Menimbang Masa Depan Pekerja di RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Selasa, 25 Februari 2020 - 09:01 WIB
Menimbang Masa Depan Pekerja di RUU Omnibus Law Cipta Kerja
Menimbang Masa Depan Pekerja di RUU Omnibus Law Cipta Kerja
A A A
JAKARTA - Pemerintah ingin membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Namun, kalangan pekerja justru menganggap pemerintah cenderung pro-pengusaha.

“Dalam prolegnas (program legislasi nasional), namanya ditulis Cipta Lapangan Kerja, tapi kok draf resmi yang dikirim ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) namanya menjadi Cipta Kerja? Apa bisa begitu? Ini ahli hukum yang mestinya tahu,” ujar Achmad Baidowi, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, ketika mengawali diskusi di KAHMI Center pada Rabu pekan lalu.

Pertanyaan yang disampaikan Baidowi dalam diskusi bertajuk “Kontroversi Omnibus Law” itu hanya satu dari sekian banyak kontroversi dalam berbagai aspek rancangan undang-undang (RUU) sapu jagat tersebut. Saking banyaknya, RUU itu sempat mendapat julukan yang pas dengan akronim namanya: cilaka.

Nama itu jelas menyindir banyaknya hal-hal kontroversial yang coba diatur dalam RUU tersebut, termasuk di antaranya masalah tenaga kerja. Persoalan ketenagakerjaan merupakan salah satu isu yang paling banyak mendapat sorotan tajam dalam RUU Cipta Kerja—nama terakhir sesuai draf resmi yang dikirim pemerintah kepada DPR.
Mulai dari kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA) sampai pemutusan hubungan kerja (PHK) mengundang kritik. Secara ekstrem, RUU yang sempat dipelesetkan menjadi “RUU Cilaka” itu dianggap terlalu berpihak pada pengusaha ketimbang tenaga kerja atau buruh.

Berkaitan dengan TKA, misalnya, RUU Cipta Kerja menghapuskan izin tertulis dari menteri bagi TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Memang, perusahaan atau pemberi kerja diharuskan punya pengesahan rencana penggunaan TKA dari pemerintah pusat. Ketentuan ini sudah diatur dalam perubahan Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003.Akan tetapi, ayat 3 huruf c pasal yang sama menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku bagi TKA yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, rintisan, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. Beleid ini masih diperparah dengan dihilangkannya kewajiban bagi TKA untuk mampu berbahasa Indonesia.

Bila dalam UU 13/2003 pengecualian kewajiban memperoleh pendidikan dan pelatihan dalam rangka transfer of job dan knowledge hanya untuk direksi dan komisaris, dalam RUU Cipta Kerja, pengecualian hanya ditulis bagi TKA dengan jabatan tertentu. “Kewajiban izinnya hilang, kewajiban berbahasa Indonesia juga hilang. Ini pintu masuk bagi TKA buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan untuk masuk ke Indonesia,” kata Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Baidowi pun mengamini bahwa dibukanya keran bagi masuknya TKA justru berpotensi kontraproduktif dengan cita-cita dan tujuan dibuatnya RUU Cipta Kerja. Menurut dia, RUU Cipta Kerja mestinya mendukung tumbuh dan melindungi rintisan yang dimotori anak-anak bangsa sendiri. Oleh karena itu, kelonggaran terhadap masuknya TKA pada rintisan harus dipikir lebih dalam lagi. “Sebab, startup (rintisan) itu kan salah satu yang ingin kita hidupkan,” katanya.

Dalam hal waktu kerja, RUU Cipta Kerja mengatur waktu 40 jam per pekan dengan satu hari libur. Ini berbeda dengan UU Nomor 13/2003 yang memberikan pilihan waktu kerja tujuh jam per hari untuk enam hari kerja atau delapan jam per hari untuk lima hari kerja.

Kritik lain berkaitan dengan status tenaga kerja kontrak lepas alias outsourcing. Dihapusnya Pasal 59 UU Nomor 13/2003 yang mengatur kontrak kerja maksimal dua tahun dan dapat diperpanjang satu tahun lagi dianggap sebagai lampu hijau bagi pengusaha untuk memberlakukan sistem outsourcing tanpa batas.

Beleid itu menimbulkan implikasi lain pada perlindungan terhadap tenaga kerja, di antaranya terhadap pemecatan. Menurut Iqbal, akibat penggunaan tenaga kerja kontrak, outsourcing, dan upah yang dibayarkan per satuan waktu (upah per jam), jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akan hilang.

Begitu pula dengan status outsourcing. Pekerja akan rentan dari PHK karena perusahaan tidak punya kewajiban apa-apa ketika melakukan PHK terhadap mereka. Artinya, RUU Cipta Kerja juga mempermudah perusahaan melakukan PHK.
UU Nomor 13/2003 hanya mengatur empat jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa izin. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, ada delapan jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa izin. Salah satunya bila perusahaan melakukan efisiensi. “Dengan alasan melakukan efisiensi, pekerja bisa dengan mudah di-PHK,” ujar Iqbal.

Beberapa polemik ketenagakerjaan dalam RUU Sapu Jagat Cipta Kerja tersebut sudah lebih dari cukup untuk menyebut RUU Cipta Kerja masih jauh dari sempurna. Meskipun tak dapat dimungkiri bahwa tujuan awal diterbitkannya RUU ini adalah menciptakan lapangan pekerjaan seluas-seluasnya.

Data pemerintah menyebutkan ada lebih dari tujuh juta pengangguran di Indonesia, sedangkan ada dua juta angkatan kerja baru setiap tahunnya. Untuk membuka lapangan kerja bagi sembilan juta orang itu, pemerintah mesti memacu pertumbuhan ekonomi di atas 6% per tahun. Untuk sampai tumbuh 6%, Indonesia butuh investasi Rp4.800 triliun dengan asumsi per 1% pertumbuhan membutuhkan Rp800 triliun.

Pertanyaannya, bagaimana caranya agar investor mau masuk? Bagi pemerintah, jalannya adalah memangkas birokrasi dan menghilangkan semua hal yang dianggap menghambat investasi, termasuk yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Secara khusus adalah upah dan turunannya.

Beberapa pihak menyebut daya saing upah Indonesia kalah dibandingkan dengan Bangladesh dan Vietnam. Pemberlakuan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dianggap menjadi biang masalah. Tingginya UMK di Bekasi atau Karawang, misalnya, membuat sejumlah pabrik hengkang ke Jawa Tengah yang UMK-nya jauh lebih rendah. Bahkan, ada yang sampai pindah ke Bangladesh atau Vietnam.

Sepintas memang masuk akal. Namun, menerapkan upah minimal provinsi (UMP) juga tidak serta-merta menyelesaikan masalah upah. Dengan penerapan UMP, tenaga kerja di Bekasi yang bisa menerima upah sesuai UMK Rp4,7 juta, misalnya, harus menerima upah sesuai UMP Jawa Barat yang hanya Rp1,81 juta. “Padahal, angka kebutuhan hidup layaknya memang berbeda,” ujar Iqbal.

Begitulah, perlu elaborasi lebih lanjut dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bomer Pasaribu meminta pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU Cipta Kerja tersebut.

Dia mengingatkan agar RUU Cipta Kerja juga mempertimbangkan Konvensi ILO yang sudah diratifikasi Indonesia. “Sebab, kalau sudah masuk radar hitam ILO, efeknya bisa buruk buat Indonesia,” kata Bomer ketika ditemui SINDO Weekly, Rabu pekan lalu. (Muhibudin Kamali)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5807 seconds (0.1#10.140)