Panitia Kerja RUU SPPA tak berpihak pada anak
A
A
A
Sindonews.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam keputusan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA) karena dinilai tidak berpihak terhadap upaya perlindungan anak.
Dalam naskah rancangan undang-undang yang diserahkan oleh pemerintah pada 16 Februari 2011, pada pasal 24 ayat (1) RUU SPPA versi pemerintah berbunyi, "Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib didampingi oleh Advokat".
Namun ketentuan itu diubah oleh Panitia Kerja menjadi, "Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak berhak mendapatkan bantuan hukum". Kata "hak" mengakibatkan tidak adanya daya paksa bagi aparat penegak hukum untuk memenuhi hak anak berhadapan dengan hukum (ABH).
"Jika kata 'wajib' dipertahankan, maka APH demi hukum harus memenuhinya. Pelanggaran terhadap hak ini akan berdampak pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat polisi batal demi hukum dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat diterima," terang Nurkholis Hidayat, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam rilis yang diterima Sindonews, Senin (31/1/2012).
Panja RUU SPPA, menurut LBH, tidak peka dengan kondisi nyata yang dihadapi oleh ABH. Kematian Faisal (14) dan Budhri M Zen (17) yang diduga kuat akibat penyiksaan anggota kepolisian Polsek Sijunjung dan kasus sendal jepit AAL di Palu, seharusnya membuka mata Panja betapa rentannya ABH dalam proses hukum.
"Berdasarkan penelitian UNICEF–Universitas Indonesia pada 2006, sebanyak 4.000 anak Indonesia yang dihadapkan ke pengadilan atas kejahatan ringan seperti pencurian. Dari jumlah tersebut, hanya 0,02 persen yang mendapat pendampingan dari penasihat hukum dan mayoritas ABH berasal dari keluarga miskin," terangnya.
Berdasarkan penelitian LBH Jakarta, pada 2010 di Rutan Pondok Bambu, dari 39 ABH, 82 persen di antaranya tidak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum. Lebih lanjut diketahui pula dari 39 ABH, 82 persen di antaranya mengalami kekerasan (fisik dan/atau psikis) dari kepolisian pada saat pemeriksaan.
"Dalam beberapa kasus ABH yang didampingi LBH Jakarta, ditemukan beberapa pola pelanggaran lainnya, seperti ABH tidak diberitahukan haknya didampingi penasihat hukum, ABH diminta untuk menandatangani berita acara penolakan, dan penasihat hukum ditunjuk setelah pemeriksaan selesai dilakukan," jelasnya.
Di balik rapor merah kekerasan kepolisian terhadap ABH, secara kelembagaan, Kepolisian Republik Indonesia telah melakukan langkah maju dalam tataran prosedur pemeriksaan ABH.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Kapolri No.3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana dinyatakan, "Pemeriksaan terhadap anak wajib disediakan pendamping dan/atau Penasihat hukum dan/atau psikolog oleh penyidik." (san)
Dalam naskah rancangan undang-undang yang diserahkan oleh pemerintah pada 16 Februari 2011, pada pasal 24 ayat (1) RUU SPPA versi pemerintah berbunyi, "Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib didampingi oleh Advokat".
Namun ketentuan itu diubah oleh Panitia Kerja menjadi, "Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak berhak mendapatkan bantuan hukum". Kata "hak" mengakibatkan tidak adanya daya paksa bagi aparat penegak hukum untuk memenuhi hak anak berhadapan dengan hukum (ABH).
"Jika kata 'wajib' dipertahankan, maka APH demi hukum harus memenuhinya. Pelanggaran terhadap hak ini akan berdampak pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat polisi batal demi hukum dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat diterima," terang Nurkholis Hidayat, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam rilis yang diterima Sindonews, Senin (31/1/2012).
Panja RUU SPPA, menurut LBH, tidak peka dengan kondisi nyata yang dihadapi oleh ABH. Kematian Faisal (14) dan Budhri M Zen (17) yang diduga kuat akibat penyiksaan anggota kepolisian Polsek Sijunjung dan kasus sendal jepit AAL di Palu, seharusnya membuka mata Panja betapa rentannya ABH dalam proses hukum.
"Berdasarkan penelitian UNICEF–Universitas Indonesia pada 2006, sebanyak 4.000 anak Indonesia yang dihadapkan ke pengadilan atas kejahatan ringan seperti pencurian. Dari jumlah tersebut, hanya 0,02 persen yang mendapat pendampingan dari penasihat hukum dan mayoritas ABH berasal dari keluarga miskin," terangnya.
Berdasarkan penelitian LBH Jakarta, pada 2010 di Rutan Pondok Bambu, dari 39 ABH, 82 persen di antaranya tidak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum. Lebih lanjut diketahui pula dari 39 ABH, 82 persen di antaranya mengalami kekerasan (fisik dan/atau psikis) dari kepolisian pada saat pemeriksaan.
"Dalam beberapa kasus ABH yang didampingi LBH Jakarta, ditemukan beberapa pola pelanggaran lainnya, seperti ABH tidak diberitahukan haknya didampingi penasihat hukum, ABH diminta untuk menandatangani berita acara penolakan, dan penasihat hukum ditunjuk setelah pemeriksaan selesai dilakukan," jelasnya.
Di balik rapor merah kekerasan kepolisian terhadap ABH, secara kelembagaan, Kepolisian Republik Indonesia telah melakukan langkah maju dalam tataran prosedur pemeriksaan ABH.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Kapolri No.3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana dinyatakan, "Pemeriksaan terhadap anak wajib disediakan pendamping dan/atau Penasihat hukum dan/atau psikolog oleh penyidik." (san)
()