PKB Anggap Intoleransi dan Radikalisme Persoalan Serius Bangsa
A
A
A
JAKARTA - Masalah intoleransi, radikalisme dan terorisme dinilai sebagai persoalan bangsa yang harus segera diatasi. Anggota Komisi VIII Fraksi PKB DPR, Maman Imanulhaq mengatakan bahaya laten intoleransi, radikalisme dan terorisme jangan sampai dilupakan di tengah berbagai isu seperti penyebaran virus Corona.
"Kalau isu Corona ada masanya. Tapi kelompok intoleran, radikal ini kalau sudah memasuki kalangan bawah bahkan di kalangan elite baik itu politisi, TNI, Polri, itu membahayakan masa depan Indonesia, masa depan kemanusiaan," ujarnya di sela Diskusi Reboan bertema "Intoleransi vs Indonesia: Presentasi Lembaga Penelitian Terhadap Ancaman Intoleransi di Indonesia dan Konsistensi Sikap Politik PKB Melawan Intoleransi di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2020).
Maman melihat, indikasi menguatnya intoleransi di Indonesia semakin nyata. Dia mencontohkan bagaimana keterpecahan publik hanya karena perbedaan-perbedaan yang tidak prinsip itu terjadi.
"Hari ini yang lagi ternyata adalah adanya oknum yang menolak haul NU di salah satu masjid keraton di Yogyakarta, ini kan membuat kita terkejut," katanya.
Selain itu, banyaknya masjid di lingkungan BUMN, pemerintahan, termasuk di sekolah-sekolah yang membuat PKB mempunyai kepentingan untuk mengangkat isu-isu intoleransi dan radikalisme.
Karena itu, Maman mendorong pendidikan agama dan pesantren untuk memasukan muatan-muatan Islam yang moderat. Kedua, meminta BUMN untuk tidak melepas pengelolaan masjid-masjid di lingkungannya kepada pihak yang di luar kendali BUMN, apalagi sampai dikuasai oleh dai-dai intoleran yang mengancam NKRI.
Maman mengaku prihatin ketika melihat hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana sebagian besar anggota DPR RI ternyata tidak terlalu mengapresiasi adanya isu-isu keberagamaan. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang selama ini menjadi basis perjuangan PKB yang memberikan perhatian serius pada persoalan agama.
Direktur PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Jamhari mengatakan hasil survei yang dilakukan terhadap pandangan anggota DPR RI mengenai isu-isu agama dan keberagaman sangat bervariasi. "Saya agak terkejut ketika menemukan bahwa ternyata anggota DPR kurang peduli terhadap pendidikan agama. Mereka cenderung menganggap bahwa isu-isu pendidikan agama itu bukan isu yang penting yang perlu dibicarakan di DPR, dan itu menurut saya agak mengejutkan, karena pada dasarnya kan negara kita sangat dekat dengan agama," katanya.
Dari survei yang dilakukan, ternyata partai politik belum merumuskan secara baik soal pendidikan agama yang seharusnya menjadi platform dari kebijakan mereka. Kemudian tentang perdebatan antara agama dan negara terus menerus terjadi.
"Ini menurut saya tugas bagi pimpinan parpol agar bisa menjadikan isu pendidikan agama menjadi isu yang penting dan diperhatikan," ucapnya.
Isu soal intoleransi, kata Jamhari, juga mendesak untuk dibicarakan. Semua komponen bangsa termasuk masyarakat, pemerintah, Parlemen dan kelompok masyarakat yang mempunyai hak untuk membuat undang-undang, budgeting, dan program bisa peduli terhadap penanggulangan masalah intoleransi. "Sebab kalau tak ada kepedulian terhadap masalah intoleransi maka Indonesia akan bisa bahaya," katanya.
Temuan survei PPIM UIN, banyak anak muda yang masih duduk di bangku SMP, SMA, dan juga di perguruan tinggi mulai terpapar ide-ide intoleran. "Guru-gurunya juga sama kurang toleran terhadap keberagaman dan perbedaan," urainya.
Sementara itu, CEO dan Founder Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan, hasil survei nasional yang dilakukan Alvara pada Agustus 2019 lalu menunjukkan bahwa potensi intoleransi itu justru menguat di kalangan anak muda. Hal ini terutama disebabkan oleh ajaran agama yang mereka peroleh dari media sosial (medsos).
"Jadi ustaz-ustaz yang ada di medsos atau YouTube itu menjadi referensi keagamaan anak-anak muda di Indonesia, dan itu yang mereka terima adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan intoleransi kepada kelompok lain," urainya.
Karena itu, menurut Hasan, hal yang perlu dilakukan adalah pentingnya menghadirkan ustaz-ustaz dengan pemahaman moderat untuk lebih banyak aktif mengisi kajian-kajian di medsos. Selain itu, literasi tentang keagamaan harus diperkuat.
"Karena semangat keagamaan anak muda sekarang itu luar biasa besar sehingga itu harus diimbangi dengan literasi dan ajaran-ajaran agama yang lebih moderat di kalangan anak-anak muda," tuturnya.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Nadia Fairuza Azzahra mengatakan, UU Pesantren yang diinisiasi PKB dan disahkan pada September 2019 lalu, menjadi salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi paham radikalisme di kalangan pesantren.
"Undang-undang ini mengatur komitmen pesantren untuk menjalankan prektik-praktik Islam yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945," tuturnya.
Dalam upaya menangkal penyebaran paham radikal, menurut Nadia, juga diperlukan sistem "filterisasi" untuk membedakan pesantren-pesantren mana yang mengajarkan paham radikal. Menurutnya, salah satu faktor yang menggerakkan radikalisme adalah sempitnya pemahaman agama.
Pemahaman agama di pesantren mengizinkan santri untuk mengakses kurikulum yang solid serta mengeliminasi interpretasi teks secara literal. "Sekolah cenderung memupuk perilaku radikal ketika hanya mengajarkan interpretasi Islam yang tunggal," katanya.
"Kalau isu Corona ada masanya. Tapi kelompok intoleran, radikal ini kalau sudah memasuki kalangan bawah bahkan di kalangan elite baik itu politisi, TNI, Polri, itu membahayakan masa depan Indonesia, masa depan kemanusiaan," ujarnya di sela Diskusi Reboan bertema "Intoleransi vs Indonesia: Presentasi Lembaga Penelitian Terhadap Ancaman Intoleransi di Indonesia dan Konsistensi Sikap Politik PKB Melawan Intoleransi di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2020).
Maman melihat, indikasi menguatnya intoleransi di Indonesia semakin nyata. Dia mencontohkan bagaimana keterpecahan publik hanya karena perbedaan-perbedaan yang tidak prinsip itu terjadi.
"Hari ini yang lagi ternyata adalah adanya oknum yang menolak haul NU di salah satu masjid keraton di Yogyakarta, ini kan membuat kita terkejut," katanya.
Selain itu, banyaknya masjid di lingkungan BUMN, pemerintahan, termasuk di sekolah-sekolah yang membuat PKB mempunyai kepentingan untuk mengangkat isu-isu intoleransi dan radikalisme.
Karena itu, Maman mendorong pendidikan agama dan pesantren untuk memasukan muatan-muatan Islam yang moderat. Kedua, meminta BUMN untuk tidak melepas pengelolaan masjid-masjid di lingkungannya kepada pihak yang di luar kendali BUMN, apalagi sampai dikuasai oleh dai-dai intoleran yang mengancam NKRI.
Maman mengaku prihatin ketika melihat hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana sebagian besar anggota DPR RI ternyata tidak terlalu mengapresiasi adanya isu-isu keberagamaan. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang selama ini menjadi basis perjuangan PKB yang memberikan perhatian serius pada persoalan agama.
Direktur PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Jamhari mengatakan hasil survei yang dilakukan terhadap pandangan anggota DPR RI mengenai isu-isu agama dan keberagaman sangat bervariasi. "Saya agak terkejut ketika menemukan bahwa ternyata anggota DPR kurang peduli terhadap pendidikan agama. Mereka cenderung menganggap bahwa isu-isu pendidikan agama itu bukan isu yang penting yang perlu dibicarakan di DPR, dan itu menurut saya agak mengejutkan, karena pada dasarnya kan negara kita sangat dekat dengan agama," katanya.
Dari survei yang dilakukan, ternyata partai politik belum merumuskan secara baik soal pendidikan agama yang seharusnya menjadi platform dari kebijakan mereka. Kemudian tentang perdebatan antara agama dan negara terus menerus terjadi.
"Ini menurut saya tugas bagi pimpinan parpol agar bisa menjadikan isu pendidikan agama menjadi isu yang penting dan diperhatikan," ucapnya.
Isu soal intoleransi, kata Jamhari, juga mendesak untuk dibicarakan. Semua komponen bangsa termasuk masyarakat, pemerintah, Parlemen dan kelompok masyarakat yang mempunyai hak untuk membuat undang-undang, budgeting, dan program bisa peduli terhadap penanggulangan masalah intoleransi. "Sebab kalau tak ada kepedulian terhadap masalah intoleransi maka Indonesia akan bisa bahaya," katanya.
Temuan survei PPIM UIN, banyak anak muda yang masih duduk di bangku SMP, SMA, dan juga di perguruan tinggi mulai terpapar ide-ide intoleran. "Guru-gurunya juga sama kurang toleran terhadap keberagaman dan perbedaan," urainya.
Sementara itu, CEO dan Founder Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan, hasil survei nasional yang dilakukan Alvara pada Agustus 2019 lalu menunjukkan bahwa potensi intoleransi itu justru menguat di kalangan anak muda. Hal ini terutama disebabkan oleh ajaran agama yang mereka peroleh dari media sosial (medsos).
"Jadi ustaz-ustaz yang ada di medsos atau YouTube itu menjadi referensi keagamaan anak-anak muda di Indonesia, dan itu yang mereka terima adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan intoleransi kepada kelompok lain," urainya.
Karena itu, menurut Hasan, hal yang perlu dilakukan adalah pentingnya menghadirkan ustaz-ustaz dengan pemahaman moderat untuk lebih banyak aktif mengisi kajian-kajian di medsos. Selain itu, literasi tentang keagamaan harus diperkuat.
"Karena semangat keagamaan anak muda sekarang itu luar biasa besar sehingga itu harus diimbangi dengan literasi dan ajaran-ajaran agama yang lebih moderat di kalangan anak-anak muda," tuturnya.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Nadia Fairuza Azzahra mengatakan, UU Pesantren yang diinisiasi PKB dan disahkan pada September 2019 lalu, menjadi salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi paham radikalisme di kalangan pesantren.
"Undang-undang ini mengatur komitmen pesantren untuk menjalankan prektik-praktik Islam yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945," tuturnya.
Dalam upaya menangkal penyebaran paham radikal, menurut Nadia, juga diperlukan sistem "filterisasi" untuk membedakan pesantren-pesantren mana yang mengajarkan paham radikal. Menurutnya, salah satu faktor yang menggerakkan radikalisme adalah sempitnya pemahaman agama.
Pemahaman agama di pesantren mengizinkan santri untuk mengakses kurikulum yang solid serta mengeliminasi interpretasi teks secara literal. "Sekolah cenderung memupuk perilaku radikal ketika hanya mengajarkan interpretasi Islam yang tunggal," katanya.
(kri)