Tertibkan Kebijakan ‘Lockdown Lokal’
A
A
A
DI tengah santernya desakan agar pemerintah pusat mengeluarkan regulasi tentang karantina wilayah, sejumlah kabupaten, kota, kecamatan, dan desa justru lebih dahulu menerapkan kebijakan lockdown . Fenomena ini banyak terjadi di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Bahkan, sebagian dusun kini mulai memperketat wilayahnya dengan hanya membolehkan warga yang masuk benar-benar ber-KTP setempat.
Dalam konteks prosedur birokrasi, langkah pemerintah daerah hingga level pemerintah desa itu jelas masuk kategori offside . Bisa dikatakan demikian karena sampai kemarin belum ada dasar hukum jelas guna memayungi kebijakan yang sangat lokalitas itu. Bupati, wali kota, camat, hingga kepala dusun sebenarnya juga diyakini memahami prosedur legalitas ini. Namun, mereka juga tidak bisa tinggal diam manakala melihat sinyal-sinyal penyebaran virus korona (Covid-19) semakin nyata. Kini, mereka telah menghadapi masalah serius, tak lagi berita-berita di televisi atau media massa lainnya yang awalnya jauh dari pandangan mata. Gelombang mudik hari-hari ini, misalnya, menuntut mereka harus membentengi diri wilayahnya. Setidaknya dengan cara membuat regulasi jelas agar kenyamanan kehidupan bermasyarakat yang berbasis norma-norma sosial terjamin sekaligus menjaga keselamatan hidup warga.
Pada lingkup lokal, upaya pemangku wilayah ini bisa dipahami. Mereka berupaya menjaga kearifan-kearifan lokal di tengah merebaknya virus yang hingga kini tak mampu dikendalikan oleh negara mana pun itu. Ancaman benar-benar sudah di depan halaman rumah mereka.
Namun, masalahnya, ketika inisiatif pemangku wilayah ini bersifat lokalitas, tentu sangat terbuka bertabrakan dengan kebijakan wilayah lain. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, misalnya, aturan ketat pembatasan wilayah memicu protes beberapa kalangan. Mereka wajar menolak karena kebijakan itu menghentikan dengan semena-mena aktivitas atau mata pencahariannya. Dari sini, lockdown lokal ternyata tidak sederhana. Sinyal-sinyal bakal terjadinya fenomena lockdown lokal ini sebenarnya juga sudah ditangkap pemerintah pusat.
Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan telah mewanti-wanti agar daerah tidak seenaknya memutuskan kebijakan lockdown atau dalam konteks perundangan Indonesia biasa disebut karantina wilayah. Kebijakan itu harus benar-benar dikoordinasikan dengan pemangku wilayah di atasnya. Ini beralasan karena hakikatnya, ketika kebijakan dikeluarkan maka akan memengaruhi kehidupan warga di wilayah lain. Presiden kemarin kembali menyampaikan peringatan itu. "Agar dilakukan secara terukur. Jangan sampai menimbulkan juga langkah-langkah penyaringan atau screening yang berlebihan bagi pemudik yang telanjur pulang kampung," kata Presiden.
Pun demikian, inisiatif para pemangku wilayah yang membuat lockdown lokal juga tak bisa sepenuhnya disalahkan begitu saja. Mereka sebenarnya juga bukan ingin gagah-gagahan atau sekadar ikut-ikutan. Mereka nekat melakukannya karena hingga kini tak juga ada regulasi atau mitigasi jelas penanganan terhadap ancaman penyebaran virus yang berasal dari China itu.
Hari-hari ini, pemerintah tampaknya mulai merespons dorongan agar lockdown lokal patut diberlakukan. Ini ditandai dengan kesiapan pemerintah menyiapkan payung hukumnya seperti peraturan pemerintah (PP). Namun, regulasi yang merupakan turunan dari UU Nomor 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, sebagaimana dikatakan Menkopulhukam Mahfud MD, bukan murni untuk lockdown lokal. PP lebih banyak mengatur seluk beluk soal social distancing dan sebagainya demi alasan kesehatan.
Apa pun bentuk dan isi regulasi itu, masalah ini harus secepatnya ditertibkan. Pemangku wilayah di bawah setiap hari menghadapi masalah yang tak ringan dan kompleks. Apalagi, gelombang mudik kini telah lebih dulu berdatangan yang itu semua di luar kendali mereka. Mereka hanya bisa mengantisipasi dengan ikhtiar-ikhtiar semampunya. Pemerintah perlu menangkap masalah ini dengan serius. Memahami betul situasi di tengah masyarakat dengan membuat kebijakan cepat dan tepat adalah langkah bijak. (*)
Dalam konteks prosedur birokrasi, langkah pemerintah daerah hingga level pemerintah desa itu jelas masuk kategori offside . Bisa dikatakan demikian karena sampai kemarin belum ada dasar hukum jelas guna memayungi kebijakan yang sangat lokalitas itu. Bupati, wali kota, camat, hingga kepala dusun sebenarnya juga diyakini memahami prosedur legalitas ini. Namun, mereka juga tidak bisa tinggal diam manakala melihat sinyal-sinyal penyebaran virus korona (Covid-19) semakin nyata. Kini, mereka telah menghadapi masalah serius, tak lagi berita-berita di televisi atau media massa lainnya yang awalnya jauh dari pandangan mata. Gelombang mudik hari-hari ini, misalnya, menuntut mereka harus membentengi diri wilayahnya. Setidaknya dengan cara membuat regulasi jelas agar kenyamanan kehidupan bermasyarakat yang berbasis norma-norma sosial terjamin sekaligus menjaga keselamatan hidup warga.
Pada lingkup lokal, upaya pemangku wilayah ini bisa dipahami. Mereka berupaya menjaga kearifan-kearifan lokal di tengah merebaknya virus yang hingga kini tak mampu dikendalikan oleh negara mana pun itu. Ancaman benar-benar sudah di depan halaman rumah mereka.
Namun, masalahnya, ketika inisiatif pemangku wilayah ini bersifat lokalitas, tentu sangat terbuka bertabrakan dengan kebijakan wilayah lain. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, misalnya, aturan ketat pembatasan wilayah memicu protes beberapa kalangan. Mereka wajar menolak karena kebijakan itu menghentikan dengan semena-mena aktivitas atau mata pencahariannya. Dari sini, lockdown lokal ternyata tidak sederhana. Sinyal-sinyal bakal terjadinya fenomena lockdown lokal ini sebenarnya juga sudah ditangkap pemerintah pusat.
Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan telah mewanti-wanti agar daerah tidak seenaknya memutuskan kebijakan lockdown atau dalam konteks perundangan Indonesia biasa disebut karantina wilayah. Kebijakan itu harus benar-benar dikoordinasikan dengan pemangku wilayah di atasnya. Ini beralasan karena hakikatnya, ketika kebijakan dikeluarkan maka akan memengaruhi kehidupan warga di wilayah lain. Presiden kemarin kembali menyampaikan peringatan itu. "Agar dilakukan secara terukur. Jangan sampai menimbulkan juga langkah-langkah penyaringan atau screening yang berlebihan bagi pemudik yang telanjur pulang kampung," kata Presiden.
Pun demikian, inisiatif para pemangku wilayah yang membuat lockdown lokal juga tak bisa sepenuhnya disalahkan begitu saja. Mereka sebenarnya juga bukan ingin gagah-gagahan atau sekadar ikut-ikutan. Mereka nekat melakukannya karena hingga kini tak juga ada regulasi atau mitigasi jelas penanganan terhadap ancaman penyebaran virus yang berasal dari China itu.
Hari-hari ini, pemerintah tampaknya mulai merespons dorongan agar lockdown lokal patut diberlakukan. Ini ditandai dengan kesiapan pemerintah menyiapkan payung hukumnya seperti peraturan pemerintah (PP). Namun, regulasi yang merupakan turunan dari UU Nomor 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, sebagaimana dikatakan Menkopulhukam Mahfud MD, bukan murni untuk lockdown lokal. PP lebih banyak mengatur seluk beluk soal social distancing dan sebagainya demi alasan kesehatan.
Apa pun bentuk dan isi regulasi itu, masalah ini harus secepatnya ditertibkan. Pemangku wilayah di bawah setiap hari menghadapi masalah yang tak ringan dan kompleks. Apalagi, gelombang mudik kini telah lebih dulu berdatangan yang itu semua di luar kendali mereka. Mereka hanya bisa mengantisipasi dengan ikhtiar-ikhtiar semampunya. Pemerintah perlu menangkap masalah ini dengan serius. Memahami betul situasi di tengah masyarakat dengan membuat kebijakan cepat dan tepat adalah langkah bijak. (*)
(cip)