Perppu Corona Bisa Jadi Solusi Komprehensif di Tengah Keterbatasan
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun yakin keputusan Presiden Joko Widdodo (Jokowi) menerbitkan Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 bisa menjadi terobosan. Di tengah kondisi yang tak lazim seperti saat ini memang membutuhkan upaya luar biasa demi mencegah Indonesia mengarah ke kondisi yang lebih buruk akibat virus corona.
“Memang kita butuh kebijakan besar untuk mengatasi unusual case seperti Covid-19 saat ini dengan unusual way out. Solusinya harus komprehensif,” kata Misbakhun dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Rabu (1/4/2020).
Legislator Golkar yang duduk di Komisi Keuangan DPR itu menjelaskan, ruang fiskal dan moneter pemerintah sangat terbatas jika hanya mengandalkan APBN. Selain itu, banyak UU maupun turunannya sudah tak seiring dengan perkembangan zaman yang serbacepat.
Menurut Misbakhun, ruang ketatanegaraan yang tersedia bagi pemerintah adalah Perppu. Politikus yang dikenal getol membela kebijakan Jokowi itu mengatakan, Perppu 1/2020 merupakan langkah awal yang menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam mengambil semua kebijakan untuk mengatasi Covid-19 dan semua dampak, termasuk terhadap perekonomian nasional.
“Soal isi Perppu memang tidak sempurna, tetapi ini dibuat dalam situasi tekanan yang mau tidak mau harus dibuat oleh pemerintah,” ujarnya.
Misbakhun pun menduga pemerintah akan kembali menerbitkan Perppu untuk melengkapi dan menyempurnakan Perppu No 1/2020. “Dengan demikian pemerintah memiliki aturan memadai dan legitimasi yang cukup dalam mengambil kebijakan ataupun keputusan untuk mengatasi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya,” tegasnya.
Namun demikian, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu juga mewanti-wanti akan pentingnya menyikapi Perppu itu secara hati-hati. Sebab, ketentuan Perppu No 1/2020 memuat imunitas bagi anggota dan sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan pejabat lainnya berkaitan dengan pelaksanaan peraturan yang berlaku sejak 31 Maret 2020 tersebut.
“Jangan sampai kemudian menimbulkan moral hazard dalam pelaksanaan sehingga menjadi masalah hukum di masa depan,” tandasnya.
“Memang kita butuh kebijakan besar untuk mengatasi unusual case seperti Covid-19 saat ini dengan unusual way out. Solusinya harus komprehensif,” kata Misbakhun dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Rabu (1/4/2020).
Legislator Golkar yang duduk di Komisi Keuangan DPR itu menjelaskan, ruang fiskal dan moneter pemerintah sangat terbatas jika hanya mengandalkan APBN. Selain itu, banyak UU maupun turunannya sudah tak seiring dengan perkembangan zaman yang serbacepat.
Menurut Misbakhun, ruang ketatanegaraan yang tersedia bagi pemerintah adalah Perppu. Politikus yang dikenal getol membela kebijakan Jokowi itu mengatakan, Perppu 1/2020 merupakan langkah awal yang menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam mengambil semua kebijakan untuk mengatasi Covid-19 dan semua dampak, termasuk terhadap perekonomian nasional.
“Soal isi Perppu memang tidak sempurna, tetapi ini dibuat dalam situasi tekanan yang mau tidak mau harus dibuat oleh pemerintah,” ujarnya.
Misbakhun pun menduga pemerintah akan kembali menerbitkan Perppu untuk melengkapi dan menyempurnakan Perppu No 1/2020. “Dengan demikian pemerintah memiliki aturan memadai dan legitimasi yang cukup dalam mengambil kebijakan ataupun keputusan untuk mengatasi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya,” tegasnya.
Namun demikian, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu juga mewanti-wanti akan pentingnya menyikapi Perppu itu secara hati-hati. Sebab, ketentuan Perppu No 1/2020 memuat imunitas bagi anggota dan sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan pejabat lainnya berkaitan dengan pelaksanaan peraturan yang berlaku sejak 31 Maret 2020 tersebut.
“Jangan sampai kemudian menimbulkan moral hazard dalam pelaksanaan sehingga menjadi masalah hukum di masa depan,” tandasnya.
(poe)