LBH APIK: 2011, kasus KDRT cukup tinggi

Selasa, 17 Januari 2012 - 15:05 WIB
LBH APIK: 2011, kasus...
LBH APIK: 2011, kasus KDRT cukup tinggi
A A A
Sindonews.com- Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menerima sedikitnya 417 kasus pengaduan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Catatan ini merupakan peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2011. Kasus KDRT mendominasi pengaduan yang masuk ke institusinya, yaitu 59,1 persen dari jumlah total 706 kasus.

Selain KDRT, LBH APIK juga menerima banyak aduan, tidak hanya berkaitan dengan KDRT. Misalnya, kasus perdata sebanyak 188 kasus atau 16,7 persen, pidana sebanyak 61 kasus (8,6 persen), kekerasan dalam pacaran/KDP sebanyak 35 kasus (5 pertsen), ketenagakerjaan 28 kasus (4 persen), komunitas 25 kasus (3,5 persen) dan kekerasan berbasis gender lainnya sebanyak 22 kasus (3,1 persen).

"Korban yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan penelantaran nafkah, pasti terpengaruh kondisi psikologisnya. Sangat penting untuk dilakukan pemulihan psikologis bagi korban. Poligami dan perselingkuhan, juga termasuk kekerasan psikis,"ujar Direktur Urusan Eksternal LBH APIK Jakarta, Ratna Batara Mukti dalam acara Catatan Tahunan LBH APIK Jakarta dengan tajuk :Lemahnya Penegakan Hukum atas Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan serta Meningkatnya Kriminalisasi dan Reviktimisasi Perempuan Korban" di Jakarta Media Center, Jalan Kebon Sirih Jakarta, Selasa (17/1/2012).

Dia mengatakan, dalam penyelesaian kasus KDRT ini mengalami banyak sekali kendala. Terutama dari aparat penegak hukum. Misalnya, penegak hukum masih menerima dan memproses kasus saling lapor antara pelaku dan korban, seharusnya kepolisian melihat kasus KDRT secara utuh dan memahami Undang-Undang (UU) Pelanggaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PDKRT) yang dibuat untuk melindungi korban KDRT.

Lanjutnya, aparat penegak hukum juga dirasa masih banyak yang menolak penetapan perlindungan sementara terhadap Korban. Pasalnya, aparat penegak hukum menganggap tidak ada aturan yang jelas dan tidak tersedianya sarana dan prasarana.

Kendala lain disebabkan, minimnya pemahaman pihak aparat penegak hukum. "Dalam UU PKDRT terkait dengan saksi, disyaratkan satu saksi dan satu alat bukti saja sudah cukup untuk memproses aduan di kepolisian, tetapi pada faktanya masih banyak aparat penegak hukum menggunakan dasar KUHAP yang mensyaratkan minimal dua orang saksi," tukasnya.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0497 seconds (0.1#10.140)