Kerjasama Kemendikbud dan Kemendes, Mahasiswa Siap-siap Kuliah di Desa

Sabtu, 22 Februari 2020 - 06:29 WIB
Kerjasama Kemendikbud dan Kemendes, Mahasiswa Siap-siap Kuliah di Desa
Kerjasama Kemendikbud dan Kemendes, Mahasiswa Siap-siap Kuliah di Desa
A A A
JAKARTA - Mahasiswa nantinya bukan hanya sebatas turun ke desa untuk melakukan kuliah kerja nyata (KKN). Namun, secara lebih luas, mereka melakukan perkuliahan dalam arti sesungguhnya di desa sembari mempraktikkan ilmunya.

Gagasan yang tengah digodok Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)dan Kementerian Desa (Kemendes) akan menjadi salah satu implementasi Program Kampus Merdeka. Bahkan, terobosan ini ditargetkan akan dilaksanakan mulai semester depan.

Rencana tersebut diungkapkan Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam. Menurut dia, salah satu alasan program tersebut dilaksanakan untuk memaksimalkan pemanfaatan dana desa.

“Mahasiswa dari 6 bulan bahkan hingga 1 tahun (di desa) itu diharapkan bisa mengawal pemanfaatan dana desa secara lebih efektif,” kata Nizam di Jakarta beberapa waktu lalu.

Guru Besar UGM ini memastikan selama belajar di desa itu mahasiswa tetap dibimbing oleh dosennya. Melalui program ini, manfaat bukan hanya diterima mahasiswa karena mendapat pengalaman dan menerapkan ilmunya langsung di lapangan.

Dosen juga berkesempatan bisa memberikan ilmu lebih konkret, misalnya terkait pengembangan ekonomi mikro dan kesehatan masyarakat ke warga desa. Adapun pihak warga di desa bisa mendapatkan intelektual muda yang bisa membangun desanya.

Nizam menandaskan, meski kuliah di luar kelas, bahkan di desa, mahasiswa pun tidak kehilangan SKS-nya sebab dia bisa mempelajari berbagai mata kuliah selama di lapangan. Misalnya mahasiswa ilmu sosial selama enam bulan di desa bisa mengembangkan program pembangunan pemberdayaan masyarakat desa.

Pasalnya, dalam program tersebut ada ilmu sosiologi, tipologi masyarakat, dan sosiologi pembangunan yang bisa dikemas selama praktik selama enam bulan di desa.

“Jadi, mata kuliah yang harus dia selesaikan di perguruan tinggi itu sekarang menyelesaikannya langsung di lapangan. Tetap dibimbing dosen, kompetensi mahasiswa tetap tercapai, tapi dia mendapatkan nilai plus karena langsung pengetahuannya diterapkan dan mendapat umpan balik,” jelasnya.

Dia optimistis program mahasiswa turun kuliah ke desa akan membawa manfaat dahsyat bagi pembangunan desa. Pertumbuhan desa akan tumbuh lebih cepat karena mahasiswa bisa meningkatkan pascapanen produksi, bumdes, pengembangan peternakan, hingga peningkatan kesehatan warga desa.

Kerja sama Kemendikbud dan Kemendes secara konkret dimulai saat Menteri Desa Abdul Halim Iskandar melakukan pertemuan tertutup dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim di Jakarta (22/1). Dalam pertemuan itu, Abdul Halim meminta Kemendikbud untuk mengganti tugas akhir mahasiswa atau skripsi dengan kerja praktik lapangan selama empat bulan atau KKN.

Gagasan ini sejalan dengan ide dari Kemendikbud yang akan meluncurkan Program Kampus Merdeka, yang memberikan pilihan kepada mahasiswa yakni selama tiga semester dan minimal dua semester untuk bisa mengambil program di luar kampus. Misalnya magang di NGO, kerja sama riset, atau magang kerja untuk mendampingi kepala desa.

Selama satu semester tetap dihitung 20 SKS, sehingga mahasiswa diperbolehkan memilih tetap kuliah atau mengganti kurikulum dengan cara praktik kerja di lapangan.

Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menyambut baik program kerja sama antara Kemendikbud dan Kemendes yang dinamakan Program Kampus Merdeka. Namun, kegiatan itu jangan dikemas seperti layaknya KKN seperti biasanya. “Jangan seperti KKN biasanya. Terlalu singkat dan kurang panduan (mentoring) dan fasilitasi. Tapi kalau enam bulan lebih terencana dan terstruktur,” kata Hetifah saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Dia juga menekankan agar para mahasiswa dan dosen di desa terpencil tersebut juga perlu diberikan fasilitas berupa transportasi dan tempat tinggal, sebab desa terpencil itu sering kali belum difasilitasi oleh transportasi umum. “Untuk tempat tinggal bisa homestay yang difasilitasi oleh masyarakat setempat,” imbuhnya.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengaku bahwa Kemendikbud sudah memaparkan soal program ini di hadapan Komisi X DPR. Namun, hal ini hanya sekilas sehingga dirinya belum tahu secara terperinci program tersebut. “Program ini sebaiknya tidak menyamaratakan semua jurusan perkuliahan, karena akan sulit jika semua jurusan diberikan program pengabdian desa terpencil seperti ini. Jadi, perlu diperhatikan keberagaman jurusan kuliahnya dan juga kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah yang juga berbeda,” pintanya.

Gantikan Skripsi?

Kerja sama Kemendikbud dan Kemendes salah satunya memunculkan gagasan KKN akan menggantikan tugas akhir skripsi. Komisi X DPR menyambut tugas akhir skripsi mahasiswa diganti dengan pengabdian ke desa tertinggal atau semacam KKN. Namun, konsep itu tidak bisa diterapkan di seluruh jurusan perkuliahan.

“Yang penting itu sebetulnya dalam pendidikan ini, pendidikan dasar maupun perguruan tinggi itu orientasinya jelas dulu. Kalau kita sepakat anak-anak untuk vokasi, saya kira ke perusahaan dan masyarakat, kerja nyata itu dibutuhkan. Karena memang mereka harus tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau oleh perusahaan karena orientasi kerja,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih.

Dia menuturkan, orientasi pendidikan ada tiga yakni vokasi, profesi, dan akademik. Untuk profesi dimungkinkan jika memang semua persyaratan akademik dipenuhi sehingga langsung direkomendasi lewat pengabdian masyarakat. Kalau akademik yang menggabungkan antara teori dan eksperimen di lapangan, menurut dia masih membutuhkan penulisan skripsi.

“Seperti teknik, tugas akhir menerapkan ilmunya kemudian nanti diwujudkan dalam sebuah laporan tulisan, ada aspek pengabdian masyarakat. Jadi, vokasi dan profesi saya setuju. Tapi kalau yang akademik, saya kira nggak bisa,” terangnya.

Mantan guru SMK ini lantas menandaskan, semua rencana Nadiem itu harus berpatok pada desain besar pendidikan. Dengan demikian, isunya tidak liar dan tidak terkesan ganti pemerintahan ganti kebijakan pendidikan atau ganti menteri ganti kurikulum. “Kan dia (Nadiem) sendiri mengatakan begitu. Cuma sudah menjadi pembicaraan semua orang begitu, itulah kenapa prestasi pendidikan Indonesia rendah, PISA rendah dan kalah dari Vietnam karena ada disorientasi kebijakan pendidikan,” tandasnya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto berpendapat, skripsi dan pengabdian di desa itu berbeda tujuan kompetensinya. Karena itu, ide mengganti skripsi dengan praktik lapangan sulit jalan karena keduanya berbeda tujuan pembelajarannya.
Karena itu, dia melihat yang mesti diperbaiki adalah tujuan kompetensi dari setiap kegiatan belajar di kampus. Pemerintah dapat membuka alternatif selain skripsi dan tugas akhir, misalnya pengabdian di desa tadi.

Dalam hal ini, mahasiswa harus diarahkan agar dapat mencapai tujuan kompetensi tersebut dengan membuktikan dirinya mampu berpikir ilmiah, mencari masalah, menjalani prosedur untuk menemukan solusi, menyusun narasi tertulis tentang hal itu, dan menyiapkan diri untuk diuji oleh para dosen di bidang keahliannya.

“Jadi, pengabdian di desa pengganti skripsi bukan dalam bentuk kegiatan acak di lapangan selama beberapa bulan, lalu selesai tanpa pertanggungjawaban ilmiah dan dianggap siap menjadi sarjana,” katanya. (Neneng Zubaidah/Kiswondari)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4295 seconds (0.1#10.140)