DPD kritik balik Marzuki Alie
A
A
A
Sindonews.com - Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie tentang para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dinilainya lebih sering berada di Jakarta ketimbang di daerah pemilihan membuat Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas angkat bicara.
Menurut Hemas,anggota DPD perlu sering berada di Jakarta untuk mewakili kepentingan daerah di pentas nasional. "Dalam hal ini, Jakarta merupakan pusat pergerakan politik yang menghasilkan kebijakan menentukan bagi kepentingan daerah," ujarnya di Jakarta kemarin.
Hemas mengingatkan, DPD sangat membutuhkan dukungan dari berbagai kalangan agar dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, terutama dari DPR. "Jadi, kalangan pimpinan lembaga legislatif perlu lebih mendukung misalnya dengan lebih mengontrol pernyataan ke publik dan mengedepankan hal-hal yang lebih bermanfaat," tegasnya.
Sebelumnya, Marzuki Alie pada Rabu (14/3) menyatakan bahwa para anggota DPD seharusnya lebih sering berada di dapil masing-masing dibandingkan di Jakarta. "Semestinya mereka sekali-kali saja di Jakarta kalau ada agenda sidang. Tapi sekarang justru lebih banyak di Jakarta karena alasan sidangnya banyak," katanya saat itu.
Dia mengaku,secara kelembagaan, DPR sudah sangat sering mengingatkan DPD agar tidak keliru menerjemahkan amanat Undang-Undang No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mengenai fungsi dan peran kelembagaan DPD.
"Tapi seperti yang kita saksikan, para anggota DPD di mana setiap provinsi diwakili empat orang masih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta," beber politikus Partai Demokrat itu. Pada 30 Juni 2011, Marzuki juga pernah menyampaikan kritik yang sama terhadap DPD.
Suami anggota DPD asal Sumatera Selatan,Asmawati, ini menyatakan, para anggota DPD yang lebih banyak berkantor di Jakarta melanggar UU No 27/2009. Marzuki saat itu mengutip Pasal 227 ayat 4 UU No 27/2009 bahwa anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di dapilnya dan memiliki kantor di ibu kota provinsi dapilnya.
Ratu Hemas melanjutkan, berdasarkan penyerapan aspirasi yang selalu dilakukan para anggota DPD di daerah,masyarakat merindukan pemimpin dan elite politik yang bijak dan benar-benar memahami kepentingan masyarakat.
"Masyarakat muak dengan berbagai pernyataan yang tidak perlu di media massa. Karena itu, sangat disayangkan bila masih ada pimpinan lembaga legislatif yang kurang memahami tugas dan fungsi DPD, tapi berani secara terbuka mengemukakan pendapat yang tidak tepat," tandasnya.
Dia mengingatkan, sudah menjadi tugas DPD untuk selalu mengedepankan kepentingan daerah yang tecermin dari aspirasi masyarakat setempat. Semua itu bisa diperoleh melalui kunjungan kerja, reses, dan berbagai kegiatan penyerapan aspirasi yang frekuensi dan volumenya diatur berdasarkan mekanisme.
Pemahaman terhadap tugas ideal DPD, kata istri Sri Sultan Hamengku Buwono X itu, mestinya merupakan pengetahuan dasar pimpinan lembaga legislatif. Dengan begitu, pimpinan parlemen tak perlu melontarkan aneka pernyataan yang kontradiktif dan tak dibutuhkan rakyat.
"Rencana kenaikan harga BBM yang membuat kehidupan masyarakat semakin sulit seharusnya menjadi prioritas perhatian ketimbang mengumbar pernyataan yang tak bermanfaat. Masyarakat saat ini butuh politisi dengan tingkat kenegarawanan yang baik untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang sudah sangat menyulitkan," lanjutnya.
Secara khusus, Ratu Hemas mengingatkan agar DPD dan DPR selayaknya bersama-sama saling menguatkan agar dapat menyelesaikan berbagai masalah bangsa.
Perseteruan Marzuki Alie dan DPD bukan kali ini saja. Pada pertengahan 2011 lalu, beberapa anggota DPD pernah mendesak Marzuki mundur saja dari kursi ketua DPR, antara lain anggota DPD Muhammad Asri Anas. Dia menilai Marzuki tak pantas memimpin DPR karena pernyataannya sering blunder.
Beberapa hari sebelumnya, Marzuki melontarkan usulan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua DPD La Ode Ida juga pernah mengaku malu Indonesia memiliki pimpinan DPR seperti Marzuki. "Padahal, istri Pak Marzuki itu anggota DPD," kata La Ode Ida, Juni 2011.
Dia mengatakan itu setelah Marzuki menuding ada mark-up anggaran dalam proyek pembangunan gedung baru DPD di 33 provinsi.
Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menilai ada yang perlu dibenahi dalam ketatanegaraan menyangkut lembaga perwakilan. Menurut dia, harus dipikirkan penataan yang baik dalam melakukan revisi UU MD3 nanti.
Dia menyarankan agar UU MD3 dibagi menjadi tiga, yakni UU MPR, UU DPR dan DPD, dan UU DPRD yang bisa dimasukkan dalam UU Pemda. Namun bila DPD tidak diberi kewenangan yang signifikan dalam membentuk UU, APBN, dan pengawasan, itu hanya kemubaziran. "Dan hubungannya dengan DPR akan terus tegang karena keberadaan DPD kurang dianggap," katanya. (san)
Menurut Hemas,anggota DPD perlu sering berada di Jakarta untuk mewakili kepentingan daerah di pentas nasional. "Dalam hal ini, Jakarta merupakan pusat pergerakan politik yang menghasilkan kebijakan menentukan bagi kepentingan daerah," ujarnya di Jakarta kemarin.
Hemas mengingatkan, DPD sangat membutuhkan dukungan dari berbagai kalangan agar dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, terutama dari DPR. "Jadi, kalangan pimpinan lembaga legislatif perlu lebih mendukung misalnya dengan lebih mengontrol pernyataan ke publik dan mengedepankan hal-hal yang lebih bermanfaat," tegasnya.
Sebelumnya, Marzuki Alie pada Rabu (14/3) menyatakan bahwa para anggota DPD seharusnya lebih sering berada di dapil masing-masing dibandingkan di Jakarta. "Semestinya mereka sekali-kali saja di Jakarta kalau ada agenda sidang. Tapi sekarang justru lebih banyak di Jakarta karena alasan sidangnya banyak," katanya saat itu.
Dia mengaku,secara kelembagaan, DPR sudah sangat sering mengingatkan DPD agar tidak keliru menerjemahkan amanat Undang-Undang No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mengenai fungsi dan peran kelembagaan DPD.
"Tapi seperti yang kita saksikan, para anggota DPD di mana setiap provinsi diwakili empat orang masih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta," beber politikus Partai Demokrat itu. Pada 30 Juni 2011, Marzuki juga pernah menyampaikan kritik yang sama terhadap DPD.
Suami anggota DPD asal Sumatera Selatan,Asmawati, ini menyatakan, para anggota DPD yang lebih banyak berkantor di Jakarta melanggar UU No 27/2009. Marzuki saat itu mengutip Pasal 227 ayat 4 UU No 27/2009 bahwa anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di dapilnya dan memiliki kantor di ibu kota provinsi dapilnya.
Ratu Hemas melanjutkan, berdasarkan penyerapan aspirasi yang selalu dilakukan para anggota DPD di daerah,masyarakat merindukan pemimpin dan elite politik yang bijak dan benar-benar memahami kepentingan masyarakat.
"Masyarakat muak dengan berbagai pernyataan yang tidak perlu di media massa. Karena itu, sangat disayangkan bila masih ada pimpinan lembaga legislatif yang kurang memahami tugas dan fungsi DPD, tapi berani secara terbuka mengemukakan pendapat yang tidak tepat," tandasnya.
Dia mengingatkan, sudah menjadi tugas DPD untuk selalu mengedepankan kepentingan daerah yang tecermin dari aspirasi masyarakat setempat. Semua itu bisa diperoleh melalui kunjungan kerja, reses, dan berbagai kegiatan penyerapan aspirasi yang frekuensi dan volumenya diatur berdasarkan mekanisme.
Pemahaman terhadap tugas ideal DPD, kata istri Sri Sultan Hamengku Buwono X itu, mestinya merupakan pengetahuan dasar pimpinan lembaga legislatif. Dengan begitu, pimpinan parlemen tak perlu melontarkan aneka pernyataan yang kontradiktif dan tak dibutuhkan rakyat.
"Rencana kenaikan harga BBM yang membuat kehidupan masyarakat semakin sulit seharusnya menjadi prioritas perhatian ketimbang mengumbar pernyataan yang tak bermanfaat. Masyarakat saat ini butuh politisi dengan tingkat kenegarawanan yang baik untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang sudah sangat menyulitkan," lanjutnya.
Secara khusus, Ratu Hemas mengingatkan agar DPD dan DPR selayaknya bersama-sama saling menguatkan agar dapat menyelesaikan berbagai masalah bangsa.
Perseteruan Marzuki Alie dan DPD bukan kali ini saja. Pada pertengahan 2011 lalu, beberapa anggota DPD pernah mendesak Marzuki mundur saja dari kursi ketua DPR, antara lain anggota DPD Muhammad Asri Anas. Dia menilai Marzuki tak pantas memimpin DPR karena pernyataannya sering blunder.
Beberapa hari sebelumnya, Marzuki melontarkan usulan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua DPD La Ode Ida juga pernah mengaku malu Indonesia memiliki pimpinan DPR seperti Marzuki. "Padahal, istri Pak Marzuki itu anggota DPD," kata La Ode Ida, Juni 2011.
Dia mengatakan itu setelah Marzuki menuding ada mark-up anggaran dalam proyek pembangunan gedung baru DPD di 33 provinsi.
Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menilai ada yang perlu dibenahi dalam ketatanegaraan menyangkut lembaga perwakilan. Menurut dia, harus dipikirkan penataan yang baik dalam melakukan revisi UU MD3 nanti.
Dia menyarankan agar UU MD3 dibagi menjadi tiga, yakni UU MPR, UU DPR dan DPD, dan UU DPRD yang bisa dimasukkan dalam UU Pemda. Namun bila DPD tidak diberi kewenangan yang signifikan dalam membentuk UU, APBN, dan pengawasan, itu hanya kemubaziran. "Dan hubungannya dengan DPR akan terus tegang karena keberadaan DPD kurang dianggap," katanya. (san)
()