PP Pembatasan Sosial Dikritik karena Tak Mengatur Teknis Pelaksanaan
A
A
A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) mengkritisi Peraturan Pemerintah Nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.
Direktur PSHK UII Allan Fatchan Ghani mengatakan, selain PP tersebut dinilai kurang tepat, isi PP pun tidak mengatur teknis pelaksanaan PSBB. (Baca juga: Anis Matta dan Fahri Hamzah Daftarkan Partai Gelora ke Kemenkumham)
"Pilihan kebijakan 'Pembatasan Sosial Berskala Besar' di satu sisi memiliki payung hukum, namun di sisi yang lain pilihan kebijakan dengan mengeluarkan PP 21/2020 adalah kurang tepat," kata Allan Fatchan, Rabu (1/4/2020).
Allan melihat, dengan ditetapkannya PP 21/2020 itu menunjukkan, Pemerintah akhirnya memilih kebijakan PSBB dan tidak menerapkan kebijakan Karantina Wilayah seperti yang dikehendaki oleh berbagai kalangan.
Materi muatannya pun baru sebatas mengatur prosedur penetapan PSBB melalui kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda), Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Kesehatan (Menkes) untuk bekerja sama menetapkan PSBB.
"Yaitu, dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 6 PP 21/2020," terang Allan.
Allan melanjutkan, pengaturan mengenai teknis pelaksanaan tindakan pemerintah yang seharusnya diatur justru tidak diatur. Seperti misalnya, penutupan akses suatu wilayah, penjagaan keamanan dan pembatasan akses keluar dan masuk wilayah, penyediaan pelayanan kesehatan secara ketat pada suatu wilayah, tata cara pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat pada suatu wilayah, dan prosedur-prosedur lain yang terukur, sistematis, dan tegas guna menangani wabah COVID-19 pada suatu wilayah tertentu.
"Tindakan pemerintah yang harus dilakukan pasca ditetapkannya PSBB, menurut PP 21/2020 justru masih diatur sangat umum, yakni dalam Pasal 5 ayat (1), bahwa Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," paparnya.
Selain itu dia menambahkan, karena PP ini sangat spesifik hanya ditujukan untuk penanganan wabah COVID-19, artinya PP 21/2020 menjadi tidak relevan lagi setelah wabah COVID-19 tertangani, atau ketika dikemudian hari muncul wabah penyakit/virus menular serupa tetapi bukan COVID-19. Secara sosiologis, kebijakan PSBB yang diambil tersebut sebenarnya selama ini telah dilaksanakan oleh segenap jajaran Pemerintah sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan.
"Kebijakan PSBB menurut UU Kekarantinaan Kesehatan tidak memiliki konsekuensi hukum yang lebih tegas dan lebih menjamin serta mengakomodasi pemenuhan hak-hak rakyat dibanding kebijakan Karantina Wilayah," sesalnya.
Karena itu sambung Allan, PSHK UII merekomendasikan kepada Pemerintah dan Presiden untuk menetapkan PP sebagai peraturan pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai langkah konstitusional pemerintah guna mengatur secara teknis mengenai Karantina Wilayah, khususnya mengenai penanganan dan pemulihan atas wabah COVID-19 di wilayah yang di karantina, dengan prosedur-prosedur yang terukur, sistematis, dan tegas guna menangani wabah COVID-19.
"Dan DPR harus untuk selalu melakukan pengawasan kepada Pemerintah secara tegas dalam menangani wabah COVID-19, apabila Pemerintah juga Presiden diduga menyimpang dari ketentuan Undang-Undang, melalui penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang secara konstitusional diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945," tandasnya.
Direktur PSHK UII Allan Fatchan Ghani mengatakan, selain PP tersebut dinilai kurang tepat, isi PP pun tidak mengatur teknis pelaksanaan PSBB. (Baca juga: Anis Matta dan Fahri Hamzah Daftarkan Partai Gelora ke Kemenkumham)
"Pilihan kebijakan 'Pembatasan Sosial Berskala Besar' di satu sisi memiliki payung hukum, namun di sisi yang lain pilihan kebijakan dengan mengeluarkan PP 21/2020 adalah kurang tepat," kata Allan Fatchan, Rabu (1/4/2020).
Allan melihat, dengan ditetapkannya PP 21/2020 itu menunjukkan, Pemerintah akhirnya memilih kebijakan PSBB dan tidak menerapkan kebijakan Karantina Wilayah seperti yang dikehendaki oleh berbagai kalangan.
Materi muatannya pun baru sebatas mengatur prosedur penetapan PSBB melalui kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda), Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Kesehatan (Menkes) untuk bekerja sama menetapkan PSBB.
"Yaitu, dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 6 PP 21/2020," terang Allan.
Allan melanjutkan, pengaturan mengenai teknis pelaksanaan tindakan pemerintah yang seharusnya diatur justru tidak diatur. Seperti misalnya, penutupan akses suatu wilayah, penjagaan keamanan dan pembatasan akses keluar dan masuk wilayah, penyediaan pelayanan kesehatan secara ketat pada suatu wilayah, tata cara pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat pada suatu wilayah, dan prosedur-prosedur lain yang terukur, sistematis, dan tegas guna menangani wabah COVID-19 pada suatu wilayah tertentu.
"Tindakan pemerintah yang harus dilakukan pasca ditetapkannya PSBB, menurut PP 21/2020 justru masih diatur sangat umum, yakni dalam Pasal 5 ayat (1), bahwa Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," paparnya.
Selain itu dia menambahkan, karena PP ini sangat spesifik hanya ditujukan untuk penanganan wabah COVID-19, artinya PP 21/2020 menjadi tidak relevan lagi setelah wabah COVID-19 tertangani, atau ketika dikemudian hari muncul wabah penyakit/virus menular serupa tetapi bukan COVID-19. Secara sosiologis, kebijakan PSBB yang diambil tersebut sebenarnya selama ini telah dilaksanakan oleh segenap jajaran Pemerintah sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan.
"Kebijakan PSBB menurut UU Kekarantinaan Kesehatan tidak memiliki konsekuensi hukum yang lebih tegas dan lebih menjamin serta mengakomodasi pemenuhan hak-hak rakyat dibanding kebijakan Karantina Wilayah," sesalnya.
Karena itu sambung Allan, PSHK UII merekomendasikan kepada Pemerintah dan Presiden untuk menetapkan PP sebagai peraturan pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai langkah konstitusional pemerintah guna mengatur secara teknis mengenai Karantina Wilayah, khususnya mengenai penanganan dan pemulihan atas wabah COVID-19 di wilayah yang di karantina, dengan prosedur-prosedur yang terukur, sistematis, dan tegas guna menangani wabah COVID-19.
"Dan DPR harus untuk selalu melakukan pengawasan kepada Pemerintah secara tegas dalam menangani wabah COVID-19, apabila Pemerintah juga Presiden diduga menyimpang dari ketentuan Undang-Undang, melalui penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang secara konstitusional diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945," tandasnya.
(maf)