Sekali Tepuk, RUU Cipta Kerja Buldoser Undang-Undang Tentang Paten

Kamis, 27 Februari 2020 - 07:27 WIB
Sekali Tepuk, RUU Cipta Kerja Buldoser Undang-Undang Tentang Paten
Sekali Tepuk, RUU Cipta Kerja Buldoser Undang-Undang Tentang Paten
A A A
DRAF Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja alias Ciker memang banyak kejutan. RUU ini merancang perubahan tujuh undang-undang (UU). Salah satu di antaranya adalah UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Elaborasi perubahan tiap UU dirancang dalam satu bagian tersendiri. Dalam Bab VI tentang Kemudahan Berusaha, Bagian Ketiga, Pasal 110, RUU ini menghapus ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Rumusan penghapusan pasal tersebut dalam draf omnibus law cukup sederhana, “Ketentuan dalam Pasal 20 UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) dihapus.”

Ketentuan pasal yang akan dihapus adalah pengaturan dalam bagian kelima tentang Hak dan Kewajiban Pemegang Paten. Bagian itu ada dalam Bab II UU Paten yang mengatur Lingkup Perlindungan Paten.

Pasal tersebut menentukan dua hal. Pertama, pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia. Kedua, pembuatan produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat pertama harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi, dan/atau penyediaan lapangan kerja.

Menghapus Pasal 20 UU Paten berarti meniadakan kewajiban menggunakannya untuk membuat produk atau menggunakan proses yang telah diberi paten dan dilindungi di Indonesia. Tak hanya bagi pemegang paten warga negara Indonesia (WNI), warga negara asing (WNA) pun punya kewajiban untuk melaksanakan atau menggunakan patennya.

Mengapa ketentuan yang justru dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja malah mau dihapus? Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Freddy Haris menjelaskan bahwa pasal ini dianggap berpotensi menyulitkan investasi. “Memang agak menyulitkan bagi investasi,” ujarnya, 9 Desember lalu.

Sekadar mengingatkan, UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten adalah pengganti dari UU Paten sebelumnya, yaitu UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. UU Paten ini bertujuan menciptakan iklim usaha yang sehat.

Selama ini, polemik yang terjadi pada Pasal 20 UU Paten adalah para pemegang paten yang mayoritas bukan dari Indonesia belum bisa mengimplementasikan patennya di Indonesia. Hambatannya adalah ketidaksiapan pemegang paten maupun pemerintah.

Alhasil, terbitlah Peraturan Menteri Kemenkum HAM Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemegang Paten. Pasal 3 dan Pasal 4 permen ini memberi toleransi untuk pemegang paten.

Pasal 3 berbunyi, “Dalam hal pemegang paten belum dapat melaksanakan patennya di Indonesia, mereka dapat menunda pelaksanaan pembuatan produk atau penggunaan proses paten di Indonesia paling lama 5 (lima) tahun.” Sementara, Pasal 4 menyebut, “Permohonan penundaan pelaksanaan paten diajukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal pemberian Paten.”

Jadi, dengan telah diundangkannya permen itu, pemegang paten yang belum dapat mengimplementasikan patennya di Indonesia setelah permohonan paten miliknya dikabulkan atau diberi bisa mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan paten.

Pembatasan waktu selama lima tahun dianggap cukup bagi pemegang paten untuk mengimplementasikan patennya di Indonesia. Dalam periode penundaan tersebut, mereka juga dapat mempertimbangkan lebih lanjut terkait tata cara melaksanakan patennya di Indonesia. Sebaliknya, jika paten tersebut dianggap memiliki prospek bisnis yang kurang menguntungkan, pemegang paten bisa mengajukan permohonan penghapusan atas patennya kepada menteri.

Bambang Kesowo, eks Menteri Sekretaris Negara (Setneg) dalam Kabinet Gotong Royong, mengingatkan tak semua investor pemegang paten dan tak selalu pemegang paten adalah investor. Itu sebabnya eks Kepala Biro Hukum dan PUU Setneg (1983–1994) dalam artikel berjudul “Pembonceng Omnibus” di KOMPAS edisi 17 Februari 2020 menyebut bahwa penghapusan Pasal 20 merusak tatanan UU Paten. “Isi Pasal 110 RUU itu mengancam kepentingan nasional, berikut desain politik yang sedari awal disusun untuk melindungi kepentingan itu sendiri,” jelasnya.

Bambang mempertanyakan korelasi Pasal 20 dalam konteks “kemudahan berusaha” seperti diatur dalam BAB VI RUU tersebut. “Sudah demikian mampetkah logika sehingga harus menggunakan asumsi bahwa pemilik atau pemegang paten adalah pengusaha atau investor?” ujarnya.

Salah satu prinsip UU Paten adalah kewajiban menggunakan paten di Indonesia. Secara substansial, meniadakan kewajiban menggunakan paten yang didaftar dan diberi perlindungan di Indonesia hanya akan membuat investor berlaku sekadar agen penjualan di Indonesia. Ini kalau benar bahwa pemegang paten adalah investor. Jika bukan investor, tidak ada hubungannya dengan kemudahan berusaha yang diberikan kepada pemegang paten.

Lebih jauh lagi, dimatikannya Pasal 20 UU Paten akan menghilangkan makna sejumlah rekayasa kebijakan yang diatur dalam Pasal 82 UU Paten. Pasal 82 merupakan bagian pengaturan konsepsi lisensi wajib yang secara khusus dibangun dalam Bagian Ketiga pada Bab VII UU Paten. Bab VII adalah wadah pengaturan ihwal pengalihan hak, lisensi, dan paten sebagai objek jaminan fidusia.

Bagian Ketiga ini berisi 27 pasal yang khusus mengatur lisensi wajib (Pasal 81 hingga 107). Melalui Pasal 82, diwujudkan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban sebagaimana dari awal ditegaskan dalam Pasal 20 yang justru akan dihapus itu.

Selain prinsip keseimbangan, ada pula aturan soal ketertiban, disiplin, dan kejujuran. Pasal 82 dengan sangat sadar dirancang untuk mencegah penyalahgunaan (abuse) hak yang sudah diperoleh pemegang paten. Dengan mematikan Pasal 20 UU Paten, Pasal 82 kehilangan pegangan.

Desain kebijakan politik yang dirancang dalam Bagian Ketiga BAB VII UU Paten menjadi goyah. “Hanya dengan sekali tepuk, Pasal 20 mati dan rancang bangun kebijakan politik yang dirumuskan dalam Pasal 81 hingga 107 kehilangan makna. Malah runtuh,” tulis Bambang.

Pasal 82 UU Paten menjelaskan bahwa lisensi wajib merupakan lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasarkan keputusan menteri atas dasar permohonan dengan tiga alasan. Pertama, pemegang paten tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk satu menggunakan proses di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan paten.

Kedua, telah dilaksanakan oleh pemegang paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. Ketiga, paten hasil pengembangan dari paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan paten pihak lain yang masih dalam perlindungan. Pasal-pasal selanjutnya hingga Pasal 107 di Bagian Ketiga tadi berisikan jabaran dan tata cara penerapan konsep lisensi wajib.

Dugaan Bambang terkait adanya pembonceng pada omnibus law cukup beralasan. Dalam sejarah perundingan hak kekayaan intelektual (HAKI), khususnya paten sejak awal dekade 1980-an dalam World Intellectual Property Organization (WIPO), pro dan kontra tentang konsep lisensi wajib government use selalu melingkupi forum. Begitu pula dalam perundingan Putaran Uruguay di GATT/WTO.

Bukan rahasia bahwa kompromi politik itu belum memberikan kepuasan kepada banyak negara industri maju. Di belakang sikap resmi negara-negara maju, ada kepentingan perusahaan multinasional. Terutama yang bergerak di bidang farmasi atau pembuatan obat.

Kepentingan ekonomi dan dagang dalam HAKI yang bermotif dan menonjolkan karakter monopolistik itulah yang sebenarnya sangat ingin diperjuangkan. Mereka banyak menguasai paten. Bagi mereka, mendaftarkan paten bertujuan untuk mendapat perlindungan, bukan selalu berarti akan berusaha. Oleh karena itu, kalau Pasal 110 RUU Ciker menjadikannya sebagai asumsi bahwa pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia, di situlah mungkin pangkal kekeliruannya. (Miftah H. Yusufpati)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3956 seconds (0.1#10.140)