Pelestarian dan Pemanfaatan Cagar Budaya itu Sepaket
A
A
A
Fitra Arda,
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
PEMELIHARAAN cagar budaya di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya, ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Sampai saat ini, baru sekitar 30% pemerintah daerah yang punya tim ahli cagar budaya. “Kekayaan budaya itu sebetulnya menjadi modal dasar sebagai jati diri kebudayaan kita,” ungkap Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Fitra Arda di kantornya, Jumat pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya dengan Ade Nyong La Tayeb dari SINDO Weekly.
Bagaimana UU mengatur cagar budaya?
Peninggalan cagar budaya kita bagi menjadi lima jenis berdasarkan bentuknya, yaitu benda cagar budaya, struktur cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya. Namun, bagaimana kondisinya sekarang? Tugas kita adalah menetapkannya sebagaimana dimaksud dalam UU No. 11/ 2010 tentang Cagar Budaya. Penetapan ini dimulai dengan pendaftaran.
Siapa yang mendaftarkan?
Yang mendaftarkan adalah setiap orang/masyarakat (melapor ke kabupaten/kota), kabupaten/kota melaporkan ke provinsi, dan provinsi melaporkan ke kami (pemerintah). Setelah terdaftar, akan kami diverifikasi lagi, selanjutnya baru ditetapkan peringkatnya yang ditentukan oleh tim ahli cagar budaya. Nah, setelah ditetapkan itulah, baru kami bisa intervensi, apakah mau dipugar, dikembangkan, atau dimanfaatkan.
Apa kelemahan kita dalam menetapkan cagar budaya kita ini?
Lemahnya di pendataan. Kenapa dalam UU No. 11/2010 itu disebut kita membuat sistem registrasi nasional? Karena kita ingin tahu sebetulnya berapa sih jumlah kekayaan budaya kita, cagar budayanya ada berapa, baik yang prasejarah, sejarah Hindu-Budha, Islam, kolonial, maupun yang klasik ada berapa banyak.
Semuanya bisa terhitung melalui sistem pendataan tersebut. Dengan demikian, meski berpindah hak seperti dihibahkan atau pindah tangan dengan cara jual beli, kita tetap tahu lalu lintasnya karena sudah terdaftar. UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan juga membuat semakin besar peluang kita ke depan untuk memanfaatkan cagar budaya tersebut menjadi ruang publik untuk berbagai hal.
Apa langkah pemerintah dalam upaya perawatan cagar budaya?
Tentu banyak. Kalau kami temukan, tentu kami data, lalu kami tetapkan. Kalau sudah ditetapkan, kalau rusak, kami lakukan pemugaran ke dalam bentuk aslinya. Kalau terlihat baik, kami rawat melalui pemeliharaan dengan berbagai macam cara. Yang lebih penting lagi adalah cagar budaya harus bisa dimanfaatkan.
Kalau bisa dimanfaatkan, perlindungannya bisa lebih kuat. Pelestarian cagar budaya purbakala itu ada tiga aspek: perlindungannya, pengembangannya, dan penguatannya. Ini harus satu rangkaian, tak boleh dipisahkan.
Bisa dioptimalkan menjadi objek wisata?
Dengan keterbatasan SDM, anggaran, dan lain-lain, tentu kami pilih mana yang mempunyai potensi untuk diprioritaskan agar bisa dikembangkan lebih dulu. Informasinya kami angkat, bisa melalui film atau teknologi lain. Juga, yang tak kalah penting, kita harus membuat event agar orang tidak bosan berkunjung. Kalau sekadar datang lihat candi, mungkin orang satu kali datang sudah cukup. Namun, kalau digelar event-event, orang pasti akan banyak datang. Itu yang selama ini belum terangkat.
Upaya untuk mengedukasi masyarakat?
Tentu saja lewat sosialisasi. Sekarang salurannya banyak karena teknologi informasi berkembang pesat. Namun, yang lebih penting, menurut saya, memberikan contoh yang baik cara menjaga benda peninggalan tersebut. Kelemahan kita selama ini, setiap pelestarian kebudayaan, termasuk cagar budaya, kita tidak pernah melibatkan masyarakat.
Nah, sekarang kami coba melibatkan mereka melalui komunitas. Mereka ini nanti yang akan menghubungkan cagar budayanya dengan masyarakat. Selama ini selalu dari atas (pemerintah), sekarang dibalik. Masyarakat harus terlibat karena merekalah yang mempunyai kebudayaan itu.
Apa harapan pemerintah terhadap cagar budaya kita?
Harapannya adalah masyarakat bisa merasakan kehadiran cagar budaya itu. Kalau kehadirannya dirasakan, pastinya akan membawa manfaat bagi masyarakat sekitar. Jadi, langkah-langkah kami di pemerintahan salah satunya adalah melalui penetapan peringkat ini. Kelemahannya memang belum semua pemda punya TACB sehingga penetapan juga terlambat. Kalau dilihat banyak yang terbengkalai, karena kami juga tidak bisa melakukan apa-apa sebelum ditetapkan.
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
PEMELIHARAAN cagar budaya di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya, ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Sampai saat ini, baru sekitar 30% pemerintah daerah yang punya tim ahli cagar budaya. “Kekayaan budaya itu sebetulnya menjadi modal dasar sebagai jati diri kebudayaan kita,” ungkap Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Fitra Arda di kantornya, Jumat pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya dengan Ade Nyong La Tayeb dari SINDO Weekly.
Bagaimana UU mengatur cagar budaya?
Peninggalan cagar budaya kita bagi menjadi lima jenis berdasarkan bentuknya, yaitu benda cagar budaya, struktur cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya. Namun, bagaimana kondisinya sekarang? Tugas kita adalah menetapkannya sebagaimana dimaksud dalam UU No. 11/ 2010 tentang Cagar Budaya. Penetapan ini dimulai dengan pendaftaran.
Siapa yang mendaftarkan?
Yang mendaftarkan adalah setiap orang/masyarakat (melapor ke kabupaten/kota), kabupaten/kota melaporkan ke provinsi, dan provinsi melaporkan ke kami (pemerintah). Setelah terdaftar, akan kami diverifikasi lagi, selanjutnya baru ditetapkan peringkatnya yang ditentukan oleh tim ahli cagar budaya. Nah, setelah ditetapkan itulah, baru kami bisa intervensi, apakah mau dipugar, dikembangkan, atau dimanfaatkan.
Apa kelemahan kita dalam menetapkan cagar budaya kita ini?
Lemahnya di pendataan. Kenapa dalam UU No. 11/2010 itu disebut kita membuat sistem registrasi nasional? Karena kita ingin tahu sebetulnya berapa sih jumlah kekayaan budaya kita, cagar budayanya ada berapa, baik yang prasejarah, sejarah Hindu-Budha, Islam, kolonial, maupun yang klasik ada berapa banyak.
Semuanya bisa terhitung melalui sistem pendataan tersebut. Dengan demikian, meski berpindah hak seperti dihibahkan atau pindah tangan dengan cara jual beli, kita tetap tahu lalu lintasnya karena sudah terdaftar. UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan juga membuat semakin besar peluang kita ke depan untuk memanfaatkan cagar budaya tersebut menjadi ruang publik untuk berbagai hal.
Apa langkah pemerintah dalam upaya perawatan cagar budaya?
Tentu banyak. Kalau kami temukan, tentu kami data, lalu kami tetapkan. Kalau sudah ditetapkan, kalau rusak, kami lakukan pemugaran ke dalam bentuk aslinya. Kalau terlihat baik, kami rawat melalui pemeliharaan dengan berbagai macam cara. Yang lebih penting lagi adalah cagar budaya harus bisa dimanfaatkan.
Kalau bisa dimanfaatkan, perlindungannya bisa lebih kuat. Pelestarian cagar budaya purbakala itu ada tiga aspek: perlindungannya, pengembangannya, dan penguatannya. Ini harus satu rangkaian, tak boleh dipisahkan.
Bisa dioptimalkan menjadi objek wisata?
Dengan keterbatasan SDM, anggaran, dan lain-lain, tentu kami pilih mana yang mempunyai potensi untuk diprioritaskan agar bisa dikembangkan lebih dulu. Informasinya kami angkat, bisa melalui film atau teknologi lain. Juga, yang tak kalah penting, kita harus membuat event agar orang tidak bosan berkunjung. Kalau sekadar datang lihat candi, mungkin orang satu kali datang sudah cukup. Namun, kalau digelar event-event, orang pasti akan banyak datang. Itu yang selama ini belum terangkat.
Upaya untuk mengedukasi masyarakat?
Tentu saja lewat sosialisasi. Sekarang salurannya banyak karena teknologi informasi berkembang pesat. Namun, yang lebih penting, menurut saya, memberikan contoh yang baik cara menjaga benda peninggalan tersebut. Kelemahan kita selama ini, setiap pelestarian kebudayaan, termasuk cagar budaya, kita tidak pernah melibatkan masyarakat.
Nah, sekarang kami coba melibatkan mereka melalui komunitas. Mereka ini nanti yang akan menghubungkan cagar budayanya dengan masyarakat. Selama ini selalu dari atas (pemerintah), sekarang dibalik. Masyarakat harus terlibat karena merekalah yang mempunyai kebudayaan itu.
Apa harapan pemerintah terhadap cagar budaya kita?
Harapannya adalah masyarakat bisa merasakan kehadiran cagar budaya itu. Kalau kehadirannya dirasakan, pastinya akan membawa manfaat bagi masyarakat sekitar. Jadi, langkah-langkah kami di pemerintahan salah satunya adalah melalui penetapan peringkat ini. Kelemahannya memang belum semua pemda punya TACB sehingga penetapan juga terlambat. Kalau dilihat banyak yang terbengkalai, karena kami juga tidak bisa melakukan apa-apa sebelum ditetapkan.
(ysw)