RUU Ciptaker Harus Seimbangkan Kepentingan Investor dan Pekerja
A
A
A
JAKARTA - Draf Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang dibuat pemerintah banyak menuai kritikan dan juga masukan. Namun yang terpenting, RUU Ciptaker ini harus menyeimbangkan antara kepentingan investor dan juga pekerja agar iklim usaha pun menjadi baik.
“Investor pasti berkepentingan terhadap regulasi yang memudahkan dan cepat, biaya murah untuk berbagai urusan seperti perizinan, tenaga kerja dan lainnya. Kepentingan lainnya adalah jaminan keamanan investasi, juga keberlangsungan usaha terjaga,” ujar Dosen Ekonomi dan Keuangan FEBI UIN Bandung, Setia Mulyawan saat dihubungi, Rabu (11/3/2020). (Baca juga: Margarito Duga Omnibus Law Fasilitas untuk Korporasi)
Sementara, Mulyawan melanjutkan kepentingan pekerja antara lain, upah yang sesuai atau lebih baik dari standar hidup layak, dan jaminan keberlangsungan bekerja juga penting diperhatikan agar iklim usaha pun menjadi kondusif.
“Pekerja juga butuh ketenangan, kenyamanan bekerja dan penghargaan atas masa kerja. Tentu masih ada kepentingan-kepentingan lain, tapi secara umum jika ini tercukupi ya iklim usaha secara umum akan kondusif,” tutur Mulyawan.
Mulyawan melihat kedua kepentingan ini yang coba dipertemukan dalam RUU Ciptaker. Karena, jika dilihat dari klaster draf-nya, RUU Ciptaker memang mengakomodasi dua kepentingan ini meskipun diakuinya bahwa masih ada beberapa poin yang dikritisi dan perlu diperbaiki.
Namun yang terpenting, kata Mulyawan, adalah semangat Omnibus Law dalam mengatasi masalah pengangguran. RUU ini memang diharapkan mendorong dengan cepat penambahan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, lapangan kerja yang sudah ada juga tidak berpindah ke negara lain yang lebih kompetitif.
“Ini kan catatan penting yang selama ini banyak dibicarakan. Sudah ada lapangan kerja, terus pindah ke negara tetangga karena kita kalah kompetitif,” tegasnya.
Selain itu, Mulyawan juga mengutip data Kemenko Perekonomian tahun 2020 yang menyebutkan bahwa pengangguran saat ini mencapai 7,05 juta dan angkatan kerja mencapai 2,24 juta. Sementara, masyarakat dalam kategori setengah penganggur sebanyak 8,14 juta, dan pekerja paruh waktu 28,41 juta. Jadi, total 45,84 juta atau 34,4% angkatan kerja bekerja tidak penuh.
“Bayangkan jika ditambah jumlah penduduk yang bekerja pada sektor informal sebanyak 70,49 juta orang atau 55,72 persen dari total penduduk yang bekerja. Ini jumlah yang memang harus dipastikan solusinya.” (Baca juga: Akademisi Sebut Ada Persoalan Besar dalam Penyusunan RUU Omnibus Law )
“Di sinilah peran strategis RUU Ciptaker, yakni memberikan peluang penyerapan tenaga kerja lebih banyak,” sambung Mulyawan.
“Investor pasti berkepentingan terhadap regulasi yang memudahkan dan cepat, biaya murah untuk berbagai urusan seperti perizinan, tenaga kerja dan lainnya. Kepentingan lainnya adalah jaminan keamanan investasi, juga keberlangsungan usaha terjaga,” ujar Dosen Ekonomi dan Keuangan FEBI UIN Bandung, Setia Mulyawan saat dihubungi, Rabu (11/3/2020). (Baca juga: Margarito Duga Omnibus Law Fasilitas untuk Korporasi)
Sementara, Mulyawan melanjutkan kepentingan pekerja antara lain, upah yang sesuai atau lebih baik dari standar hidup layak, dan jaminan keberlangsungan bekerja juga penting diperhatikan agar iklim usaha pun menjadi kondusif.
“Pekerja juga butuh ketenangan, kenyamanan bekerja dan penghargaan atas masa kerja. Tentu masih ada kepentingan-kepentingan lain, tapi secara umum jika ini tercukupi ya iklim usaha secara umum akan kondusif,” tutur Mulyawan.
Mulyawan melihat kedua kepentingan ini yang coba dipertemukan dalam RUU Ciptaker. Karena, jika dilihat dari klaster draf-nya, RUU Ciptaker memang mengakomodasi dua kepentingan ini meskipun diakuinya bahwa masih ada beberapa poin yang dikritisi dan perlu diperbaiki.
Namun yang terpenting, kata Mulyawan, adalah semangat Omnibus Law dalam mengatasi masalah pengangguran. RUU ini memang diharapkan mendorong dengan cepat penambahan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, lapangan kerja yang sudah ada juga tidak berpindah ke negara lain yang lebih kompetitif.
“Ini kan catatan penting yang selama ini banyak dibicarakan. Sudah ada lapangan kerja, terus pindah ke negara tetangga karena kita kalah kompetitif,” tegasnya.
Selain itu, Mulyawan juga mengutip data Kemenko Perekonomian tahun 2020 yang menyebutkan bahwa pengangguran saat ini mencapai 7,05 juta dan angkatan kerja mencapai 2,24 juta. Sementara, masyarakat dalam kategori setengah penganggur sebanyak 8,14 juta, dan pekerja paruh waktu 28,41 juta. Jadi, total 45,84 juta atau 34,4% angkatan kerja bekerja tidak penuh.
“Bayangkan jika ditambah jumlah penduduk yang bekerja pada sektor informal sebanyak 70,49 juta orang atau 55,72 persen dari total penduduk yang bekerja. Ini jumlah yang memang harus dipastikan solusinya.” (Baca juga: Akademisi Sebut Ada Persoalan Besar dalam Penyusunan RUU Omnibus Law )
“Di sinilah peran strategis RUU Ciptaker, yakni memberikan peluang penyerapan tenaga kerja lebih banyak,” sambung Mulyawan.
(kri)