Pilkada DKI jadi cermin pilpres 2014
A
A
A
Sindonews.com - Pimpinan partai politik diminta becermin pada dinamika pencalonan dalam Pilkada DKI Jakarta untuk menjadi referensi penentuan calon presiden (capres) 2014.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mengatakan, bila dalam Pilpres 2014 yang muncul seperti calon-calon di Pilkada DKI, antusiasme publik bisa tinggi.
“Pilpres harus banyak belajar fenomena antusiasme Pilgub 2012 ini. Karena Pilgub DKI Jakarta ini sangat kaya calon alternatif, baik yang diusung partai politik maupun (dari jalur) independen. Bahkan calon dari partai pun menunjukkan ada keterbukaan di partainya,” kata Hajriyanto di Gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
Hajriyanto membayangkan bagaimana antusiasme publik di saat partai mengusung nama- nama yang di DKI sebenarnya tidak masuk dalam struktur strategis partai. Nama seperti Joko Widodo dan Alex Nurdin bahkan dari daerah yang sebelumnya tidak dibayangkan bakal meramaikan Pilkada DKI Jakarta.
Kemudian PKS juga mengusung nama Hidayat Nurwahid dan Didik J Rachbini yang sebelumnya tidak pernah disebut dalam pemberitaan. Artinya, pada waktu tertentu partai memang harus rasional dan realistis atas apa yang dikehendaki publik.
“Sikap seperti itulah yang harus ditunjukkan partai dalam menyiapkan figur di Pilpres 2014. Dengan cara seperti itu, maka antusiasme publik tinggi dan terpuaskan dengan munculnya calon yang beragam. Sekarang sudah ada lembaga yang mengkaji bahwa setelah banyaknya calon, publik Jakarta yang siap gunakan hak pilihnya mencapai 88 persen,” ujarnya.
Ketua DPP Partai Golkar itu menilai, Pilgub DKI Jakarta sangat menggambarkan keinginan publik. Karena itu, jika partai mau melihat gambarkan keinginan publik itu, lihatlah keinginan publik di DKI.
“Artinya, partai harus becermin di Pilgub Jakarta dalam hal pengajuan calon. Kalau tidak, antusiasme publik akan sangat rendah,” tegasnya. Untuk Pilpres 2014 nanti, lanjut dia, partai harus membuka partisipasi masyarakat dalam penentuan calon-calonnya.
Karena bagaimanapun juga, tingginya antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya akan mempengaruhi legitimasi politik dari yang terpilih. “Itu sangat mewarnai legitimasi kebijakan yang dibuat oleh yang terpilih nanti. Dan legitimasi politik itu sangat dipengaruhi jumlah pemilihnya,” jelasnya.
Dia menyarankan kepada para ketua umum partai dan penentu kebijakan partai untuk melakukan evaluasi dalam mekanisme serta cara penentuan calon yang akan diusung dalam pilpres.
Jika dalam pilkada jabatan tertinggi di partai juga tidak otomatis punya kemudahan untuk mencalonkan atau dicalonkan, maka dalam pilpres pun harusnya demikian. Partai, kata dia, harus merangsang munculnya figur-figur alternatif agar paralel dengan keinginan atau aspirasi publik.
Setelah partai mau membuka diri dalam hal pencalonan, baru kemudian UU Pilpres direvisi untuk memberikan kemudahan bagi partai untuk mengusung calon. Sebab, kata dia, mengacu UU Pilpres saat ini, sangat sulit bagi publik untuk bisa punya banyak pilihan.
“Sebab, syarat 15 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sangat sulit bagi partai untuk memunculkan figur-figur alternatif. Sangat disayangkan jika ada figur potensial dengan elektabilitas tinggi tetapi tidak mendapatkan dukungan kuat dari partai karena yang bersangkutan bukan berasal dari partai,” jelasnya.
Senada diungkapkan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin. Menurut dia, proses perekrutan calon yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta bisa menjadi inspirasi atau gambaran dalam menentukan calon di pilpres.
Sebab, apa yang terjadi di Pilkada DKI itu bukan saja beragam dari segi jumlahnya, tetapi juga latar belakang calon yang menjadikan publik punya banyak alternatif.
“Ini sangat baik,yang tentu saja ketua umum partai harus bisa mengambil inspirasi,” ungkapnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyatakan, inspirasi yang harus diambil oleh pimpinan partai adalah mereka tidak perlu memaksakan diri untuk memajukan dirinya atau kader internalnya jika memang kurang layak dan belum ada dukungan kuat dari publik.
“Kalau di internal kader tidak ada ditemukan layak,tentunya harus melihat dari luar,seperti Pilkada DKI.Apalagi sekarang sudah ada survei untuk mengukur aspirasi,” terangnya.(lin)
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mengatakan, bila dalam Pilpres 2014 yang muncul seperti calon-calon di Pilkada DKI, antusiasme publik bisa tinggi.
“Pilpres harus banyak belajar fenomena antusiasme Pilgub 2012 ini. Karena Pilgub DKI Jakarta ini sangat kaya calon alternatif, baik yang diusung partai politik maupun (dari jalur) independen. Bahkan calon dari partai pun menunjukkan ada keterbukaan di partainya,” kata Hajriyanto di Gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
Hajriyanto membayangkan bagaimana antusiasme publik di saat partai mengusung nama- nama yang di DKI sebenarnya tidak masuk dalam struktur strategis partai. Nama seperti Joko Widodo dan Alex Nurdin bahkan dari daerah yang sebelumnya tidak dibayangkan bakal meramaikan Pilkada DKI Jakarta.
Kemudian PKS juga mengusung nama Hidayat Nurwahid dan Didik J Rachbini yang sebelumnya tidak pernah disebut dalam pemberitaan. Artinya, pada waktu tertentu partai memang harus rasional dan realistis atas apa yang dikehendaki publik.
“Sikap seperti itulah yang harus ditunjukkan partai dalam menyiapkan figur di Pilpres 2014. Dengan cara seperti itu, maka antusiasme publik tinggi dan terpuaskan dengan munculnya calon yang beragam. Sekarang sudah ada lembaga yang mengkaji bahwa setelah banyaknya calon, publik Jakarta yang siap gunakan hak pilihnya mencapai 88 persen,” ujarnya.
Ketua DPP Partai Golkar itu menilai, Pilgub DKI Jakarta sangat menggambarkan keinginan publik. Karena itu, jika partai mau melihat gambarkan keinginan publik itu, lihatlah keinginan publik di DKI.
“Artinya, partai harus becermin di Pilgub Jakarta dalam hal pengajuan calon. Kalau tidak, antusiasme publik akan sangat rendah,” tegasnya. Untuk Pilpres 2014 nanti, lanjut dia, partai harus membuka partisipasi masyarakat dalam penentuan calon-calonnya.
Karena bagaimanapun juga, tingginya antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya akan mempengaruhi legitimasi politik dari yang terpilih. “Itu sangat mewarnai legitimasi kebijakan yang dibuat oleh yang terpilih nanti. Dan legitimasi politik itu sangat dipengaruhi jumlah pemilihnya,” jelasnya.
Dia menyarankan kepada para ketua umum partai dan penentu kebijakan partai untuk melakukan evaluasi dalam mekanisme serta cara penentuan calon yang akan diusung dalam pilpres.
Jika dalam pilkada jabatan tertinggi di partai juga tidak otomatis punya kemudahan untuk mencalonkan atau dicalonkan, maka dalam pilpres pun harusnya demikian. Partai, kata dia, harus merangsang munculnya figur-figur alternatif agar paralel dengan keinginan atau aspirasi publik.
Setelah partai mau membuka diri dalam hal pencalonan, baru kemudian UU Pilpres direvisi untuk memberikan kemudahan bagi partai untuk mengusung calon. Sebab, kata dia, mengacu UU Pilpres saat ini, sangat sulit bagi publik untuk bisa punya banyak pilihan.
“Sebab, syarat 15 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sangat sulit bagi partai untuk memunculkan figur-figur alternatif. Sangat disayangkan jika ada figur potensial dengan elektabilitas tinggi tetapi tidak mendapatkan dukungan kuat dari partai karena yang bersangkutan bukan berasal dari partai,” jelasnya.
Senada diungkapkan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin. Menurut dia, proses perekrutan calon yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta bisa menjadi inspirasi atau gambaran dalam menentukan calon di pilpres.
Sebab, apa yang terjadi di Pilkada DKI itu bukan saja beragam dari segi jumlahnya, tetapi juga latar belakang calon yang menjadikan publik punya banyak alternatif.
“Ini sangat baik,yang tentu saja ketua umum partai harus bisa mengambil inspirasi,” ungkapnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyatakan, inspirasi yang harus diambil oleh pimpinan partai adalah mereka tidak perlu memaksakan diri untuk memajukan dirinya atau kader internalnya jika memang kurang layak dan belum ada dukungan kuat dari publik.
“Kalau di internal kader tidak ada ditemukan layak,tentunya harus melihat dari luar,seperti Pilkada DKI.Apalagi sekarang sudah ada survei untuk mengukur aspirasi,” terangnya.(lin)
()