Menguji Stimulus Korona Rp405,1 Triliun
A
A
A
Ekonomi dunia kembali terguncang menghadapi dampak pandemi virus korona (Covid-19) sejak beberapa bulan terakhir. Apalagi, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) telah menyatakan dampak wabah korona kini telah menjadi krisis ekonomi dan keuangan global.
Negara-negara di dunia yang terdampak Covid-19 juga secara terang-terangan menyebut mereka sangat terpukul. Maklum, tak terbilang lagi berapa banyak aktivitas ekonomi yang lumpuh. Di sektor penerbangan, International Air Transport Association (IATA) atau Asosiasi Transportasi Udara Internasional mengumumkan, terdapat potensi kerugian akibat Covid-19 yang berdampak pada menurunnya permintaan penumpang sepanjang tahun ini.
IATA memprediksi sepanjang 2020 pertumbuhan jumlah penumpang global bakal terkontraksi sekitar 8,2% dibandingkan 2019. Ini setara dengan kehilangan pendapatan sebesar USD27,8 miliar, terbesar di China yakni sekitar USD12,8 miliar.
Besarnya penurunan permintaan penumpang maskapai global itu juga terasa di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Angkasa Pura II selaku operator di bandara terbesar di Indonesia itu menyatakan telah kehilangan 35% trafik selama pembatasan aktivitas warga sesuai imbauan pemerintah tiga pekan lalu. Penurunan tersebut masih relatif moderat karena pemerintah belum masih memperbolehkan penerbangan dari dan ke luar negeri.
Itu baru salah satu kondisi di sektor penerbangan. Sektor ekonomi lainnya diyakini juga terdampak akibat Covid-19 yang awalnya bermula dari Wuhan, China itu. Pariwisata, industri manufaktur, jasa, keuangan, infrastruktur juga dipastikan terkena amukan Covid-19.
Lalu, bagaimana dengan kesiapan Indonesia mengahadapi risiko terburuk akibat pandemi ini? Pemerintah telah berulang kali menyebutkan, kita tidak bisa lepas dari dampak negatif Covid-19 terutama di sektor ekonomi. Terkait status krisis ekonomi dan keuangan yang disampaikan IMF, Bank Indonesia (BI) dalam konferensi pers kemarin menegaskan bahwa BI selaku otoritas monoter bersama pemerintah terus berdiskusi untuk mengatasinya. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, kondisi tersebut diantisipasi dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan ekonomi yang terus dimatangkan.
Apa yang disampaikan BI sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang kemarin resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perppu tersebut, pemerintah menyiapkan anggaran Rp405,1 triliun yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), termasuk restrukturisasi kredit guna menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi.
UMKM merupakan salah satu sektor yang pantas mendapat perhatian lebih. Pasalnya, sektor ini termasuk yang paling kebal krisis. Ini jika berkaca pada krisis ekonomi pada 1998 dan 2008 silam di mana sektor tersebut terbukti aman.
Namun, yang jadi persoalan adalah saat itu penyebab krisis karena kondisi politik dan guncangan keuangan di level global. Tahun ini kondisinya sedikit berbeda karena krisis ekonomi dipicu mewabahnya penyakit yang belum diketahui obatnya dan tidak terlihat bentuknya sama sekali.
Padahal diketahui, UMKM di Tanah Air mampu menyerap sekitar 116 juta tenaga kerja pada 2018. Sektor ini juga berkontribusi sekitar 60% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Melihat kontribusi yang besar terhadap perekonomian, kita berharap dana yang dialokasikan dalam Perppu tersebut bisa menjadi bantalan bagi para pelaku UMKM agar tetap bertahan. Tentu saja, ini perlu upaya yang tidak sedikit mengingat dampak penyebaran Covid-19 belum bisa diprediksi kapan segera mereda.
Negara-negara di dunia yang terdampak Covid-19 juga secara terang-terangan menyebut mereka sangat terpukul. Maklum, tak terbilang lagi berapa banyak aktivitas ekonomi yang lumpuh. Di sektor penerbangan, International Air Transport Association (IATA) atau Asosiasi Transportasi Udara Internasional mengumumkan, terdapat potensi kerugian akibat Covid-19 yang berdampak pada menurunnya permintaan penumpang sepanjang tahun ini.
IATA memprediksi sepanjang 2020 pertumbuhan jumlah penumpang global bakal terkontraksi sekitar 8,2% dibandingkan 2019. Ini setara dengan kehilangan pendapatan sebesar USD27,8 miliar, terbesar di China yakni sekitar USD12,8 miliar.
Besarnya penurunan permintaan penumpang maskapai global itu juga terasa di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Angkasa Pura II selaku operator di bandara terbesar di Indonesia itu menyatakan telah kehilangan 35% trafik selama pembatasan aktivitas warga sesuai imbauan pemerintah tiga pekan lalu. Penurunan tersebut masih relatif moderat karena pemerintah belum masih memperbolehkan penerbangan dari dan ke luar negeri.
Itu baru salah satu kondisi di sektor penerbangan. Sektor ekonomi lainnya diyakini juga terdampak akibat Covid-19 yang awalnya bermula dari Wuhan, China itu. Pariwisata, industri manufaktur, jasa, keuangan, infrastruktur juga dipastikan terkena amukan Covid-19.
Lalu, bagaimana dengan kesiapan Indonesia mengahadapi risiko terburuk akibat pandemi ini? Pemerintah telah berulang kali menyebutkan, kita tidak bisa lepas dari dampak negatif Covid-19 terutama di sektor ekonomi. Terkait status krisis ekonomi dan keuangan yang disampaikan IMF, Bank Indonesia (BI) dalam konferensi pers kemarin menegaskan bahwa BI selaku otoritas monoter bersama pemerintah terus berdiskusi untuk mengatasinya. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, kondisi tersebut diantisipasi dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan ekonomi yang terus dimatangkan.
Apa yang disampaikan BI sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang kemarin resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perppu tersebut, pemerintah menyiapkan anggaran Rp405,1 triliun yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), termasuk restrukturisasi kredit guna menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi.
UMKM merupakan salah satu sektor yang pantas mendapat perhatian lebih. Pasalnya, sektor ini termasuk yang paling kebal krisis. Ini jika berkaca pada krisis ekonomi pada 1998 dan 2008 silam di mana sektor tersebut terbukti aman.
Namun, yang jadi persoalan adalah saat itu penyebab krisis karena kondisi politik dan guncangan keuangan di level global. Tahun ini kondisinya sedikit berbeda karena krisis ekonomi dipicu mewabahnya penyakit yang belum diketahui obatnya dan tidak terlihat bentuknya sama sekali.
Padahal diketahui, UMKM di Tanah Air mampu menyerap sekitar 116 juta tenaga kerja pada 2018. Sektor ini juga berkontribusi sekitar 60% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Melihat kontribusi yang besar terhadap perekonomian, kita berharap dana yang dialokasikan dalam Perppu tersebut bisa menjadi bantalan bagi para pelaku UMKM agar tetap bertahan. Tentu saja, ini perlu upaya yang tidak sedikit mengingat dampak penyebaran Covid-19 belum bisa diprediksi kapan segera mereda.
(nag)