HIMPUNI Gelar Diskusi Bahas RUU Omnibus Law
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Organisasi Alumni Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (HIMPUNI) menggelar diskusi secara intensif dan komprehensif membahas RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan. Diskusi yang di Sekretariat IKA UNDIP Jalan Lembang No. 47 Menteng, Jakarta Pusat ini dibagi dalam sembilan seri.
Seri pertama yang digelar Kamis 6 Februari 2020 lalu, membahas "Review Konsep Omnibus & Struktur Perundangan di Indonesia". Diskusi Himpuni ini dibuka oleh Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin didampingi Maryono, Ketua Umum IKA Undip selaku Koordinator Presidium III Himpuni.
Azis mengatakan, hingga saat ini DPR belum menerima Rancangan Undang-undang Omnibus Law. Sehingga DPR, lanjut Azis, belum bisa mengagendakan menggelar Rapat Pimpinan (Rapim) maupun Rapat Badan Musyawarah (Bamus).
"Kami sampaikan secara resmi kita belum bisa menerima RUU Omnibus Law baik itu mengenai cipta lapangan kerja dan perpajakan plus dalam hal ini adalah naskah akademisnya. Sehingga dari pimpinan DPR tadi berkoordinasi belum bisa membawa ini ke dalam paripurna," ujar Azis dalam diskusi.
Azis mengungkapkan, belum diterimanya draft RUU Omnibus Law itu karena masih ada beberapa perbaikan-perbaikan atau finalisasi yang harus dilakukan secara formal. "Kan DPR baru bisa melakukan (rapat) masalah subtansi, masalah admistrasi, apa masalah tatib dan mekanisme setelah kita terima resmi. Pada saat ini belum kita terima resmi, kan kita ga bisa berpandangan," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama hadir juga Edmon Makarim, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Edmon berpandangan bahwa RUU Omnibus bukan hal yang tidak mungkin direalisasikan jika Pemerintah mempunyai sistem kodifikasi yang baik."Bukan hal yang tidak mungkin tapi kalau tidak mempunyai sistem kodifikasi. Mohon maaf ini cuman isapan jempol belaka karena bukan membuat penyelesaian masalah malah menambah masalah baru," kata Edmon.
Edmon pun sangat mendukung dan bersemangat untuk merealisasikan RUU Omnibus Law dengan catatan pemeritah harus memiliki sistem kodifikasi yang baik."Jadi saya setuju semangatnya mari kita rapikan konsistensi hukum di Indonesia tapi caranya bahwa negara ini harus semangat disitu, harus menciptakan sistem (kodifikasi) itu," ungkap Edmon.
Namun, dia menegaskan jika Omnibus Law tanpa sistem kodifikasi hukum nasional cenderung tidak akan efektif dan akan membuat masalah baru
"Boleh jadi malah akan membuat suatu masalah baru, kecuali jika pemerintah mau mengakomodir sistem kodifikasi informasi hukum yang mampu menjabarkan landscaping of law," tuturnya.
Sedangkan narasumer lain, Akhmad Muqowam menyampaikan, bahwa bicara tentang Omnibus Law tidak akan bisa dilepaskan dari tata cara legislasi pembentukan UU yang harus berdasar pada UU 12/2011, yang beberapa bab dan pasal diperbaharui dalam UU 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Jangan sampai pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah meniadakan UU PPP tersebut, sebab bisa menjadi pemicu bagi stakeholder terkait untuk mempersoalkan dari aspek tata cara pembentukan UU. Disamping juga, pembentuk UU seharusnya mencermati secara intens terhadap UU Omnibus yang dibentuk, maupun UU yang diambil pasalnya yang bersumber dari puluhan UU, dan juga implikasi hukumnya.
Saya kira Pemerintah sudah mengantisipasi secara menyeluruh terhadap Omnibus, walau juga sangat tergantung pembahasannya di DPR. Harapan masyarakat tentulah UU tersebut bukan menciptakan masalah, tetapi mensolusi masalah, itu konten terpentingnya.
Seri pertama yang digelar Kamis 6 Februari 2020 lalu, membahas "Review Konsep Omnibus & Struktur Perundangan di Indonesia". Diskusi Himpuni ini dibuka oleh Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin didampingi Maryono, Ketua Umum IKA Undip selaku Koordinator Presidium III Himpuni.
Azis mengatakan, hingga saat ini DPR belum menerima Rancangan Undang-undang Omnibus Law. Sehingga DPR, lanjut Azis, belum bisa mengagendakan menggelar Rapat Pimpinan (Rapim) maupun Rapat Badan Musyawarah (Bamus).
"Kami sampaikan secara resmi kita belum bisa menerima RUU Omnibus Law baik itu mengenai cipta lapangan kerja dan perpajakan plus dalam hal ini adalah naskah akademisnya. Sehingga dari pimpinan DPR tadi berkoordinasi belum bisa membawa ini ke dalam paripurna," ujar Azis dalam diskusi.
Azis mengungkapkan, belum diterimanya draft RUU Omnibus Law itu karena masih ada beberapa perbaikan-perbaikan atau finalisasi yang harus dilakukan secara formal. "Kan DPR baru bisa melakukan (rapat) masalah subtansi, masalah admistrasi, apa masalah tatib dan mekanisme setelah kita terima resmi. Pada saat ini belum kita terima resmi, kan kita ga bisa berpandangan," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama hadir juga Edmon Makarim, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Edmon berpandangan bahwa RUU Omnibus bukan hal yang tidak mungkin direalisasikan jika Pemerintah mempunyai sistem kodifikasi yang baik."Bukan hal yang tidak mungkin tapi kalau tidak mempunyai sistem kodifikasi. Mohon maaf ini cuman isapan jempol belaka karena bukan membuat penyelesaian masalah malah menambah masalah baru," kata Edmon.
Edmon pun sangat mendukung dan bersemangat untuk merealisasikan RUU Omnibus Law dengan catatan pemeritah harus memiliki sistem kodifikasi yang baik."Jadi saya setuju semangatnya mari kita rapikan konsistensi hukum di Indonesia tapi caranya bahwa negara ini harus semangat disitu, harus menciptakan sistem (kodifikasi) itu," ungkap Edmon.
Namun, dia menegaskan jika Omnibus Law tanpa sistem kodifikasi hukum nasional cenderung tidak akan efektif dan akan membuat masalah baru
"Boleh jadi malah akan membuat suatu masalah baru, kecuali jika pemerintah mau mengakomodir sistem kodifikasi informasi hukum yang mampu menjabarkan landscaping of law," tuturnya.
Sedangkan narasumer lain, Akhmad Muqowam menyampaikan, bahwa bicara tentang Omnibus Law tidak akan bisa dilepaskan dari tata cara legislasi pembentukan UU yang harus berdasar pada UU 12/2011, yang beberapa bab dan pasal diperbaharui dalam UU 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Jangan sampai pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah meniadakan UU PPP tersebut, sebab bisa menjadi pemicu bagi stakeholder terkait untuk mempersoalkan dari aspek tata cara pembentukan UU. Disamping juga, pembentuk UU seharusnya mencermati secara intens terhadap UU Omnibus yang dibentuk, maupun UU yang diambil pasalnya yang bersumber dari puluhan UU, dan juga implikasi hukumnya.
Saya kira Pemerintah sudah mengantisipasi secara menyeluruh terhadap Omnibus, walau juga sangat tergantung pembahasannya di DPR. Harapan masyarakat tentulah UU tersebut bukan menciptakan masalah, tetapi mensolusi masalah, itu konten terpentingnya.
(whb)