Jangan Monopoli Sistem SPP Digital, Perlu Ada Regulasi
A
A
A
JAKARTA - Tren pembayaran SPP atau uang kuliah dengan cara digital menjadi langkah positif dalam upaya meningkatkan kemudahan akses pendidikan di Indonesia. Namun, inovasi ini harus diikuti regulasi yang tepat agar prinsip keadilan dan kesetaraan bisa terwujud.
Keadilan menjadi hal penting karena pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) kini menjadi rebutan bagi perusahaan-perusahaan penyedia layanan aplikasi. Saat ini ada ratusan ribu lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, di Indonesia yang menjadi ceruk potensial pasar mereka.
Ada sejumlah layanan aplikasi yang menyediakan platform pembayaran digital untuk biaya pendidikan, di antaranya GoPay, OVO, LinkAja, dan Dana. Kehadiran regulasi menjadi sebuah keniscayaan untuk menghindari persaingan yang tidak sehat.
Regulasi ini juga mengatur sejauh mana model pembayaran SPP digital disesuaikan dengan keterjangkauan infrastruktur di tiap wilayah. Sebab dengan kondisi geografis Indonesia yang begitu luas, penerapan sistem SPP digital tidak serta-merta mudah dilaksanakan secara menyeluruh.Untuk itu, agar pendidikan bisa benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat sebagaimana amanat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka digitalisasi pembayaran SPP tidak boleh tebang pilih, namun tetap mempertimbangkan kesiapan kondisi di lapangan.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, perlu segera ada regulasi yang mengatur mengenai cara pembayaran dengan jalur daring ini. Mengingat model pembayaran digital menyasar untuk pendidikan di semua jenjang. Huda mengusulkan regulasi tersebut minimal dalam bentuk peraturan menteri (permen). ”Regulasi diperlukan untuk meminimalkan kepentingan bisnis daripada kepentingan pendidikan,” ujarnya. (Baca: Meme Jadi Kenyataan, Bayar SPP Kini Bisa Pakai GoPay)
Cara bayar SPP dengan pakai GoPay lewat fitur GoBills yang digagas perusahaan Gojek Group, misalnya, merupakan sebuah terobosan positif karena melahirkan kemudahan dan kecepatan. Kendati begitu, Huda menilai masih perlu dilakukan kajian secara komprehensif agar sistem ini benar-benar bisa diterima semua kalangan. Cara pembayaran ini tidak boleh diberlakukan secara wajib karena infrastruktur teknologi informasi (TI) di setiap daerah berbeda. Demikian pula penguasaan TI oleh wali murid di tiap daerah juga tidak merata. ”Cara pembayaran ini jangan sampai mengakibatkan tidak adanya ruang komunikasi atau terjadinya gap antara pihak sekolah dan wali murid, khususnya ketika peserta didik atau wali murid belum mampu membayar,” katanya.
Sejumlah sekolah atau madrasah diketahui telah menerapkan model pembayaran SPP secara digital sejak beberapa tahun lalu. Seperti dilakukan pengelola Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Akhlaqiyah, Ngaliyan, Kota Semarang. Kepala MI Miftahul Akhlaqiyah Miftahul Arief menjelaskan bahwa opsi tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, terutama dalam hal pembayaran bagi para orang tua yang hendak mendaftarkan anaknya masuk madrasah. "Kita menyesuaikan era, karena mindset orang tua sekarang adalah serbacepat dan instan, ojek saja bisa bayar online kenapa pendidikan tidak?" ucap Arief kemarin.
Dengan cara tersebut calon orang tua siswa tak harus datang ke madrasah untuk sekadar membayar biaya pendaftaran sehingga ini bisa memudahkan calon wali murid yang sibuk. Selain GoPay, pihaknya juga menerima beberapa opsi pembayaran uang elektronik lain seperti lewat OVO, Linkaja, dan Dana. Di samping itu, juga ada pembayaran dengan transfer bank. Beberapa opsi ini dikembangkan untuk pembayaran SPP siswa.
Sejumlah kampus seperti Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) juga sudah menerapkan pembayaran SPP digital. Kerja sama pembayaran biaya kuliah tahun 2020/2021 dilakukan dengan aplikasi OVO. "Hanya dengan sedikit klik lalu bayar menggunakan saldo OVO ataupun metode lain, kewajiban mahasiswa bisa tuntas dengan sangat cepat," ungkap Rektor UNY Sutrisna Wibawa.
Menurut Sutrisna, para mahasiswa dalam masa tertentu juga bisa memperoleh cashback atau diskon pengembalian uang melalui sistem ini. “Jadi kampus tetap mendapatkan pembayaran full, namun ada subsidi dari pihak penyedia aplikasi yang dapat meringankan mahasiswa dalam waktu promo tertentu,” ujarnya.
Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengatakan, sebagai bagian dari ekonomi digital Indonesia, OVO terus berinovasi dan meningkatkan kualitas layanan yang ditawarkan. Dengan strategi ekosistem terbuka, OVO memiliki keleluasaan untuk bekerja sama dengan berbagai mitra strategis di berbagai industri, termasuk meningkatkan kemitraan di sektor edukasi/pendidikan yang merupakan salah satu fokus utama Pemerintah Indonesia. Saat ini OVO sudah bekerja sama dengan beberapa universitas, di antaranya Universitas Katolik Widya Mandala, Ubaya, dan UNS, untuk pembayaran buku, modul kuliah, kantin, koperasi, bazar mahasiswa, hingga pembayaran wisuda. “Ini diharapkan dapat meningkatkan adopsi transaksi nontunai di kalangan pelajar," ujar Karaniya.
Senior Vice President Sales GoPay Arno Tse mengungkapkan, sejak diluncurkan pada 2017 fitur GoBills banyak diminati masyarakat. Saat ini ada sekitar 180 lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah, sekolah, dan tempat kursus di Indonesia yang telah terdaftar di GoBills. ”Layanan terbaru ini membebaskan orang tua dan wali murid untuk membayar pendidikan anak di mana saja dan kapan saja tanpa harus hadir ke sekolah," katanya. (Baca juga: Arif Rahman NIlai Wajar Bayar Sekolah Pakai Dompet Digital)
Chief Marketing Officer LinkAja Edward K Suwignjo juga mengatakan perusahaannya tidak ingin ketinggalan dan siap ambil bagian dalam merebut ceruk ini. Saat ini pihaknya dalam tahap pengembangan platform. Salah satu solusinya adalah penambahan menu di layanan pembayaran LinkAja. Berikutnya pihaknya akan melakukan integrasi bersama para mitra. "Sesegera mungkin kami akan sediakan. Saat ini belum, masih di tahap pengembangan," ujar Edward hari ini di Jakarta.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Wahyudi
Kumorotomo mengungkapkan, kebijakan pembayaran SPP dengan sistem berbasis teknologi finansial (fintech) dan keuangan digital sebenarnya sangat bagus. Hal ini lantaran sistem tersebut akan memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi peserta didik. Selain itu, dengan sistem pembayaran digital, akan meningkatkan kemudahan dalam pendanaan, termasuk melalui crowd funding. "Kebijakan ini sangat bagus meskipun ada kelemahannya, termasuk konflik kepentingan," urainya.
Menurut Wahyudi, sistem keamanan dari fintech ini juga mampu menjamin kerahasiaan data pribadi. Kelemahan selanjutnya adalah kesenjangan digital yang membuat sistem ini kurang adil. Banyak peserta didik di pinggiran yang tidak akan bisa memperoleh manfaat dari sistem digital ini.
Pengamat digital startup, e-commerce, dan fintech dari Sharing Vision Nur Javad Islami mengatakan, sebenarnya pembayaran SPP daring sudah mulai muncul dari tahun lalu. Tapi karena aplikasi itu tidak banyak dikenal, jadi kurang begitu viral. Dari sisi infrastruktur mereka belum begitu siap.
Menurut dia, kesiapan Gojek menjadi aplikasi penerima pembayaran SPP, menunjukkan secara infrastruktur mereka telah siap. Pada 2019 misalnya, mereka mampu melakukan 350 juta transaksi per detik. Saat ini, bisa jadi volume transaksinya lebih besar lagi. "Nah sementara bayar SPP ini sifatnya bulanan. Jadi mungkin jauh lebih rendah dari transaksi itu. Jadi secara infrastruktur, saya kira mungkin mereka sudah sangat siap," katanya.
Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana mengatakan, inovasi pihak swasta saat ini tidak terelakan untuk berkreasi dalam mengembangkan usaha. Menurutnya, berbagai inovasi teknologi yang terjadi merupakan hal penting untuk terus meningkatkan kemudahan bagi masyarakat. Termasuk di dunia pendidikan, dan dalam berbagai bentuk pembiayaan. “Termasuk hal ini terkait pembayaran SPP,” katanya.
Dosen Universitas Indonesia ini menjelaskan, Kemendikbud mendukung lahirnya inovasi ini. Menurut dia, tidak tertutup bagi pihak swasta manapun untuk dapat bekerja sama dengan pemerintah. “Selama berada di koridor hukum yang tepat dan dapat memperkuat pelayanan kepada masyarakat yang diberikan, silakan saja,” ujarnya. (Ahmad Antoni/Suharjono/Arif Budianto/Priyo Setyawan/Hafid Fuad/Neneng Zubaidah/Abdul Rochim)
Keadilan menjadi hal penting karena pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) kini menjadi rebutan bagi perusahaan-perusahaan penyedia layanan aplikasi. Saat ini ada ratusan ribu lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, di Indonesia yang menjadi ceruk potensial pasar mereka.
Ada sejumlah layanan aplikasi yang menyediakan platform pembayaran digital untuk biaya pendidikan, di antaranya GoPay, OVO, LinkAja, dan Dana. Kehadiran regulasi menjadi sebuah keniscayaan untuk menghindari persaingan yang tidak sehat.
Regulasi ini juga mengatur sejauh mana model pembayaran SPP digital disesuaikan dengan keterjangkauan infrastruktur di tiap wilayah. Sebab dengan kondisi geografis Indonesia yang begitu luas, penerapan sistem SPP digital tidak serta-merta mudah dilaksanakan secara menyeluruh.Untuk itu, agar pendidikan bisa benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat sebagaimana amanat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka digitalisasi pembayaran SPP tidak boleh tebang pilih, namun tetap mempertimbangkan kesiapan kondisi di lapangan.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, perlu segera ada regulasi yang mengatur mengenai cara pembayaran dengan jalur daring ini. Mengingat model pembayaran digital menyasar untuk pendidikan di semua jenjang. Huda mengusulkan regulasi tersebut minimal dalam bentuk peraturan menteri (permen). ”Regulasi diperlukan untuk meminimalkan kepentingan bisnis daripada kepentingan pendidikan,” ujarnya. (Baca: Meme Jadi Kenyataan, Bayar SPP Kini Bisa Pakai GoPay)
Cara bayar SPP dengan pakai GoPay lewat fitur GoBills yang digagas perusahaan Gojek Group, misalnya, merupakan sebuah terobosan positif karena melahirkan kemudahan dan kecepatan. Kendati begitu, Huda menilai masih perlu dilakukan kajian secara komprehensif agar sistem ini benar-benar bisa diterima semua kalangan. Cara pembayaran ini tidak boleh diberlakukan secara wajib karena infrastruktur teknologi informasi (TI) di setiap daerah berbeda. Demikian pula penguasaan TI oleh wali murid di tiap daerah juga tidak merata. ”Cara pembayaran ini jangan sampai mengakibatkan tidak adanya ruang komunikasi atau terjadinya gap antara pihak sekolah dan wali murid, khususnya ketika peserta didik atau wali murid belum mampu membayar,” katanya.
Sejumlah sekolah atau madrasah diketahui telah menerapkan model pembayaran SPP secara digital sejak beberapa tahun lalu. Seperti dilakukan pengelola Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Akhlaqiyah, Ngaliyan, Kota Semarang. Kepala MI Miftahul Akhlaqiyah Miftahul Arief menjelaskan bahwa opsi tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, terutama dalam hal pembayaran bagi para orang tua yang hendak mendaftarkan anaknya masuk madrasah. "Kita menyesuaikan era, karena mindset orang tua sekarang adalah serbacepat dan instan, ojek saja bisa bayar online kenapa pendidikan tidak?" ucap Arief kemarin.
Dengan cara tersebut calon orang tua siswa tak harus datang ke madrasah untuk sekadar membayar biaya pendaftaran sehingga ini bisa memudahkan calon wali murid yang sibuk. Selain GoPay, pihaknya juga menerima beberapa opsi pembayaran uang elektronik lain seperti lewat OVO, Linkaja, dan Dana. Di samping itu, juga ada pembayaran dengan transfer bank. Beberapa opsi ini dikembangkan untuk pembayaran SPP siswa.
Sejumlah kampus seperti Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) juga sudah menerapkan pembayaran SPP digital. Kerja sama pembayaran biaya kuliah tahun 2020/2021 dilakukan dengan aplikasi OVO. "Hanya dengan sedikit klik lalu bayar menggunakan saldo OVO ataupun metode lain, kewajiban mahasiswa bisa tuntas dengan sangat cepat," ungkap Rektor UNY Sutrisna Wibawa.
Menurut Sutrisna, para mahasiswa dalam masa tertentu juga bisa memperoleh cashback atau diskon pengembalian uang melalui sistem ini. “Jadi kampus tetap mendapatkan pembayaran full, namun ada subsidi dari pihak penyedia aplikasi yang dapat meringankan mahasiswa dalam waktu promo tertentu,” ujarnya.
Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengatakan, sebagai bagian dari ekonomi digital Indonesia, OVO terus berinovasi dan meningkatkan kualitas layanan yang ditawarkan. Dengan strategi ekosistem terbuka, OVO memiliki keleluasaan untuk bekerja sama dengan berbagai mitra strategis di berbagai industri, termasuk meningkatkan kemitraan di sektor edukasi/pendidikan yang merupakan salah satu fokus utama Pemerintah Indonesia. Saat ini OVO sudah bekerja sama dengan beberapa universitas, di antaranya Universitas Katolik Widya Mandala, Ubaya, dan UNS, untuk pembayaran buku, modul kuliah, kantin, koperasi, bazar mahasiswa, hingga pembayaran wisuda. “Ini diharapkan dapat meningkatkan adopsi transaksi nontunai di kalangan pelajar," ujar Karaniya.
Senior Vice President Sales GoPay Arno Tse mengungkapkan, sejak diluncurkan pada 2017 fitur GoBills banyak diminati masyarakat. Saat ini ada sekitar 180 lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah, sekolah, dan tempat kursus di Indonesia yang telah terdaftar di GoBills. ”Layanan terbaru ini membebaskan orang tua dan wali murid untuk membayar pendidikan anak di mana saja dan kapan saja tanpa harus hadir ke sekolah," katanya. (Baca juga: Arif Rahman NIlai Wajar Bayar Sekolah Pakai Dompet Digital)
Chief Marketing Officer LinkAja Edward K Suwignjo juga mengatakan perusahaannya tidak ingin ketinggalan dan siap ambil bagian dalam merebut ceruk ini. Saat ini pihaknya dalam tahap pengembangan platform. Salah satu solusinya adalah penambahan menu di layanan pembayaran LinkAja. Berikutnya pihaknya akan melakukan integrasi bersama para mitra. "Sesegera mungkin kami akan sediakan. Saat ini belum, masih di tahap pengembangan," ujar Edward hari ini di Jakarta.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Wahyudi
Kumorotomo mengungkapkan, kebijakan pembayaran SPP dengan sistem berbasis teknologi finansial (fintech) dan keuangan digital sebenarnya sangat bagus. Hal ini lantaran sistem tersebut akan memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi peserta didik. Selain itu, dengan sistem pembayaran digital, akan meningkatkan kemudahan dalam pendanaan, termasuk melalui crowd funding. "Kebijakan ini sangat bagus meskipun ada kelemahannya, termasuk konflik kepentingan," urainya.
Menurut Wahyudi, sistem keamanan dari fintech ini juga mampu menjamin kerahasiaan data pribadi. Kelemahan selanjutnya adalah kesenjangan digital yang membuat sistem ini kurang adil. Banyak peserta didik di pinggiran yang tidak akan bisa memperoleh manfaat dari sistem digital ini.
Pengamat digital startup, e-commerce, dan fintech dari Sharing Vision Nur Javad Islami mengatakan, sebenarnya pembayaran SPP daring sudah mulai muncul dari tahun lalu. Tapi karena aplikasi itu tidak banyak dikenal, jadi kurang begitu viral. Dari sisi infrastruktur mereka belum begitu siap.
Menurut dia, kesiapan Gojek menjadi aplikasi penerima pembayaran SPP, menunjukkan secara infrastruktur mereka telah siap. Pada 2019 misalnya, mereka mampu melakukan 350 juta transaksi per detik. Saat ini, bisa jadi volume transaksinya lebih besar lagi. "Nah sementara bayar SPP ini sifatnya bulanan. Jadi mungkin jauh lebih rendah dari transaksi itu. Jadi secara infrastruktur, saya kira mungkin mereka sudah sangat siap," katanya.
Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana mengatakan, inovasi pihak swasta saat ini tidak terelakan untuk berkreasi dalam mengembangkan usaha. Menurutnya, berbagai inovasi teknologi yang terjadi merupakan hal penting untuk terus meningkatkan kemudahan bagi masyarakat. Termasuk di dunia pendidikan, dan dalam berbagai bentuk pembiayaan. “Termasuk hal ini terkait pembayaran SPP,” katanya.
Dosen Universitas Indonesia ini menjelaskan, Kemendikbud mendukung lahirnya inovasi ini. Menurut dia, tidak tertutup bagi pihak swasta manapun untuk dapat bekerja sama dengan pemerintah. “Selama berada di koridor hukum yang tepat dan dapat memperkuat pelayanan kepada masyarakat yang diberikan, silakan saja,” ujarnya. (Ahmad Antoni/Suharjono/Arif Budianto/Priyo Setyawan/Hafid Fuad/Neneng Zubaidah/Abdul Rochim)
(ysw)