Berkompromi dengan Angin Sahara Barat (16-bersambung)
A
A
A
Selain menimbulkan penyakit, kapal bisa dilarang masuk pelabuhan Marina di kawasan Karibia jika tikus bersarang di lambungnya. Alhasil, mau tidak mau seluruh kru berjibaku membasmi tikus yang bersarang di kapal, dengan cara apapun. Bahkan, perangkap yang dibuat Yuri dilengkapi dengan kamera perekam infrared, agar mampu mengintai gerak-gerik tikus.
Sayangnya, selama dua hari kamera itu hanya menangkap gambar kru kapal yang sedang mengambil persediaan makanan. Malah, Max merasa digerayangi tikus. Entah karena dia lulusan zoologi, sehingga tikus-tikus seperti akrab dengan Max. Dua malam berturut-turut dia melihat tikus berlarian di geladak bagian haluan.
“Kita tidak bisa menangkap tikus sementara ini. Tapi kita bisa melindungi makanan kita dengan mengolesi gemuk tempat penyimpanan makanan, supaya tikus enggan mendekat,” usul saya. Usul itu dikerjakan oleh Remi dan David.
Disibukkan dengan berburu tikus, tak terasa kami sudah berada 21 derajat lintang utara dan 21 bujur barat pada hari ke sepuluh. Angin Sahara Barat mulai menguat di posisi itu, sehingga laju kapal mencapai 6 knot. Haluan mulai diarahkan ke 240 dari 200. “Kita mulai ke barat,” ucap Philip.
Selama itu pula, tanda-tanda peradaban tidak terlihat. Jika malam hari, saat cahaya rembulan redup maka kami dapat menyaksikan milkway dan belasan kali bintang jatuh. Sedangkan siang harinya, hanya hamparan samudera luas berwarna biru dengan gulungan ombak terbentang.
Pagi itu, 7 Desember 2019, saat Remi hendak mengambil jus mangga untuk persiapan makan pagi, dia melihat perangkap tikus buatan Yuri di kabin belakang, dan mendengar suara mencicit. ”Cit..cit..citt,” tiru dia.
”Ada tikus…” teriak Remi. Semua terjaga. Dan benar saja, di dalam perangkap Yuri ada tikus yang sedang mengerat pintu untuk membebaskan diri. “Apa saya bilang, sekali lagi saya menyelamatkan kalian,” teriak Yuri gembira.
Kami semua bertepuk tangan, tanda terima kasih atas upaya Yuri. Tapi malang bagi tikus itu. Kapten Philip sudah memutuskan untuk mengeksekusi tikus itu dengan menenggelamkannya ke laut. Tugas itu dilakukan oleh keponakannya, Charlie Beale dengan disaksikan 12 kru Pheonicia of Southampton.
Memasuki hari kesepuluh sejak meninggalkan pelabuhan Marian San Miquel, kami sudah berada di 21 derajat lintang selatan. Haluan kapal mulai diarahkan ke 240 derajat, dan kapal Phoenicia of Southampton mulai didorong ke barat oleh angin Sahara Barat.
Angin yang berasal dari gurun Sahara Barat itu selama sepuluh hari diramalkan akan berembus dengan kekuatan 4-5, dari skala 10. Itu artinya kecepatan angin akan berembus 20 knot hingga 25 knot. Jika layar kapal Phoenicia terkembang sempurna, maka dapat membukukan kecepatan 4-5 knot. Kru kapal kian riang. Sebab setelah mengeksekusi tikus, kami dapat membukukan 100 NM hingga 120 NM dalam 24 jam.
“Ayo kita tebakan, tanggal berapa kita mencapai titik mula kawasan West Indies 59 bujur barat,” kata Philip kepada krunya. Satu persatu kru mulai mengisi tanggal dan waktu sampai di West Indies. Tebakan kru mulai dari paling pesimistis, yakni Maran, di tanggal 25 Desember 2019. Dan paling optimistis saya, yakni di tanggal 19 Desember.
Dengan kecepatan angin tersebut, hamparan samudera di sekitar kami dipenuhi titik-titik putih akibat pecahan ombak. Alunan ombak dengan ketinggian 2-3 meter secara konsisten mengiringi kami dalam pelayaran ini. “Kapal ini seperti naik dan turun bukit,” kata Dirman. Dia menjelaskan, sepanjang arah angin dan arus tidak berlawanan, maka tinggi gelombang bukan menjadi soal.
Sayangnya, selama dua hari kamera itu hanya menangkap gambar kru kapal yang sedang mengambil persediaan makanan. Malah, Max merasa digerayangi tikus. Entah karena dia lulusan zoologi, sehingga tikus-tikus seperti akrab dengan Max. Dua malam berturut-turut dia melihat tikus berlarian di geladak bagian haluan.
“Kita tidak bisa menangkap tikus sementara ini. Tapi kita bisa melindungi makanan kita dengan mengolesi gemuk tempat penyimpanan makanan, supaya tikus enggan mendekat,” usul saya. Usul itu dikerjakan oleh Remi dan David.
Disibukkan dengan berburu tikus, tak terasa kami sudah berada 21 derajat lintang utara dan 21 bujur barat pada hari ke sepuluh. Angin Sahara Barat mulai menguat di posisi itu, sehingga laju kapal mencapai 6 knot. Haluan mulai diarahkan ke 240 dari 200. “Kita mulai ke barat,” ucap Philip.
Selama itu pula, tanda-tanda peradaban tidak terlihat. Jika malam hari, saat cahaya rembulan redup maka kami dapat menyaksikan milkway dan belasan kali bintang jatuh. Sedangkan siang harinya, hanya hamparan samudera luas berwarna biru dengan gulungan ombak terbentang.
Pagi itu, 7 Desember 2019, saat Remi hendak mengambil jus mangga untuk persiapan makan pagi, dia melihat perangkap tikus buatan Yuri di kabin belakang, dan mendengar suara mencicit. ”Cit..cit..citt,” tiru dia.
”Ada tikus…” teriak Remi. Semua terjaga. Dan benar saja, di dalam perangkap Yuri ada tikus yang sedang mengerat pintu untuk membebaskan diri. “Apa saya bilang, sekali lagi saya menyelamatkan kalian,” teriak Yuri gembira.
Kami semua bertepuk tangan, tanda terima kasih atas upaya Yuri. Tapi malang bagi tikus itu. Kapten Philip sudah memutuskan untuk mengeksekusi tikus itu dengan menenggelamkannya ke laut. Tugas itu dilakukan oleh keponakannya, Charlie Beale dengan disaksikan 12 kru Pheonicia of Southampton.
Memasuki hari kesepuluh sejak meninggalkan pelabuhan Marian San Miquel, kami sudah berada di 21 derajat lintang selatan. Haluan kapal mulai diarahkan ke 240 derajat, dan kapal Phoenicia of Southampton mulai didorong ke barat oleh angin Sahara Barat.
Angin yang berasal dari gurun Sahara Barat itu selama sepuluh hari diramalkan akan berembus dengan kekuatan 4-5, dari skala 10. Itu artinya kecepatan angin akan berembus 20 knot hingga 25 knot. Jika layar kapal Phoenicia terkembang sempurna, maka dapat membukukan kecepatan 4-5 knot. Kru kapal kian riang. Sebab setelah mengeksekusi tikus, kami dapat membukukan 100 NM hingga 120 NM dalam 24 jam.
“Ayo kita tebakan, tanggal berapa kita mencapai titik mula kawasan West Indies 59 bujur barat,” kata Philip kepada krunya. Satu persatu kru mulai mengisi tanggal dan waktu sampai di West Indies. Tebakan kru mulai dari paling pesimistis, yakni Maran, di tanggal 25 Desember 2019. Dan paling optimistis saya, yakni di tanggal 19 Desember.
Dengan kecepatan angin tersebut, hamparan samudera di sekitar kami dipenuhi titik-titik putih akibat pecahan ombak. Alunan ombak dengan ketinggian 2-3 meter secara konsisten mengiringi kami dalam pelayaran ini. “Kapal ini seperti naik dan turun bukit,” kata Dirman. Dia menjelaskan, sepanjang arah angin dan arus tidak berlawanan, maka tinggi gelombang bukan menjadi soal.
(mhd)