu periode jika kepala daerah yang diusung sebelumnya terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
“Parpol atau gabungan parpol harus bertanggung jawab, jika kemudian kepala daerah yang diusung ternyata melakukan perbuatan tindak pidana korupsi,” tandas Djohan di Jakarta kemarin.
Menurut Djohan, aturan pelarangan itu akan dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang sedang dibahas DPR. Djohan menyatakan aturan pelarangan itu sangat penting untuk menciptakan efek jera. “Ini juga bisa membuat parpol tidak sembarangan memilih calon,” tandasnya.
Djohan mengatakan sudah bukan rahasia lagi jika parpol selalu meminta mahar agar seseorang bisa maju dalam pilkada. Hal inilah, menurut dia, yang kemudian menjebak kepala daerah untuk melakukan korupsi. “Mereka melakukan itu karena untuk membayar ongkos politik yang memang mahal,” ujar Djohan.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri, dalam delapan tahun terakhir sudah 173 kepala daerah terjerat kasus korupsi dan 70 persen di antaranya berstatus terpidana.
Hanya, sanksi kepada parpol pengusung, baru akan diberikan jika kepala daerah yang terjerat terpidana korupsi sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Navis Gumay mengatakan, jika memang pemerintah sudah yakin penyebab tindakan korupsi yang dilakukan kepala daerah karena mahar kepada parpol, yang seharusnya dilarang adalah praktik uang mahar.
Pemerintah, ujarnya, tidak perlu sampai melarang parpol untuk ikut pilkada. “Seharusnya dibuat peraturan tentang pelarangan parpol meminta atau menerima mahar dari calon yang diusung. Aturan itu sebaiknya juga memuat denda agar parpol juga mematuhinya,”tandas Hadar.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan, secara semangat, aturan pelarangan itu sangat positif sebab menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasi penyakit korupsi akut yang banyak menghinggapi pemimpin daerah yang dipilih melalui pilkada.
Hanya, Titi mengingatkan bahwa dalam membuat aturan perlu diingat relevansi antara tanggung jawab individu dengan kelembagaan parpol. “Korupsi kepala daerah harus dihukum tanpa pandang bulu, namun melarang parpol menjadi konsisten pemilu karena perbuatan pribadi kader adalah sesuatu yang kurang relevan,” ungkap Titi.
Menurut Titi, yang perlu diperbaiki adalah sistem pilkada secara komprehensif. Pencalonan dan regulasi harus bisa mengatur atau menjangkau agar tidak ada lagi uang mahar, tanda jadi, atau ongkos perahu.
Selain itu, ujarnya, pola kompetisi juga harus didesain agar lebih mengedepankan program-program dan visi-misi calon, dan bukan sebaliknya memfasilitasi jalan pintas kemenangan melalui politik uang.
“Ini pekerjaan rumah pada penataan pemerintah daerah kita yang bisa secara efektif mengontrol agar perilaku koruptif itu bisa dipagari dan tidak muncul kembali,” tandasnya.
Ketua DPP Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, jika larangan tersebut dijatuhkan kepada kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi untuk tidak dapat mencalonkan diri lagi, maka menjadi hal yang wajar.
Namun jika parpol yang dikenakan hukuman untuk tidak dapat mengajukan calon lagi di pilkada, negara akan bubar. “Coba, parpol mana yang tidak korupsi? Siapa yang mengusulkan? Coba dicek lagi usulannya,” tandas Benny.
Senada diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Nurul Arifin. Menurut dia, tidak ada partai yang mau disalahkan atas korupsi yang dilakukan kepala daerah yang diusungnya. Menurut dia, tindakan korupsi tersebut tidak ada kaitannya dengan partai. “Usulan ini dirasa terlalu berlebihan,” katanya.
Pendapat berbeda disampaikan Ketua DPP Partai Hanura Yuddy Chrisnandi. Dia justru meminta pemerintah untuk membuat aturan mengenai jual-beli perahu dalam pilkada. Dia menilai hanya ada dua kemungkinan seseorang calon berani membeli legitimasi dari parpol, yakni menggunakan dana pribadi yang di kemudian hari akan diganti, atau dengan menggunakan sponsor yang akan diganti melalui proyekproyek selama dia menjabat.
”Karena itu harus ada aturan, kalau semua ini dibiarkan saja maka pilkada akan semakin kental dengan politik uang,” tandas Yuddy di Gedung DPD, Jakarta, kemarin.(lin)
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengatakan, pemerintah akan mengusulkan adanya aturan khusus mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah.
Menurut dia, parpol atau gabungan parpol dilarang mencalonkan kepala daerah minimal satu periode jika kepala daerah yang diusung sebelumnya terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
“Parpol atau gabungan parpol harus bertanggung jawab, jika kemudian kepala daerah yang diusung ternyata melakukan perbuatan tindak pidana korupsi,” tandas Djohan di Jakarta kemarin.
Menurut Djohan, aturan pelarangan itu akan dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang sedang dibahas DPR. Djohan menyatakan aturan pelarangan itu sangat penting untuk menciptakan efek jera. “Ini juga bisa membuat parpol tidak sembarangan memilih calon,” tandasnya.
Djohan mengatakan sudah bukan rahasia lagi jika parpol selalu meminta mahar agar seseorang bisa maju dalam pilkada. Hal inilah, menurut dia, yang kemudian menjebak kepala daerah untuk melakukan korupsi. “Mereka melakukan itu karena untuk membayar ongkos politik yang memang mahal,” ujar Djohan.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri, dalam delapan tahun terakhir sudah 173 kepala daerah terjerat kasus korupsi dan 70 persen di antaranya berstatus terpidana.
Hanya, sanksi kepada parpol pengusung, baru akan diberikan jika kepala daerah yang terjerat terpidana korupsi sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Navis Gumay mengatakan, jika memang pemerintah sudah yakin penyebab tindakan korupsi yang dilakukan kepala daerah karena mahar kepada parpol, yang seharusnya dilarang adalah praktik uang mahar.
Pemerintah, ujarnya, tidak perlu sampai melarang parpol untuk ikut pilkada. “Seharusnya dibuat peraturan tentang pelarangan parpol meminta atau menerima mahar dari calon yang diusung. Aturan itu sebaiknya juga memuat denda agar parpol juga mematuhinya,”tandas Hadar.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan, secara semangat, aturan pelarangan itu sangat positif sebab menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasi penyakit korupsi akut yang banyak menghinggapi pemimpin daerah yang dipilih melalui pilkada.
Hanya, Titi mengingatkan bahwa dalam membuat aturan perlu diingat relevansi antara tanggung jawab individu dengan kelembagaan parpol. “Korupsi kepala daerah harus dihukum tanpa pandang bulu, namun melarang parpol menjadi konsisten pemilu karena perbuatan pribadi kader adalah sesuatu yang kurang relevan,” ungkap Titi.
Menurut Titi, yang perlu diperbaiki adalah sistem pilkada secara komprehensif. Pencalonan dan regulasi harus bisa mengatur atau menjangkau agar tidak ada lagi uang mahar, tanda jadi, atau ongkos perahu.
Selain itu, ujarnya, pola kompetisi juga harus didesain agar lebih mengedepankan program-program dan visi-misi calon, dan bukan sebaliknya memfasilitasi jalan pintas kemenangan melalui politik uang.
“Ini pekerjaan rumah pada penataan pemerintah daerah kita yang bisa secara efektif mengontrol agar perilaku koruptif itu bisa dipagari dan tidak muncul kembali,” tandasnya.
Ketua DPP Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, jika larangan tersebut dijatuhkan kepada kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi untuk tidak dapat mencalonkan diri lagi, maka menjadi hal yang wajar.
Namun jika parpol yang dikenakan hukuman untuk tidak dapat mengajukan calon lagi di pilkada, negara akan bubar. “Coba, parpol mana yang tidak korupsi? Siapa yang mengusulkan? Coba dicek lagi usulannya,” tandas Benny.
Senada diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Nurul Arifin. Menurut dia, tidak ada partai yang mau disalahkan atas korupsi yang dilakukan kepala daerah yang diusungnya. Menurut dia, tindakan korupsi tersebut tidak ada kaitannya dengan partai. “Usulan ini dirasa terlalu berlebihan,” katanya.
Pendapat berbeda disampaikan Ketua DPP Partai Hanura Yuddy Chrisnandi. Dia justru meminta pemerintah untuk membuat aturan mengenai jual-beli perahu dalam pilkada. Dia menilai hanya ada dua kemungkinan seseorang calon berani membeli legitimasi dari parpol, yakni menggunakan dana pribadi yang di kemudian hari akan diganti, atau dengan menggunakan sponsor yang akan diganti melalui proyekproyek selama dia menjabat.
”Karena itu harus ada aturan, kalau semua ini dibiarkan saja maka pilkada akan semakin kental dengan politik uang,” tandas Yuddy di Gedung DPD, Jakarta, kemarin.(lin)
()