Omnibus Law Dinilai Hanya untuk Kepentingan Kapitalis

Selasa, 11 Februari 2020 - 18:49 WIB
Omnibus Law Dinilai...
Omnibus Law Dinilai Hanya untuk Kepentingan Kapitalis
A A A
JAKARTA - Pemerintah berniat untuk menyederhanakan sejumlah peraturan perundang-undangan dan aturan turunannya melalui konsep Omnibus Law.

Mengacu pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, ada empat rancangan undang-Undang (RUU) dalam pembahasan Omnibus Law, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja (CLK), Sistem Perpajakan, Farmasi, dan Ibu Kota Baru.

Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan agar publik tidak betul-betul menjadi bodoh maka hal yang perlu dikenali adalah cara berpikir dari seluruh isu yang mau dibuat dalam RUU ini.

Menurut dia, jika selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa Omnibus Law diperlukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan beragam dalih lainnya, sebenarnya itu merupakan alasan klasik.

”Ini isu lama, ini isu klasik. Urusannya ini adalah mengakumulasi kekayaan alam, sumber-sumber ekonomi itu kepada kapitalis. Tidak kurang, tidak lebih,” ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi bertema RUU Omnibus Law, Mana yang Prioritas, Mana yang Penting? di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2020).

Margarito mencontohkan, dalam RUU CLK ini, beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa pemerintah sedang menggodok sistem upah pekerja yang bakal dihitung per jam untuk pekerja yang jam kerjanya 35 jam ke bawah per minggu. Sementara standar jam kerja di Indonesia 40 jam seminggu.

Rencana pembayaran upah kerja dengan sistem per jam ini rencananya akan dimasukkan di dalam RUU CLK yang diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia.

”Ini yang mesti dikenali. Cara mereka berpikir, cara kapitalis, mengkadali. Selalu mereka menggunakan hukum untuk mengakumulasi secara vertikal seluruh sumber daya ekonomi ke tangan mereka dengan serangan law,” katanya. (Baca Juga: Pemerintah Putuskan Tak Pulangkan WNI Eks ISIS)

Menurut dia, wacana pemerintah yang akan mengatur pekerjaan berdasarkan hitungan jam kerja, dipastikan akan berdampak hilangnya sejumlah kewajiban pengusaha yang selama ini diberikan kepada buruh.

”Kita bebaskan seluruh kewajiban pengusaha kepada pekerja. Pengusaha untung di satu sisi ya, pekerja belum tentu. Apa yang teman-teman kita dapat dari pekerja dari perusahaan sekarang, pasti hilang pada saat itu, dan itu masuk akal. Misalnya hak pensiun, hak dapat jaminan kesehatan dan lain- lain itu hilang dengan sendirinya karena bekerja secara jam-jam-an,” tuturnya.

Karena itu, dirinya menanyakan dalih Omnibus Law dibuat untuk menyejahterakan rakyat. ”Siapa yang sejahtera kalau seperti ini polanya? Yang sejahtera perusahan, iya, sedangkan rakyat tidak, dan tidak mungkin,” paparnya.

Menurut dia, hal paling pokok dari isu Omnibus Law adalah bagaimana kita bisa mengenali cara berpikir khas kapitalis dalam menghabisi orang-orang kecil.

”Tidak ada cerita lain kecuali UU ini dibalikin, bisa kita kenal dalam instrumen untuk mengakumulasi kekayaan-kekayaan atau sumber-sumber alam, sumber-sumber ekonomi itu pada korporasi besar. Tidak kurang dan tidak lebih. Karena itulah yang terjadi dalam sejarah tentang undang-undang yang dipakai oleh para kapitalis itu,” paparnya.

Margarito mencontohkan pembentukan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang dilahirkan di Jekyll Island, otaknya adalah Nelson Aldrich, Rockefeller, JP Morgan, Henry P Davidson.
”Orang itu tulis di Jekyll Island di law-nya Morgan di drafnya itu, ini adalah puncak pertempuran mereka karena Amerika itu pernah tidak punya Bank Nasional dari tahun 1836-1912 itu, dan 70 tahun lebih dan prakarsanya datang dari swasta,” katanya.

Karena itu, sambung dia, publik harus pintar mengenali upaya pemerintah membuat Omnibus Law jika tidak ingin tertipu. Margarito menilai dalam pembahasan RUU Omnibus Law ini, pemerintah sudah tidak memandang DPR sebagai elemen penting sebuah negara, namun hanya sebagai subordinat dari pemerintah saja.

”Terakhir saya mau bilang sekali lagi, cermati betul cara berpikir kapitalis dalam menggunakan hukum, membelokkan hukum. Kapitalis dimanapun selalu mengandalkan hukum sebagai instrumen akumulasi vertikal dan horizontal, tidak ada yang lain,” katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6575 seconds (0.1#10.140)