Pemerintah Diminta Lakukan Perbaikan Signifikan Terkait Berantas Korupsi
A
A
A
JAKARTA - Masalah korupsi merupakan kejahatan yang menjadi musuh bersama. Permasalahan korupsi menjadi salah satu hal yang paling urgent untuk ditangani pemerintah. Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDem) pun mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan yang signifikan dalam menangani masalah korupsi, dan tidak tebang pilih.
"Enggak sedikit duit kita, duit rakyat yang dibawa lari koruptor-koruptor sampai hari ini. Itu selalu menjadi fakta, peristiwa yang berulang, dan dampaknya ke rakyat," ucap Ketua SC Kongres VII ProDem 2020, Standarkiaa Latief seusai Pembukaan Kongres VII ProDem di Jakarta, Sabtu (14/3/2020).
"Contoh terakhir sekarang, kalau kita bicara Jiwasraya yang kerugiannya sampai triliunan, udah susah kalau kita ngomong, tiba-tiba diwacanakan kemungkinan, disolusikan dengan bailout, yang maling siapa yang dibebani siapa," sambungnya.
Selain korupsi, permasalahan mendesak lainnya yang perlu diperhatikan pemerintah adalah soal kedaulatan negara. Secara teritorial fisik, semua tahu jika kedaulatan NKRI dari Sabang sampai Merauke, dan Zona Ekonomi Eksklusif luasnya 200 mil.
Namun, Standarkiaa mengingatkan, bahwa kejahatan kolonialisme enggak seperti dulu lagi, yakni negara asing mengerahkan kekuatan militernya di negara lain dan mendudukinya.
"Kolonialisme sekarang itu adalah proxy-nya menyangkut soal proxy politik. Jadi hegemoni dan kooptasi kekuatan asing itu lah yang mengangkangi kita, sehingga bagaimana yang terjadi di sini orientasi kebijakan yang dilahirkan kebijakan ekonomi, politik, hukum itu prioritasnya kepada kepentingan asing bukan kepada kepentingan anak bangsa, bukan kepentingan rakyat," jelas Latief.
Sementara dalam bidang ekonomi, ProDem mengingatkan, tantangan terbesar negara ini adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Menurut Latief, dalam lima tahun belakangan pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Dalam teori tata kelola negara, hal tersebut bisa dibilang autopilot.
"Artinya negara ini seolah-olah tidak ada kepemimpinan karena pertumbuhan ekonomi itu harus berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat," kata dia.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah 5% menjadi alasan dikeluarkannya Omnibus Law, tampaknya ini bukan solusi yang tepat. "Di era sebelumnya, tanpa Omnibus Law, pertumbuhan ekonomi bisa 6%. Omnibus Law itu kan kalau mau jujur kita cermati, negara akan kembali pada situasi lama, otoritarian," ujarnya.
Pada Kongres VII yang berlangsung 14-15 Maret 2020, ProDem berupaya merumuskan bagaimana Prodem ini bisa menjadi kekuatan civil society, kekuatan komponen masyarakat sipil yang menjalankan peran kontrol terhadap tata kelola negara.
"Nah, itu menjadi agenda besar dan misi kita bersama. Kalau merujuk pada tema kita, ProDem kembali kepada khitah ProDem, 'Marilah Kita Mendoa Indonesia Bahagia'. Sebenarnya ini filosofi yang sangat dalam," ungkap Latief.
Kongres VII ProDem ini, menurut Latief, mengeluarkan resolusi, baik di bidang politik, ekonomi, hukum, budaya dan HAM yang fokus bahwa tata kelola negara harus kembali pada koridor aturan hukum yang berlaku.
"Enggak sedikit duit kita, duit rakyat yang dibawa lari koruptor-koruptor sampai hari ini. Itu selalu menjadi fakta, peristiwa yang berulang, dan dampaknya ke rakyat," ucap Ketua SC Kongres VII ProDem 2020, Standarkiaa Latief seusai Pembukaan Kongres VII ProDem di Jakarta, Sabtu (14/3/2020).
"Contoh terakhir sekarang, kalau kita bicara Jiwasraya yang kerugiannya sampai triliunan, udah susah kalau kita ngomong, tiba-tiba diwacanakan kemungkinan, disolusikan dengan bailout, yang maling siapa yang dibebani siapa," sambungnya.
Selain korupsi, permasalahan mendesak lainnya yang perlu diperhatikan pemerintah adalah soal kedaulatan negara. Secara teritorial fisik, semua tahu jika kedaulatan NKRI dari Sabang sampai Merauke, dan Zona Ekonomi Eksklusif luasnya 200 mil.
Namun, Standarkiaa mengingatkan, bahwa kejahatan kolonialisme enggak seperti dulu lagi, yakni negara asing mengerahkan kekuatan militernya di negara lain dan mendudukinya.
"Kolonialisme sekarang itu adalah proxy-nya menyangkut soal proxy politik. Jadi hegemoni dan kooptasi kekuatan asing itu lah yang mengangkangi kita, sehingga bagaimana yang terjadi di sini orientasi kebijakan yang dilahirkan kebijakan ekonomi, politik, hukum itu prioritasnya kepada kepentingan asing bukan kepada kepentingan anak bangsa, bukan kepentingan rakyat," jelas Latief.
Sementara dalam bidang ekonomi, ProDem mengingatkan, tantangan terbesar negara ini adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Menurut Latief, dalam lima tahun belakangan pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Dalam teori tata kelola negara, hal tersebut bisa dibilang autopilot.
"Artinya negara ini seolah-olah tidak ada kepemimpinan karena pertumbuhan ekonomi itu harus berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat," kata dia.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah 5% menjadi alasan dikeluarkannya Omnibus Law, tampaknya ini bukan solusi yang tepat. "Di era sebelumnya, tanpa Omnibus Law, pertumbuhan ekonomi bisa 6%. Omnibus Law itu kan kalau mau jujur kita cermati, negara akan kembali pada situasi lama, otoritarian," ujarnya.
Pada Kongres VII yang berlangsung 14-15 Maret 2020, ProDem berupaya merumuskan bagaimana Prodem ini bisa menjadi kekuatan civil society, kekuatan komponen masyarakat sipil yang menjalankan peran kontrol terhadap tata kelola negara.
"Nah, itu menjadi agenda besar dan misi kita bersama. Kalau merujuk pada tema kita, ProDem kembali kepada khitah ProDem, 'Marilah Kita Mendoa Indonesia Bahagia'. Sebenarnya ini filosofi yang sangat dalam," ungkap Latief.
Kongres VII ProDem ini, menurut Latief, mengeluarkan resolusi, baik di bidang politik, ekonomi, hukum, budaya dan HAM yang fokus bahwa tata kelola negara harus kembali pada koridor aturan hukum yang berlaku.
(maf)