Penduduk Rentan Miskin Sensitif Turun Kelas
A
A
A
Harus diakui, pemerintah sukses menekan angka kemiskinan di bawah 10%, namun jangan sampai membuat lengah. Pasalnya, masih terdapat 115 juta atau sekitar 45% penduduk Indonesia dalam kategori rentan miskin atau setiap saat bisa kembali dalam kategori miskin lagi. Demikian terungkap dalam laporan teranyar dari Bank Dunia yang bertema "Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class". Kelompok rentan miskin itu, dalam versi Bank Dunia, adalah kelompok yang berhasil meninggalkan garis kemiskinan, namun belum mampu masuk dalam kelompok kelas menengah. Di sisi lain, masa depan Indonesia justru terletak pada kelompok calon kelas menengah.
Dalam 15 tahun terakhir, sebagaimana dipaparkan World Bank Acting Country Director untuk Indonesia, Rolande Pryce, bahwa peningkatan populasi kelas menengah Indonesia menunjukkan perkembangan signifikan dari 7% menjadi 20% dari total penduduk atau setara dengan 52 juta orang. Selain itu, perkembangan pertumbuhan ekonomi dalam setengah abad telah mengubah posisi Indonesia dari salah satu negara termiskin di dunia menjadi negara berpendapatan menengah. Data menunjukkan pada 1967, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tercatat USD 657 per kapita kemudian bertumbuh enam kali lipat yang hampir menyentuh USD 4.000 per kapita.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi kelompok rentan miskin senantiasa tidak masuk kelompok miskin lagi? Kalau mengikuti resep yang ditawarkan Bank Dunia, setiap kebijakan pemerintah harus mendorong kelompok rentan miskin segera masuk ke kelas menengah. Kalau resep itu bisa diaktualisasikan maka secara otomatis dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan. Caranya, bagaimana meningkatkan jumlah penduduk yang lulus pendidikan sekunder dan tersier untuk mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan pada dunia kerja modern.
Selain itu, pemerintah harus menghadirkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif untuk melindungi kelompok rentan miskin dari guncangan. Akses masyarakat terhadap jaminan sosial baik dalam hal kesehatan maupun ketenagakerjaan semakin diperluas. Terkait dengan bidang perpajakan, pemerintah harus memperkuat kebijakan dan administrasi perpajakan sehingga kepatuhan kelompok menengah dalam membayar pajak terus meningkat. Bila pendapatan pemerintah atau realisasi penerimaan pajak semakin besar, kemampuan dalam memberikan layanan sosial dan kesehatan akan semakin membaik.
Sementara itu, publikasi terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap bahwa angka kemiskinan di Indonesia berada kisaran 9,22% pada September 2019. Angka tersebut menunjukkan lebih rendah sekitar 0,19% dibandingkan periode Maret 2019. Persentase penduduk miskin tersebut setara dengan 24,97 orang. Tentu menimbulkan pertanyaan, BPS menggunakan metodologi apa dalam menetapkan angka kemiskinan? Dalam penjelasan resmi, BPS menetapkan angka kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach ). Artinya, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sebesar Rp440.538 per kapita per bulan per September 2019. Dengan demikian, penduduk masuk kategori miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Data BPS menunjukkan sepanjang Maret hingga September 2019, persentase jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun dari 6,69% menjadi 6,56% atau setara dengan 137.000 orang. Persentase jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan juga mengalami penurunan dari sekitar 12,85% menjadi 12,6% atau setara dengan 221.800 orang. Perkembangan penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia cukup menggembirakan meski perubahan angkanya tidak terlalu besar.
Bila menilik faktor penyumbang angka kemiskinan di Indonesia, ternyata pengeluaran pembelian rokok terutama rokok keretek filter, tercatat memberi kontribusi terbesar kedua setelah makanan dalam hal ini beras. Adapun persentase kontribusi rokok tercatat sekitar 11,7% di wilayah perkotaan dan 10,37% di daerah perdesaan. Persentase kontribusi beras mencapai 20,35% di wilayah perkotaan dan 25,82% di daerah perdesaan.
Kita berharap laporan dari Bank Dunia seputar penduduk rentan miskin yang jumlahnya mencapai ratusan juta dan sewaktu-waktu bisa anjlok masuk kategori miskin, harus disikapi serius oleh pemerintah sebab belakangan ini berkembang sejumlah wacana kebijakan yang bisa mengusik keberadaan penduduk yang rentan miskin itu, di antaranya rencana pemerintah yang akan mengubah skema subsidi LPG 3 kilogram dari sebelumnya subsidi barang menjadi subsidi penerima yang berhak. Ditengarai kalau kebijakan tersebut direalisasikan, bakal berpengaruh pada golongan penduduk rentan miskin. Ini persoalan serius.
Dalam 15 tahun terakhir, sebagaimana dipaparkan World Bank Acting Country Director untuk Indonesia, Rolande Pryce, bahwa peningkatan populasi kelas menengah Indonesia menunjukkan perkembangan signifikan dari 7% menjadi 20% dari total penduduk atau setara dengan 52 juta orang. Selain itu, perkembangan pertumbuhan ekonomi dalam setengah abad telah mengubah posisi Indonesia dari salah satu negara termiskin di dunia menjadi negara berpendapatan menengah. Data menunjukkan pada 1967, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tercatat USD 657 per kapita kemudian bertumbuh enam kali lipat yang hampir menyentuh USD 4.000 per kapita.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi kelompok rentan miskin senantiasa tidak masuk kelompok miskin lagi? Kalau mengikuti resep yang ditawarkan Bank Dunia, setiap kebijakan pemerintah harus mendorong kelompok rentan miskin segera masuk ke kelas menengah. Kalau resep itu bisa diaktualisasikan maka secara otomatis dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan. Caranya, bagaimana meningkatkan jumlah penduduk yang lulus pendidikan sekunder dan tersier untuk mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan pada dunia kerja modern.
Selain itu, pemerintah harus menghadirkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif untuk melindungi kelompok rentan miskin dari guncangan. Akses masyarakat terhadap jaminan sosial baik dalam hal kesehatan maupun ketenagakerjaan semakin diperluas. Terkait dengan bidang perpajakan, pemerintah harus memperkuat kebijakan dan administrasi perpajakan sehingga kepatuhan kelompok menengah dalam membayar pajak terus meningkat. Bila pendapatan pemerintah atau realisasi penerimaan pajak semakin besar, kemampuan dalam memberikan layanan sosial dan kesehatan akan semakin membaik.
Sementara itu, publikasi terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap bahwa angka kemiskinan di Indonesia berada kisaran 9,22% pada September 2019. Angka tersebut menunjukkan lebih rendah sekitar 0,19% dibandingkan periode Maret 2019. Persentase penduduk miskin tersebut setara dengan 24,97 orang. Tentu menimbulkan pertanyaan, BPS menggunakan metodologi apa dalam menetapkan angka kemiskinan? Dalam penjelasan resmi, BPS menetapkan angka kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach ). Artinya, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sebesar Rp440.538 per kapita per bulan per September 2019. Dengan demikian, penduduk masuk kategori miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Data BPS menunjukkan sepanjang Maret hingga September 2019, persentase jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun dari 6,69% menjadi 6,56% atau setara dengan 137.000 orang. Persentase jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan juga mengalami penurunan dari sekitar 12,85% menjadi 12,6% atau setara dengan 221.800 orang. Perkembangan penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia cukup menggembirakan meski perubahan angkanya tidak terlalu besar.
Bila menilik faktor penyumbang angka kemiskinan di Indonesia, ternyata pengeluaran pembelian rokok terutama rokok keretek filter, tercatat memberi kontribusi terbesar kedua setelah makanan dalam hal ini beras. Adapun persentase kontribusi rokok tercatat sekitar 11,7% di wilayah perkotaan dan 10,37% di daerah perdesaan. Persentase kontribusi beras mencapai 20,35% di wilayah perkotaan dan 25,82% di daerah perdesaan.
Kita berharap laporan dari Bank Dunia seputar penduduk rentan miskin yang jumlahnya mencapai ratusan juta dan sewaktu-waktu bisa anjlok masuk kategori miskin, harus disikapi serius oleh pemerintah sebab belakangan ini berkembang sejumlah wacana kebijakan yang bisa mengusik keberadaan penduduk yang rentan miskin itu, di antaranya rencana pemerintah yang akan mengubah skema subsidi LPG 3 kilogram dari sebelumnya subsidi barang menjadi subsidi penerima yang berhak. Ditengarai kalau kebijakan tersebut direalisasikan, bakal berpengaruh pada golongan penduduk rentan miskin. Ini persoalan serius.
(pur)