Parpol perlu buka peluang capres eksternal
A
A
A
Sindonews.com - Parpol perlu pula membuka ruang bagi figur eksternal yang berkualitas untuk bersaing menjadi bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI) Irman Putra Sidin mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hanya memberi peluang bagi parpol untuk mengusung capres-cawapres. Padahal, di luar parpol,cukup banyak figur yang memenuhi kualifikasi dari berbagai aspek untuk menjadi kandidat RI-1 atau RI-2.
Sayangnya, parpol cenderung lebih senang mengusung calon internal meski mengakui ada figur lain yang lebih baik.
“Parpol perlu memberi peluang yang sama kepada setiap warga negara untuk menjadi kandidat pilpres, apalagi bila kualitas figur nonparpol memang lebih baik dikaitkan dengan kebutuhan negara dan bangsa. Soal popularitas dan elektabilitas, parpol yang memiliki strategi untuk pemenangannya,” kata Irman dalam sebuah diskusi tentang pilpres di Jakarta kemarin.
Mantan staf ahli Mahkamah Konstitusi (MK) itu melanjutkan, parpol idealnya tak hanya memberi peluang kepada figur nonparpol, tapi juga mempersiapkan pencapresan sebaik mungkin. Menurut dia, pencapresan tidak bisa dilakukan dengan cepat dan waktu singkat.
Irman mencontohkan, pencalonan Jusuf Kalla sebagai capres dengan cawapres Wiranto pada 2009 terkesan sangat cepat dan tanpa proses panjang. Persiapan kurang matang akan berdampak buruk pada hasil dan pencapaiannya.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Seven Strategic Studies Mulyana W Kusumah mengatakan, UUD 1945 memang memberi sedikit ruang bagi nonpartisan untuk menjadi pemimpin bangsa. Selain itu, sistem politik kepartaian di Indonesia juga sulit memunculkan figur di luar parpol.Peluang calon dari arus bawah nyaris tertutup.
”Proses penentuan calon oleh parpol dilakukan secara elitis. Bahkan bisa dikatakan mekanismenya ditentukan oleh sistem yang oligarkis,” ujarnya. Menurut mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu, mekanisme yang membuka calon dari luar bisa diajukan parpol dalam pilpres pernah terjadi.
Pada 2004, Partai Golkar menggelar konvensi untuk menjaring capres dari mana saja. Wiranto yang mantan Panglima ABRI akhirnya terpilih dan melenggang sebagai capres.
Sayangnya, banyak parpol yang tidak menyukai mekanisme konvensi.
“Padahal itu bentuk kompetisi sehat baik bagi kandidat yang bertarung, bagi parpol sendiri maupun bagi calon pemilih,” tegasnya.
Ketua DPP Partai Golkar Taufiq Hidayat mengakui, partainya sedang menjajaki sejumlah figur untuk diajak “bekerja sama membangun bangsa ke depan”. Dia menjelaskan, komunikasi politik yang dibangun Golkar soal pilpres masih sangat cair. Dalam mengusung capres-cawapres, kata Taufiq, yang dibicarakan tak hanya elektabilitas, tetapi juga menyangkut efektivitas kepemimpinan nasional 2014–2019. Karenanya, Golkar pun belum pasti mengusung Ical.
“Bahkan nama Bang Ical pun adalah sikap sementara sebagaimana mekanisme internal kami. Semua kan kita ukur, termasuk berdasarkan dukungan dan elektabilitas. Mekanisme mengusung capres juga ada syarat-syaratnya baik di lingkup internal Golkar maupun dalam UU Pilpres,” ungkapnya.
Mengenai koalisi dengan Demokrat pada 2014, Taufiq menyatakan peluangnya tetap terbuka meski sangat tergantung pada kekuatan dan kebutuhan partai masing-masing pascapemilu legislatif. Dengan berakhirnya masa Presiden SBY, akan menjadi pertanyaan siapa yang akan diusung Demokrat.
“ Nama-nama yang beredar sekarang adalah Anas Urbaningrum, Djoko Suyanto, termasuk Hatta Rajasa dari PAN. Tapi semua masih samar- samar karena penentunya adalah hasil pemilu legislatif,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Andi Nurpati mengatakan, peluang partainya berkoalisi dengan Golkar sangat terbuka.Terlebih, Demokrat juga sedang menimbang - nimbang sejumlah figur potensial untuk diusung dalam pilpres sebagaimana yang dilakukan partai lain.
“Tapi mekanisme kami sudah jelas dalam menentukan figur capres-cawapres, yakni melalui rapat Majelis Tinggi yang diketuai Pak SBY,”ungkapnya.
Mengenai nama-nama yang beredar saat ini,Andi menegaskan bahwa semuanya layak jadi pemimpin. Namun yang menentukan adalah kendaraan partai atau gabungan partai serta tingkat elektabilitasnya di mata rakyat. “Jadi tingkat keterpilihanlah yang menentukan,” kata Andi.
Sekretaris Jenderal Partai NasDem Ahmad Rofiq mengatakan, hingga kini partainya belum membahas pencapresan secara mendalam. Saat ini, kata dia, NasDem masih fokus pada upaya menarik simpati masyarakat dan melakukan langkah-langkah teknis pemenangan pemilu legislatif.
“Logikanya,bila sebuah partai diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menang pada pemilu legislatif, otomatis dipercaya pula untuk mengusung capres pada pilpres. Memenangi pemilu legislatif dan mengajukan capres adalah bagian tidak terpisahkan dari perjuangan partai,”tegasnya.
NasDem, lanjut Rofiq, terus mengokohkan diri dan citra diri sebagai partai alternatif yang bisa mengakomodasi kebutuhan rakyat akan perubahan yang lebih baik. Sebagian masyarakat, kata dia, sudah apatis dengan parpol-parpol yang ada di tengah karut-marut bangsa sekarang ini. (*)
Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI) Irman Putra Sidin mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hanya memberi peluang bagi parpol untuk mengusung capres-cawapres. Padahal, di luar parpol,cukup banyak figur yang memenuhi kualifikasi dari berbagai aspek untuk menjadi kandidat RI-1 atau RI-2.
Sayangnya, parpol cenderung lebih senang mengusung calon internal meski mengakui ada figur lain yang lebih baik.
“Parpol perlu memberi peluang yang sama kepada setiap warga negara untuk menjadi kandidat pilpres, apalagi bila kualitas figur nonparpol memang lebih baik dikaitkan dengan kebutuhan negara dan bangsa. Soal popularitas dan elektabilitas, parpol yang memiliki strategi untuk pemenangannya,” kata Irman dalam sebuah diskusi tentang pilpres di Jakarta kemarin.
Mantan staf ahli Mahkamah Konstitusi (MK) itu melanjutkan, parpol idealnya tak hanya memberi peluang kepada figur nonparpol, tapi juga mempersiapkan pencapresan sebaik mungkin. Menurut dia, pencapresan tidak bisa dilakukan dengan cepat dan waktu singkat.
Irman mencontohkan, pencalonan Jusuf Kalla sebagai capres dengan cawapres Wiranto pada 2009 terkesan sangat cepat dan tanpa proses panjang. Persiapan kurang matang akan berdampak buruk pada hasil dan pencapaiannya.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Seven Strategic Studies Mulyana W Kusumah mengatakan, UUD 1945 memang memberi sedikit ruang bagi nonpartisan untuk menjadi pemimpin bangsa. Selain itu, sistem politik kepartaian di Indonesia juga sulit memunculkan figur di luar parpol.Peluang calon dari arus bawah nyaris tertutup.
”Proses penentuan calon oleh parpol dilakukan secara elitis. Bahkan bisa dikatakan mekanismenya ditentukan oleh sistem yang oligarkis,” ujarnya. Menurut mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu, mekanisme yang membuka calon dari luar bisa diajukan parpol dalam pilpres pernah terjadi.
Pada 2004, Partai Golkar menggelar konvensi untuk menjaring capres dari mana saja. Wiranto yang mantan Panglima ABRI akhirnya terpilih dan melenggang sebagai capres.
Sayangnya, banyak parpol yang tidak menyukai mekanisme konvensi.
“Padahal itu bentuk kompetisi sehat baik bagi kandidat yang bertarung, bagi parpol sendiri maupun bagi calon pemilih,” tegasnya.
Ketua DPP Partai Golkar Taufiq Hidayat mengakui, partainya sedang menjajaki sejumlah figur untuk diajak “bekerja sama membangun bangsa ke depan”. Dia menjelaskan, komunikasi politik yang dibangun Golkar soal pilpres masih sangat cair. Dalam mengusung capres-cawapres, kata Taufiq, yang dibicarakan tak hanya elektabilitas, tetapi juga menyangkut efektivitas kepemimpinan nasional 2014–2019. Karenanya, Golkar pun belum pasti mengusung Ical.
“Bahkan nama Bang Ical pun adalah sikap sementara sebagaimana mekanisme internal kami. Semua kan kita ukur, termasuk berdasarkan dukungan dan elektabilitas. Mekanisme mengusung capres juga ada syarat-syaratnya baik di lingkup internal Golkar maupun dalam UU Pilpres,” ungkapnya.
Mengenai koalisi dengan Demokrat pada 2014, Taufiq menyatakan peluangnya tetap terbuka meski sangat tergantung pada kekuatan dan kebutuhan partai masing-masing pascapemilu legislatif. Dengan berakhirnya masa Presiden SBY, akan menjadi pertanyaan siapa yang akan diusung Demokrat.
“ Nama-nama yang beredar sekarang adalah Anas Urbaningrum, Djoko Suyanto, termasuk Hatta Rajasa dari PAN. Tapi semua masih samar- samar karena penentunya adalah hasil pemilu legislatif,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Andi Nurpati mengatakan, peluang partainya berkoalisi dengan Golkar sangat terbuka.Terlebih, Demokrat juga sedang menimbang - nimbang sejumlah figur potensial untuk diusung dalam pilpres sebagaimana yang dilakukan partai lain.
“Tapi mekanisme kami sudah jelas dalam menentukan figur capres-cawapres, yakni melalui rapat Majelis Tinggi yang diketuai Pak SBY,”ungkapnya.
Mengenai nama-nama yang beredar saat ini,Andi menegaskan bahwa semuanya layak jadi pemimpin. Namun yang menentukan adalah kendaraan partai atau gabungan partai serta tingkat elektabilitasnya di mata rakyat. “Jadi tingkat keterpilihanlah yang menentukan,” kata Andi.
Sekretaris Jenderal Partai NasDem Ahmad Rofiq mengatakan, hingga kini partainya belum membahas pencapresan secara mendalam. Saat ini, kata dia, NasDem masih fokus pada upaya menarik simpati masyarakat dan melakukan langkah-langkah teknis pemenangan pemilu legislatif.
“Logikanya,bila sebuah partai diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menang pada pemilu legislatif, otomatis dipercaya pula untuk mengusung capres pada pilpres. Memenangi pemilu legislatif dan mengajukan capres adalah bagian tidak terpisahkan dari perjuangan partai,”tegasnya.
NasDem, lanjut Rofiq, terus mengokohkan diri dan citra diri sebagai partai alternatif yang bisa mengakomodasi kebutuhan rakyat akan perubahan yang lebih baik. Sebagian masyarakat, kata dia, sudah apatis dengan parpol-parpol yang ada di tengah karut-marut bangsa sekarang ini. (*)
()