Amnesty Indonesia Desak Polri Cabut Telegram Penghinaan Presiden
A
A
A
JAKARTA - Amnesty International Indonesia meminta Polri mencabut telegram tentang penanganan penyebar hoaks dan penghina terhadap presiden di tengah pandemi COVID-19. (Baca juga: DPR Minta Polri Tak Intimidatif Jalankan Surat Telegram Kapolri)
Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid menilai aturan tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan penegak hukum untuk bersikap refresif. “Padahal di tengah kesusahan akibat situasi darurat kesehatan saat ini, warga seharusnya lebih dilindungi. Atas nama penghinaan presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat, yang juga dijamin oleh Peraturan Internal Kapolri sebelumnya,” ujar Usman dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews.com, Selasa (07/04/2020). (Baca juga: Kritisi Telegram Kapolri, YLBHI: Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dicabut MK)
Pada 4 April lalu, Mabes Polri mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020. Telegram yang ditandatangani Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo berisi pedoman penindakan terkait dengan kejahatan siber dan tindak pidana penyebaran hoaks tentang pandemi COVID-19. Beleid itu mengatur penindakan apabila terjadi penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara, dan penipuan penjualan daring alat kesehatan saat pandemi COVID-19.
Telegram itu bersandar pada pasal 14 dan 15 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) tentang penghinaan terhadap penguasa, Pasal 45A (1) juncto pasal 28 (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Pasal 96 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Usman mengatakan telegram itu berpotensi meningkatkan jumlah orang yang masuk penjara atas tuduhan berita palsu dan penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara. “Amnesty mendesak pihak berwenang untuk menarik surat telegram tersebut,” ucapnya.
Telegram ini bertentangan dengan rencana pemerintah untuk membebaskan tahanan untuk menekan penyebaran pandemi COVID-19. Amnesty mendesak pemerintah segera merevisi dan menghapus aturan yang dapat mengancam kebebasan berekspresi. Selama ini sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyuarakan penghapusan pasal-pasal karet yang terdapat dalam (KUHP) dan UU ITE. “Ini akan memperburuk situasi penjara yang sudah sesak dan tidak hygienis, apalagi ketika wabah ini belum berhasil dikendalikan,” katanya.
Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid menilai aturan tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan penegak hukum untuk bersikap refresif. “Padahal di tengah kesusahan akibat situasi darurat kesehatan saat ini, warga seharusnya lebih dilindungi. Atas nama penghinaan presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat, yang juga dijamin oleh Peraturan Internal Kapolri sebelumnya,” ujar Usman dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews.com, Selasa (07/04/2020). (Baca juga: Kritisi Telegram Kapolri, YLBHI: Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dicabut MK)
Pada 4 April lalu, Mabes Polri mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020. Telegram yang ditandatangani Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo berisi pedoman penindakan terkait dengan kejahatan siber dan tindak pidana penyebaran hoaks tentang pandemi COVID-19. Beleid itu mengatur penindakan apabila terjadi penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara, dan penipuan penjualan daring alat kesehatan saat pandemi COVID-19.
Telegram itu bersandar pada pasal 14 dan 15 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) tentang penghinaan terhadap penguasa, Pasal 45A (1) juncto pasal 28 (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Pasal 96 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Usman mengatakan telegram itu berpotensi meningkatkan jumlah orang yang masuk penjara atas tuduhan berita palsu dan penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara. “Amnesty mendesak pihak berwenang untuk menarik surat telegram tersebut,” ucapnya.
Telegram ini bertentangan dengan rencana pemerintah untuk membebaskan tahanan untuk menekan penyebaran pandemi COVID-19. Amnesty mendesak pemerintah segera merevisi dan menghapus aturan yang dapat mengancam kebebasan berekspresi. Selama ini sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyuarakan penghapusan pasal-pasal karet yang terdapat dalam (KUHP) dan UU ITE. “Ini akan memperburuk situasi penjara yang sudah sesak dan tidak hygienis, apalagi ketika wabah ini belum berhasil dikendalikan,” katanya.
(cip)