Angin Sahara Barat Merobek Layar (17-bersambung)
A
A
A
Selain angin Sahara Barat, arus dagang tenggara juga ikut mendorong kapal Phoenicia ke barat menuju kawasan West Indies atau Karibia. Terlebih dalam minggu awal Desember, kami merayakan ulang tahun Charlie, Steiner dan Yuri Sanada. Setiap ulang tahun, Maran, David dan Max membuat kue coklat ulang tahun.
Hampir sempurna pelayaran kali ini. Sheima yang sempat mengalami mabuk laut mulai pulih ketika angin Sahara Barat menghampiri kami, bahkan dia memulai tradisi baru di kapal ini. ”Mari kita berdagang,” kata dia. “Aku punya coklat. Kamu punya apa untuk ditukar Dirman?” tanya Sheima ke Sudirman. Yang ditanya hanya diam, pasalnya dia hanya memiliki rokok sebagai bekal pribadi.
“Bagaimana kalau tisu gulung mu, saya tukar dengan coklat,” pinta Sheima kepada Dirman. Permintaan itu langsung disetujui oleh Dirman. Memang, hanya saya dan Sudirman yang tidak mengambil jatah tisu, sebab kami berdua memang tidak menggunakan tisu sebagai pembersih.
Penjatahan tisu dilakukan, lantaran menjelang hari ke 10, Maran melaporkan persediaan tisu toilet mulai menipis, tinggal 30 gulung. Dia menenggarai kebiasaan kru meninggalkan tisu di toliet seusai membuang hajat menjadi penyebab cepatnya tisu gulung habis. “Kita jatah, satu orang satu tisu gulung hingga 20 hari ke depan,” usul dia. Philip menyetujuinya.
Selain Dirman, yang menjadi mangsa Sheima adalah Charlie. Keponakan Philip itu menukarkan satu bungkus permen dengan sebatang coklat. Sedangkan David, rela menggantikan Sheima saat bertugas mencuci piring untuk mendapatkan tiga potongan coklat batangan.
“Sheima pewaris Phoenicia sejati, dia berhasil berdagang dengan empat kru. Kau tidak berdagang juga, padahal kau membaca buku ‘Negosiasi Dagang Ala Phoenicia’ karangan DR Habib Chamoun,” pancing saya kepada Remi. “Dia terlalu berlebihan,” kilah Remi.
Insinyur pesawat terbang ini mengaku telah melakukan tes DNA untuk membuktikan keturunan Phoenicia. Tapi tidak seperti Sheima yang “berdagang”. Untuk menghilangkan kebosanan selama jam jaga, Remi justru mengajak diskusi Philip, Maran dan David teman jaganya. Adapun tema diskusi lebih banyak tentang keteladanan Yesus Kristus.
Sembari mengisi kebosanan dengan berbagai kesibukan, kami harus tetap waspada. Ini lantaran tingkat kebocoran kapal meningkat. “Mungkin karena tekanan air meningkat seiring dengan laju kapal bertambah kencang,” ujar Dirman. Ucapan Dirman tersebut membuat Philip mencari lubang-lubang air dan segera menambalnya dengan dempul atau semen.
Sayangnya, upaya itu tidak berhasil. Akibatnya, kami harus memompa dengan pompa diesel setiap 4 jam sekali. Padahal, pompa itu sebenarnya hanya untuk kondisi darurat saja. Sedangkan saat kondisi normal, pompa tangan buatan Dirman, dan pompa tangan dengan merek dagang Whale dapat menguras air di lambung dasar kapal. Lambung dasar kapal ini memiliki ambang batas 40 meter kubik, itu di luar kebocoran kapal.
Embusan angin Sahara Barat tidak berhenti kecepatannya hingga 15 Desember, malah kian meningkat. Kondisi itu membuat Philip khawatir akan kekuatan layar dan tiang kapal. Sehingga jika GPS (Global Position System) menunjukkan angka 6 knot hingga 7 knot, segera saja dia memerintahkan mengecilkan layar dengan menarik tali tarik ulur.
“Setiap kecepatan mencapai 6 knot, kau kecilkan layar, sehingga laju kapal berkurang menjadi 4-5 knot. Apakah ini taktik mu, agar tebakanmu sampai tanggal 23 Desember di West Indies tercapai?” tanya Dirman kepada Philip.
“Saya tidak mau layar robek. Kalau robek, kita akan kehilangan waktu satu harian untuk menjahitnya, dan kemudian menaikkan layar lagi,” bantah Philip.
Dirman menjelaskan, dengan mengecilkan layar dengan tali tarik ulur sebenarnya juga membuat gesekan antara tali tali ulur dan kain layar, dan itu berpotensi merobek layar juga. Tapi, Philip tetap kukuh dengan pendapatnya.
Namun, pada 9 Desember atau persis 16 hari di laut, Philip memutuskan untuk menurunkan layar, karena layar bagian tengah robek sepanjang satu meter. “Kita harus memperbaiki layar selian yang robek. Cincin-cincin tempat tali tarik ulur juga banyak yang rusak, perlu diganti,” perintah Philip.
Usai menurunkan layar, segera saja Steiner, Dederik Capelen, Philip, dan Dirman menjahit layar selama empat jam. Tepat pukul 16.00 waktu Samudera Atlantik, kami kembali menaikkan layar.
Hampir sempurna pelayaran kali ini. Sheima yang sempat mengalami mabuk laut mulai pulih ketika angin Sahara Barat menghampiri kami, bahkan dia memulai tradisi baru di kapal ini. ”Mari kita berdagang,” kata dia. “Aku punya coklat. Kamu punya apa untuk ditukar Dirman?” tanya Sheima ke Sudirman. Yang ditanya hanya diam, pasalnya dia hanya memiliki rokok sebagai bekal pribadi.
“Bagaimana kalau tisu gulung mu, saya tukar dengan coklat,” pinta Sheima kepada Dirman. Permintaan itu langsung disetujui oleh Dirman. Memang, hanya saya dan Sudirman yang tidak mengambil jatah tisu, sebab kami berdua memang tidak menggunakan tisu sebagai pembersih.
Penjatahan tisu dilakukan, lantaran menjelang hari ke 10, Maran melaporkan persediaan tisu toilet mulai menipis, tinggal 30 gulung. Dia menenggarai kebiasaan kru meninggalkan tisu di toliet seusai membuang hajat menjadi penyebab cepatnya tisu gulung habis. “Kita jatah, satu orang satu tisu gulung hingga 20 hari ke depan,” usul dia. Philip menyetujuinya.
Selain Dirman, yang menjadi mangsa Sheima adalah Charlie. Keponakan Philip itu menukarkan satu bungkus permen dengan sebatang coklat. Sedangkan David, rela menggantikan Sheima saat bertugas mencuci piring untuk mendapatkan tiga potongan coklat batangan.
“Sheima pewaris Phoenicia sejati, dia berhasil berdagang dengan empat kru. Kau tidak berdagang juga, padahal kau membaca buku ‘Negosiasi Dagang Ala Phoenicia’ karangan DR Habib Chamoun,” pancing saya kepada Remi. “Dia terlalu berlebihan,” kilah Remi.
Insinyur pesawat terbang ini mengaku telah melakukan tes DNA untuk membuktikan keturunan Phoenicia. Tapi tidak seperti Sheima yang “berdagang”. Untuk menghilangkan kebosanan selama jam jaga, Remi justru mengajak diskusi Philip, Maran dan David teman jaganya. Adapun tema diskusi lebih banyak tentang keteladanan Yesus Kristus.
Sembari mengisi kebosanan dengan berbagai kesibukan, kami harus tetap waspada. Ini lantaran tingkat kebocoran kapal meningkat. “Mungkin karena tekanan air meningkat seiring dengan laju kapal bertambah kencang,” ujar Dirman. Ucapan Dirman tersebut membuat Philip mencari lubang-lubang air dan segera menambalnya dengan dempul atau semen.
Sayangnya, upaya itu tidak berhasil. Akibatnya, kami harus memompa dengan pompa diesel setiap 4 jam sekali. Padahal, pompa itu sebenarnya hanya untuk kondisi darurat saja. Sedangkan saat kondisi normal, pompa tangan buatan Dirman, dan pompa tangan dengan merek dagang Whale dapat menguras air di lambung dasar kapal. Lambung dasar kapal ini memiliki ambang batas 40 meter kubik, itu di luar kebocoran kapal.
Embusan angin Sahara Barat tidak berhenti kecepatannya hingga 15 Desember, malah kian meningkat. Kondisi itu membuat Philip khawatir akan kekuatan layar dan tiang kapal. Sehingga jika GPS (Global Position System) menunjukkan angka 6 knot hingga 7 knot, segera saja dia memerintahkan mengecilkan layar dengan menarik tali tarik ulur.
“Setiap kecepatan mencapai 6 knot, kau kecilkan layar, sehingga laju kapal berkurang menjadi 4-5 knot. Apakah ini taktik mu, agar tebakanmu sampai tanggal 23 Desember di West Indies tercapai?” tanya Dirman kepada Philip.
“Saya tidak mau layar robek. Kalau robek, kita akan kehilangan waktu satu harian untuk menjahitnya, dan kemudian menaikkan layar lagi,” bantah Philip.
Dirman menjelaskan, dengan mengecilkan layar dengan tali tarik ulur sebenarnya juga membuat gesekan antara tali tali ulur dan kain layar, dan itu berpotensi merobek layar juga. Tapi, Philip tetap kukuh dengan pendapatnya.
Namun, pada 9 Desember atau persis 16 hari di laut, Philip memutuskan untuk menurunkan layar, karena layar bagian tengah robek sepanjang satu meter. “Kita harus memperbaiki layar selian yang robek. Cincin-cincin tempat tali tarik ulur juga banyak yang rusak, perlu diganti,” perintah Philip.
Usai menurunkan layar, segera saja Steiner, Dederik Capelen, Philip, dan Dirman menjahit layar selama empat jam. Tepat pukul 16.00 waktu Samudera Atlantik, kami kembali menaikkan layar.
(mhd)