Napi Korupsi Diusulkan Bebas, Ini Pendapat Menohok Eks Pimpinan KPK
A
A
A
JAKARTA - Gelombang kritik terus bergulir menyikapi usulan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk membebaskan 300 narapidana kasus korupsi dengan alasan menekan penyebaran viris Corona di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Kritik, salah satunya disampaikan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto.
Pria yang biasa disapa BW itu meradang atas gagasan Menkumham. Menurut dia, rencana pembebasan bersyarat napi korupsi dengan dalih Covid-19 itu dianggap sarat kepentingan.
“Usulan kebijakan ini jelas sangat diskriminatif, elitis, dan eksklusif khas oligarkis serta secara terang dapat dituduh sebagai merodok karena menunggangi musibah Covid-19,” kata BW dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat 3 Maret 2020. (Baca Juga: Cegah Penyebaran Corona di Lapas, Menkumham Usul 300 Napi Koruptor Dibebaskan)
BW menyebut diskriminatif lantaran yang mestinya dibebaskan adalah narapidana kasus kriminal yang menghuni sel secara berhimpitan, bukan tindak pidana korupsi.
Kondisi itu berbeda dengan sebagian narapidana kasus korupsi. Mereka justru menempati sel khusus tanpa mesti berdesak-desakan seperti narapidana umum lainnya.
“Ada informasi, sebagian besar napi korupsi, apalagi yang berada di LP Sukamiskin itu diduga menempati sel ‘khusus’ yang cukup memenuhi syarat terjadinya social distancing,” ujar BW.
Pernyataan Menkumham Yasonna H Laoly tentang pembebasan narapidana korupsi itu muncul saat rapat kerja secara daring dengan Komisi III DPR, Rabu 1 April 2020.
Yasonna menyatakan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Dalam keputusan menteri tersebut, salah satu pertimbangan membebaskan para tahanan adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara. Hal itu membuat lapas dan rutan rentan terhadap penyebaran virus Corona.
Namun, napi khusus kasus korupsi tidak bisa ikut dibebaskan karena terganjal PP Nomor 99 Tahun 2012. Yasonna pun ingin PP tersebut direvisi. “Perkiraan kami bagaimana merevisi PP 99/2012 tentu dengan kriteria ketat sementara ini,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Dia berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. “Kami menyadari ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa kami terobos karena Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012,” tutur Yasonna.
Melalui revisi itu, Yasonna ingin memberikan asimilasi kepada napi korupsi berusia di atas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidana yang jumlahnya sebanyak 300 orang.
Kritik, salah satunya disampaikan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto.
Pria yang biasa disapa BW itu meradang atas gagasan Menkumham. Menurut dia, rencana pembebasan bersyarat napi korupsi dengan dalih Covid-19 itu dianggap sarat kepentingan.
“Usulan kebijakan ini jelas sangat diskriminatif, elitis, dan eksklusif khas oligarkis serta secara terang dapat dituduh sebagai merodok karena menunggangi musibah Covid-19,” kata BW dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat 3 Maret 2020. (Baca Juga: Cegah Penyebaran Corona di Lapas, Menkumham Usul 300 Napi Koruptor Dibebaskan)
BW menyebut diskriminatif lantaran yang mestinya dibebaskan adalah narapidana kasus kriminal yang menghuni sel secara berhimpitan, bukan tindak pidana korupsi.
Kondisi itu berbeda dengan sebagian narapidana kasus korupsi. Mereka justru menempati sel khusus tanpa mesti berdesak-desakan seperti narapidana umum lainnya.
“Ada informasi, sebagian besar napi korupsi, apalagi yang berada di LP Sukamiskin itu diduga menempati sel ‘khusus’ yang cukup memenuhi syarat terjadinya social distancing,” ujar BW.
Pernyataan Menkumham Yasonna H Laoly tentang pembebasan narapidana korupsi itu muncul saat rapat kerja secara daring dengan Komisi III DPR, Rabu 1 April 2020.
Yasonna menyatakan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Dalam keputusan menteri tersebut, salah satu pertimbangan membebaskan para tahanan adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara. Hal itu membuat lapas dan rutan rentan terhadap penyebaran virus Corona.
Namun, napi khusus kasus korupsi tidak bisa ikut dibebaskan karena terganjal PP Nomor 99 Tahun 2012. Yasonna pun ingin PP tersebut direvisi. “Perkiraan kami bagaimana merevisi PP 99/2012 tentu dengan kriteria ketat sementara ini,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Dia berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. “Kami menyadari ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa kami terobos karena Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012,” tutur Yasonna.
Melalui revisi itu, Yasonna ingin memberikan asimilasi kepada napi korupsi berusia di atas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidana yang jumlahnya sebanyak 300 orang.
(dam)