DPR Masukkan RUU Daerah Kepulauan di Prolegnas Prioritas 2020
A
A
A
JAKARTA - DPR resmi memasukkan RUU Daerah Kepulauan dari daftar target 50 rancangan undang-undang (RUU) program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Wacana beleid itu merupakan satu-satunya usulan DPD yang bakal dibahas legislatif tahun ini.
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono menyatakan, masuknya RUU itu sebagai bentuk perjuangan untuk pemerataan pembangunan di daerah, terutama daerah kepulauan. Masih banyak persoalan di daerah kepulauan yang mencakup kesejahteraan, keamanan, pendidikan, kemiskinan, dan pengangguran. “Ini upaya untuk menjawab persoalan pembangunan di kepulauan karena stigma tertinggal dan kemiskinan itu masih di sana,” ucap Nono berharap beleid itu segera disahkan.
Bila tak diwujudkan dalam undangundang, Nono memprediksi bakal menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Apalagi, kalau ditempuh dengan merevisi peraturan yang ada, justru terlalu banyak aturan yang harus diperbaiki. “Kalau turunnya PP, itu tidak akan bisa merevisi undang-undang. Karena itu, harus ada undang-undang yang khusus mengatur tentang ini,” tegas senator dari Provinsi Maluku itu.
Nono menilai, baik DPD maupun DPR sudah sepakat untuk mempercepat pembahasan RUU ini. Semangatnya sama, yakni ingin memajukan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat daerah kepulauan. Hanya saja, regulasi yang ada belum memberikan modal pembangunan yang layak di sana.
Sumber daya daerah kepulauan memiliki nilai sangat besar. Namun, pengelolaan sumber daya masih terpusat. Daerah masih sulit memanfaatkan karena belum ada dukungan kuat dari sisi regulasi.
Eks Ketua Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, Jhon Pieris, menyoroti hal yang sama. Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi kepulauan dalam mengelola perikanan dan sumber daya kelautan masih terbatas. Ini lantaran tumpang tindih aturan dalam UU. Menurutnya, RUU ini menjadi pintu masuk untuk bargaining kapasitas fiskal di daerah kepulauan. “Kalau diharapkan dari APBN dan PAD saja agak sulit untuk kita mengejar ketertinggalan sehingga dana khusus untuk daerah kepulauan menjadi syarat mutlak,” kata Jhon.
Saat ini, ada delapan provinsi dan 86 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai daerah kepulauan. Adapun yang masuk kategori provinsi kepulauan tersebut, yaitu Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.
Menilik Pasal 1 dalam draf RUU No.4 Tahun 2017 tentang Daerah Kepulauan, pengertian daerah kepulauan adalah daerah yang memiliki karakteristik secara geografis dengan wilayah lautan lebih luas dari daratan yang di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi satu kesatuan geografis dan sosial budaya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mendukung RUU tersebut. Ada tiga poin pentingnya beleid itu harus disahkan menjadi undang-undang.
Pertama, mengenai kekhususan daerah atau disebut desentralisasi asimetris. Sektor pendidikan, misalnya. Umumnya urusan pendidikan sekolah menengah itu ada di tingkat provinsi. “Kalau daerah kepulauan enggak bisa. Kebanyakan itu diurus kabupaten/kota. Kabupaten Mentawai, misalnya, tidak pernah dikunjungi oleh pemerintah provinsi termasuk kepala dinasnya. Bagaimana mau mengurus pendidikan, tapi tidak mengunjungi kabupaten?” kata Robert kepada Efi Susiyanti dari SINDO Weekly.
Kedua, dana khusus kepulauan (DKK). Selama ini, dana percepatan pembangunan di daerah kepulauan itu sudah lama tidak dilirik negara. Karena itu, Pasal 30 RUU Daerah Kepulauan 2017 disebutkan, pemerintah mengalokasikan DKK paling sedikit 5% dari dan di luar pagu dana transfer umum. “Nah, usulan saya dana itu diberikan ke daerah kepulauan. Kalau hitungan angkanya, sekitar Rp24–25 triliun,” terangnya.
Terakhir, ruang pengelolaan. Hal ini terkait pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut. Dalam konteks otonomi umum, kewenangan daerah terhadap pengelolaan laut sangat terbatas.
Jalan Panjang
RUU ini sebenarnya sudah lama diperjuangkan. Dimulai sejak 10 Agustus 2005 melalui Deklarasi Ambon yang didukung delapan provinsi berbasis kepulauan. Kemudian, beleid itu diajukan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan nomenklatur RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (RUU PPDK) pada 2014.
Namun, usulan DPR itu ditolak oleh pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi. Menurut dia, bila rancangan itu disahkan, tetapi tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaannya, akan menimbulkan masalah hukum yang memicu konflik antar-susunan pemerintahan dan antardaerah. Di samping itu, berpotensi juga menimbulkan gangguan hubungan Indonesia dengan negara tetangga.
Ia pun mengusulkan seluruh pasal, ayat, dan bagian RUU tersebut diintegrasikan ke dalam RUU Pemda. Sebab, RUU Pemda yang tengah dibahas DPR, DPD, dan pemerintah sebagai pengganti UU 32/2004 mengatur khusus daerah provinsi berciri kepulauan.
Selain itu, pemerintah juga mewantiwanti agar RUU PPDK tidak mematok persentase alokasi dana pembangunan daerah kepulauan. Sebab, upaya itu bisa tersendat-sendat karena terkunci oleh ketentuan berbagai undang-undang yang mengaveling anggaran belanja negara.
“Bukan kami tidak memperhatikan daerah kepulauan. Marilah kita susun peraturan yang ideal. Pemerintah sepakat untuk memajukan daerah kepulauan, tapi pembahasannya harus holistik dan integral. Kasihan kabinet mendatang, hanya dapat beban anggaran belanja. Kabinet mendatang akan menghadapi persoalan besar,” ucap Gamawan mengingatkan.
Sebaliknya, DPD bersama perwakilan Kemenkumham, Kemenlu, dan Kementerian PPN/Bappenas menolak usulan pengintegrasian. Alasannya, konsep itu justru menyebabkan semangat mempercepat pembangunan daerah kepulauan akan kehilangan roh.
Alhasil, pembahasan itu akhirnya deadlock alias tanpa hasil. RUU PPDK tak kunjung disahkan. Wacana itu justru diakomodasi dan masuk di Pasal 27–30 UU No. 23/2014 tentang Pemerintah dan Daerah (UU Pemda) yang dianggap tak menjadi solusi jitu terhadap daerah kepulauan. Lalu, akankah RUU Daerah Kepulauan bakal disahkan atau sebaliknya malah kembali deadlock alias tanpa hasil menjadi undangundang?
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono menyatakan, masuknya RUU itu sebagai bentuk perjuangan untuk pemerataan pembangunan di daerah, terutama daerah kepulauan. Masih banyak persoalan di daerah kepulauan yang mencakup kesejahteraan, keamanan, pendidikan, kemiskinan, dan pengangguran. “Ini upaya untuk menjawab persoalan pembangunan di kepulauan karena stigma tertinggal dan kemiskinan itu masih di sana,” ucap Nono berharap beleid itu segera disahkan.
Bila tak diwujudkan dalam undangundang, Nono memprediksi bakal menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Apalagi, kalau ditempuh dengan merevisi peraturan yang ada, justru terlalu banyak aturan yang harus diperbaiki. “Kalau turunnya PP, itu tidak akan bisa merevisi undang-undang. Karena itu, harus ada undang-undang yang khusus mengatur tentang ini,” tegas senator dari Provinsi Maluku itu.
Nono menilai, baik DPD maupun DPR sudah sepakat untuk mempercepat pembahasan RUU ini. Semangatnya sama, yakni ingin memajukan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat daerah kepulauan. Hanya saja, regulasi yang ada belum memberikan modal pembangunan yang layak di sana.
Sumber daya daerah kepulauan memiliki nilai sangat besar. Namun, pengelolaan sumber daya masih terpusat. Daerah masih sulit memanfaatkan karena belum ada dukungan kuat dari sisi regulasi.
Eks Ketua Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, Jhon Pieris, menyoroti hal yang sama. Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi kepulauan dalam mengelola perikanan dan sumber daya kelautan masih terbatas. Ini lantaran tumpang tindih aturan dalam UU. Menurutnya, RUU ini menjadi pintu masuk untuk bargaining kapasitas fiskal di daerah kepulauan. “Kalau diharapkan dari APBN dan PAD saja agak sulit untuk kita mengejar ketertinggalan sehingga dana khusus untuk daerah kepulauan menjadi syarat mutlak,” kata Jhon.
Saat ini, ada delapan provinsi dan 86 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai daerah kepulauan. Adapun yang masuk kategori provinsi kepulauan tersebut, yaitu Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.
Menilik Pasal 1 dalam draf RUU No.4 Tahun 2017 tentang Daerah Kepulauan, pengertian daerah kepulauan adalah daerah yang memiliki karakteristik secara geografis dengan wilayah lautan lebih luas dari daratan yang di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi satu kesatuan geografis dan sosial budaya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mendukung RUU tersebut. Ada tiga poin pentingnya beleid itu harus disahkan menjadi undang-undang.
Pertama, mengenai kekhususan daerah atau disebut desentralisasi asimetris. Sektor pendidikan, misalnya. Umumnya urusan pendidikan sekolah menengah itu ada di tingkat provinsi. “Kalau daerah kepulauan enggak bisa. Kebanyakan itu diurus kabupaten/kota. Kabupaten Mentawai, misalnya, tidak pernah dikunjungi oleh pemerintah provinsi termasuk kepala dinasnya. Bagaimana mau mengurus pendidikan, tapi tidak mengunjungi kabupaten?” kata Robert kepada Efi Susiyanti dari SINDO Weekly.
Kedua, dana khusus kepulauan (DKK). Selama ini, dana percepatan pembangunan di daerah kepulauan itu sudah lama tidak dilirik negara. Karena itu, Pasal 30 RUU Daerah Kepulauan 2017 disebutkan, pemerintah mengalokasikan DKK paling sedikit 5% dari dan di luar pagu dana transfer umum. “Nah, usulan saya dana itu diberikan ke daerah kepulauan. Kalau hitungan angkanya, sekitar Rp24–25 triliun,” terangnya.
Terakhir, ruang pengelolaan. Hal ini terkait pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut. Dalam konteks otonomi umum, kewenangan daerah terhadap pengelolaan laut sangat terbatas.
Jalan Panjang
RUU ini sebenarnya sudah lama diperjuangkan. Dimulai sejak 10 Agustus 2005 melalui Deklarasi Ambon yang didukung delapan provinsi berbasis kepulauan. Kemudian, beleid itu diajukan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan nomenklatur RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (RUU PPDK) pada 2014.
Namun, usulan DPR itu ditolak oleh pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi. Menurut dia, bila rancangan itu disahkan, tetapi tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaannya, akan menimbulkan masalah hukum yang memicu konflik antar-susunan pemerintahan dan antardaerah. Di samping itu, berpotensi juga menimbulkan gangguan hubungan Indonesia dengan negara tetangga.
Ia pun mengusulkan seluruh pasal, ayat, dan bagian RUU tersebut diintegrasikan ke dalam RUU Pemda. Sebab, RUU Pemda yang tengah dibahas DPR, DPD, dan pemerintah sebagai pengganti UU 32/2004 mengatur khusus daerah provinsi berciri kepulauan.
Selain itu, pemerintah juga mewantiwanti agar RUU PPDK tidak mematok persentase alokasi dana pembangunan daerah kepulauan. Sebab, upaya itu bisa tersendat-sendat karena terkunci oleh ketentuan berbagai undang-undang yang mengaveling anggaran belanja negara.
“Bukan kami tidak memperhatikan daerah kepulauan. Marilah kita susun peraturan yang ideal. Pemerintah sepakat untuk memajukan daerah kepulauan, tapi pembahasannya harus holistik dan integral. Kasihan kabinet mendatang, hanya dapat beban anggaran belanja. Kabinet mendatang akan menghadapi persoalan besar,” ucap Gamawan mengingatkan.
Sebaliknya, DPD bersama perwakilan Kemenkumham, Kemenlu, dan Kementerian PPN/Bappenas menolak usulan pengintegrasian. Alasannya, konsep itu justru menyebabkan semangat mempercepat pembangunan daerah kepulauan akan kehilangan roh.
Alhasil, pembahasan itu akhirnya deadlock alias tanpa hasil. RUU PPDK tak kunjung disahkan. Wacana itu justru diakomodasi dan masuk di Pasal 27–30 UU No. 23/2014 tentang Pemerintah dan Daerah (UU Pemda) yang dianggap tak menjadi solusi jitu terhadap daerah kepulauan. Lalu, akankah RUU Daerah Kepulauan bakal disahkan atau sebaliknya malah kembali deadlock alias tanpa hasil menjadi undangundang?
(ysw)