9 Poin Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja Versi KSPI

Senin, 17 Februari 2020 - 09:12 WIB
9 Poin Kontroversial...
9 Poin Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja Versi KSPI
A A A
JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkap sembilan poin kontroversial dalam draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Maka itu, KSPI menolak draf Omnibus Law Cipta Kerja yang telah diserahkan pemerintahan ke DPR, pekan lalu.

Berikut ini sembilan poin kontroversial tersebut:
1. Hilangnya Upah Minimum
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, hal tersebut terlihat dengan munculnya pasal yang menyebutkan bahwa upah didasarkan per satuan waktu. Dia mengatakan, ketentuan itu membuka ruang adanya upah per jam. Ketika upah dibayarkan per jam, lanjut dia, otomatis upah minimum akan hilang.

Selain itu, kata dia, dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Dengan demikian, lanjut dia, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus.

Padahal, kata dia, UMP tidak dibutuhkan dan tidak ada daerah di seluruh wilayah Indonesia pengusahanya membayar pakai UMP, tetapi mereka membayar upah minimum buruh dengan menggunakan UMK atau UMSK, kecuali di DKI Jakarta dan Yogjakarta. "Dengan kata lain, berarti RUU ini menghilangkan upah minimum," ujarnya.

Dia pun memberikan contoh Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan UMP 2020 sebesar Rp1,81 juta. Angka itu, kata dia, jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMK di sejumlah kabupaten/kota lain di Jawa Barat.

Misalnya, UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, di Kota Bekasi Rp 4.589.708, sementara di Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 4.498.961. "Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah pekerja di Karawang yang saat ini 4,5 juta bisa turun menjadi hanya 1,81 juta," kata Iqbal. (Baca Juga: Terima Surpres Omnibus Law Cipta Kerja, Puan: Singkatannya Cipker, Bukan Cilaka).

Tidak hanya itu, kata Iqbal, kenaikan upah minimum hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi. Padahal sebelumnya, ujar dia, kenaikan upah minimum didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflansi nasional.

Karena itu, Iqbal mengatakan, jika RUU ini disahkan, maka diberlakukan kembali kebijakan upah murah dan buruh akan semakin miskin. "Serta KHL berdasarkan survei pasar akan hilang berarti tidak bisa lagi dihitung kebutuhan riil minimum seorang buruh berapa?" tuturnya.

Dia mengatakan, RUU Cipta Kerja memuat ketentuan upah minimum padat karya. Artinya, kata dia, akan ada upah di bawah upah minimum. Padahal, ujar Iqbal, fungsi upah minimum sendiri merupakan jaring pengaman, tidak boleh ada upah yang nilainya di bawah upah minimum.

Menurut dia, Negara bertindak otoriter dalam menetapkan upah minimum. Karena, kata dia, dalam RUU Cipta Kerja, gubernur diancam akan dijatuhi sanksi kalau tidak menetapkan upah minimum sesuai dengan undang-undang ini. "Ini jelas melanggar Konvensi ILO, yang menyebut penentuan upah minimum harus dirundingkan dalam Dewan Pengupahan," tuturnya.

Dia melanjutkan, Upah minimum semakin tidak lagi berarti, karena sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum dihilangkan. Dia membeberkan, dalam Undang-undang 13/2003, jika membayar upah di bawah upah minimum, pengusaha bisa dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak 400 juta.

"Karena tidak ada sanksi pidana, pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh semurah-murahnya, jadi RUU ini dengan sangat jelas telah menghilangkan makna upah minimum sebagai jaring pengaman safety net agar buruh tidak absolut miskin. Negara telah lalai dan gagal melindungi buruh dan rakyat kecil," ujarnya.

Kemudian, dia mengatakan, RUU Cipta Kerja juga mengatur UMKM boleh membayar upah di bawah upah minimum. "Dengan demikian, siapa yang akan memberikan perlindungan terhadap pekerja di UMKM? Bagaimanapun, perusahaan UMKM akan seenak-enaknya membayar upah buruh," ungkapnya.

Belum lagi, kata dia, pekerja yang tidak masuk bekerja karena sakit, perempuan yang haid, menikah dan menikahkan anak, menjankan tugas negara, hingga menjalankan tugas serikat pekerja upahnya tidak dibayar. Padahal, kata dia, dalam UU 13/2003 pekerja yang tidak masuk kerja karena hal tersebut di atas upahnya tetap dibayar.

Selain itu, kata dia, tidak ada denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah. Padahal dalam UU 13/2003, pengusaha yang terlambat membayar upah bisa dikenakan denda keterlambatan. "Dampaknya, pengusaha akan semena-mena dalam membayar upah kepada buruh," imbuhnya.

2. Hilangnya Pesangon"Siapa bilang di RUU Cipta Kerja pesangon tidak hilang? Kalau kita baca secara keseluruhan dari RUU ini, pesangon akan hilang," ujarnya.

Hal tersebut, kata dia, karena penggunaan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak seumur hidup dibebaskan sebebas-bebasnya. Dia mengatakan, outsourcing dan kontrak tidak mendapatkan pesangon. "Dengan sendirinya, pesangon akan hilang," ungkapnya.

Dia menambahkan, selama ini yang dimaksud pesangon ada tiga komponen. Pertama, uang pesangon itu sendiri. Kedua, penghargaan masa kerja, dan yang ketiga penggantian hak. "Dalam RUU Cipta Kerja, uang penggantian hak dihilangkan. Sedangkan uang penghargaan masa kerja dari maksimal 10 bulan hanya menjadi 8 bulan," bebernya.

Selain itu, kata dia, ketentuan pesangon dalam Pasal 161 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, lanjut Iqbal, pekerja yang di PHK karena mendapatkan Surat Peringatan Ketiga tidak lagi mendapatkan pesangon. "Ketentuan pesangon dalam Pasal 162 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapatkan apa-apa," ujarnya.

Dampak lain dari dihapusnya ketentuan pesangon itu adalah pekerja yang di-PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan tidak lagi mendapatkan pesangon.

Di samping itu, pekerja yang di-PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), tidak lagi mendapatkan pesangon. Lalu, pekerja yang di-PHK karena perusahaan pailit tidak lagi mendapatkan pesangon.

Selain itu, pekerja yang meninggal dunia, kepada ahli warisnya tidak lagi diberikan sejumlah uang sebagai pesangon. Selanjutnya, pekerja yang di-PHK karena memasuki usia pensiun tidak lagi mendapatkan pesangon.

"Ketentuan pesangon dalam Pasal 172 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di-PHK karena mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja ketika di-PHK tidak lagi mendapatkan pesagon. Dari penjelasan di atas maka pesangon hilang," ungkapnya. (Baca Juga: Airlangga Pastikan Omnibus Law Ciptaker Memuat Mekanisme Pesangon).

3. PHK Sangat Mudah Dilakukan

Iqbal mengatakan, dalam UU 13/2003 diatur, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. "Tetapi alam RUU Cipta Kerja, ketentuan yang mengatur segala upaya agar tidak terjadi PHK ini dihilangkan," ujarnya.

Dampaknya, lanjut dia, PHK semakin mudah dilakukan. Dia mengungkapkan jika dalam UU 13/2003 jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa izin hanya mencakup 4 jenis, dalam RUU Cipta Kerja terdiri dari 8 jenis. "Celakanya, PHK tanpa izin bisa dilakukan karena perusahaan melakukan efisiensi. Dengan alasan melakukan efisiensi, pekerja bisa dengan mudah di PHK," imbuhnya.

Selain itu, kata dia, tidak ada lagi perundingan PHK dengan serikat pekerja. Dalam UU 13/2003, ketika PHK tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. "Tetapi ketentuan ini dihilangkan. Artinya, peran serikat pekerja dalam membela buruh agar tidak di PHK dihilangkan," imbuhnya.

4. Karyawan Kontrak Seumur Hidup
Iqbal mengatakan, RUU Cipta Kerja membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan. Bahkan bisa saja, kata dia, buruh dikontrak seumur hidup. Karena, lanjut dia, kontrak kerja hanya didasarkan pada kesepakatan pengusaha dan buruh.

Padahal, sebelumnya kerja kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali maksimal satu tahun.

"Selain itu, RUU Cipta Kerja menghilangkan pasal yang mengatakan bahwa perjanjian kontrak yang dilakukan tidak secara tertulis demi hukum menjadi pekerja tetap," ujarnya.

Dia melanjutkan, Pasal 59 UU 13/2003 juga dihapus. Padahal, kata dia, dalam pasal itu diatur syarat kerja kontrak, batasan waktu agar tidak mudah di-PHK. dan menghindarkan buruh dari eksploitasi yang terus-menerus.

"Dengan hilangnya pasal ini, bisa dipastikan tidak ada lagi pengangkatan pekerja tetap. Dampak yang lain, otomatis pesangon hilang. Karena pekerja kontrak tidak perlu diberikan pesangon jika dipecat oleh perusahaan," imbuhnya.

5. Outsourcing Seumur Hidup
Di dalam RUU Cipta Kerja, kata dia, outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batas waktu. Dengan demikian, buruh bisa saja di-outsourcing seumur hidup. Padahal dalam UU 13/2003, outsourcing hanya dibatasi untuk 5 (lima) jenis pekerjaan yang bukan core bisnis. "Dengan ketentuan ini, bisa dipastikan perbudakan modern akan terjadi di mana-mana," ungkapnya.

Karena, kata dia, perusahaan akan berbondong-bondong mempekerjakan buruh outsourcing untuk menghindari tuntutan dari pekerja. Semua jenis pekerjaan bisa mempekerjakan buruh outsourcing tanpa melihat pekerjaan inti (core) atau tidak core. Sebelumnya, buruh outsourcing hanya boleh digunakan hanya untuk pekerjaan bukan core/inti dengan batas waktu tertentu.

Pekerja outsourcing tidak mendapatkan pesangon. Bahkan bisa dibayar per jam (satuan waktu) yang mengakibatkan upah yang diterima di bawah upah minimum. Dampak yang lain, outsourcing tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akibat hanya dipekerjakan beberapa jam.

6. Jam Kerja yang Eksploitatif
Dia mengatakan, di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja adalah 40 jam seminggu. Hal tersebut, kata dia, menyebabkan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja. "Lalu buat apa ada negara kalau tidak melindungi rakyatnya,. Ini tak ubahnya seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif," ujarnya.

Karena, kata dia, bisa saja pengusaha memerintahkan buruh bekerja 12 jam sehari selama empat hari kerja tanpa dibayar upah lembur, seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif. "Berarti tidak ada perlindungan negara terhadap rakyat dan buruh Indonesia. Dengan RUU Cipta Kerja ini akan terjadi situasi waktu/jam kerja yang eksploitatif, upah murah, outsourcing dan karyawan kontrak seumur hidup, serta mudah di-PHK tanpa pesangon," imbuhnya.

Selain itu, kata dia, lembur bisa dilakukan lebih lama. Jika dalam UU 13/2003 hanya boleh maksimal 14 jam, dalam RUU Cipta Kerja menjadi 18 jam. Akibatnya buruh akan kelelahan dan rentan terjadi kecelakaan kerja.

Bahkan, hari libur yang biasanya dua hari dalam seminggu, dalam RUU Cipta Kerja dibuat hanya satu hari. Dia mengatakan, hal lain yang menyakitkan bagi buruh, cuti besar atau istirahat panjang selama 2 bulan bagi kelipatan masa kerja 6 tahun dihilangkan. "RUU Cipta Kerja benar-benar membuat kaum buruh tertindas. Seolah olah negara ini hanya melindungi kepentingan pengusaha saja atas nama investasi. Apakah negara ini hanya milik pemilik modal?" kata Iqbal. (Baca Juga: Omnibus Law Cipta Kerja, Pengusaha Tetap Perhatikan Perlindungan Buruh).

7. TKA Buruh Kasar Unskill Worker Berpotensi Bebas Masuk ke Indonesia
Dia menuturkan, hal tersebut terlihat dari dihapuskannya izin tertulis dari Menteri bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang hendak bekerja di Indonesia. Selain itu, kata dia, TKA untuk start-up dan lembaga pendidikan dibebaskan, bahkan tanpa perlu membuat rencana penggunaan TKA. Tidak adanya izin, menyebabkan TKA buruh kasar bisa masuk ke Indonesia dengan mudah tanpa terdeteksi.

Kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia hilang. Dengan demikian, TKA tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia. Dampaknya, transfer of job dan transfer of knowledge sulit untuk dilakukan.

Jika dalam UU 13/2003 setiap TKA berkewajiban melakukan pendidikan dan pelatihan dalam rangka transfer of job dan knowledge terkecuali untuk direksi dan komisaris, dalam RUU Cipta Kerja pengecualian juga berlaku bagi TKA dengan jabatan tertentu. Hal ini menjadi pintu masuk bagi TKA buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan untuk masuk ke Indonesia.

Jika sebelumnya TKA dilarang untuk jabatan tertentu, dalam RUU Cipta Kerja jabatan tertentu untuk lembaga pendidikan dihilangkan. Ini artinya, sektor dan dosen asing bebas masuk. Bahkan tenaga administrasi di lembaga pendidikan bisa diisi TKA.

8. Hilangnya Jaminan Sosial
Dia menjelaskan, akibat penggunaan buruh kontrak, outsourcing, dan upah dibayarkan per satuan waktu (upah per jam), maka jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akan hilang.

9. Sanksi Pidana Hilang
Dia mengatakan, dalam UU 13/2003, pengusaha yang tidak memberikan kepada pekerja/buruh yang memasuki usia pensiun, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling 5 tahun dan/atau dengan paling sedikit 100 juta dan paling banyak 500 juta. "Dalam RUU Cipta Kerja sanksi pidana ini dihilangkan," ujarnya.

Dalam UU 13/2003, pengusaha yang melanggar ketentuan berikut ini: (a) mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, (b) membayar upah lebih rendah dari upah minimum, (c) kewajiban untuk membayar pesangon kepada buruh yang di PHK; dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta. "Dalam RUU Cipta Kerja sanksi pidana untuk pelanggaran hal-hal tersebut di atas dihilangkan," imbuhnya.

Dalam UU 13/2003, pengusaha yang melanggar ketentuan berikut ini: (a) lembaga penempatan tenaga kerja swasta dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, (b) pemberi kerja TKA wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku, (c) pemberi kerja TKA wajib menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, (d) kewajiban pengusaha terhadap pekerja perempuan yang dipekerjakan di malam hari; dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit 10 juta dan paling banyak 100 juta. Dalam RUU Cipta Kerja sanksi pidana untuk pelanggaran hal-hal tersebut di atas dihilangkan. "Selain itu, masih banyak sanksi pidana lain yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja," kata Said Iqbal.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8089 seconds (0.1#10.140)