Terlalu Lama Tanpa Wagub

Rabu, 22 Januari 2020 - 06:03 WIB
Terlalu Lama Tanpa Wagub
Terlalu Lama Tanpa Wagub
A A A
TERLALU lama DKI Jakarta tanpa wakil gubernur (wagub). Hampir satu setengah tahun. Tepatnya sejak Agustus 2018 saat Sandiaga Uno mundur dari jabatan sebagai wagub DKI karena mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

Sejak saat itu pula Gubernur DKI Anies Baswedan bekerja "sendirian". Meskipun ada sekretaris daerah, beberapa kepala dinas maupun wali kota, peran wagub cukup penting. Memang kondisi ini pernah terjadi. Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok yang saat itu wagub naik menjadi gubernur karena Joko Widodo maju menjadi calon presiden dan akhirnya terpilih menjadi presiden.

Akhirnya Djarot Saiful Hidayat menjadi wagub. Begitu juga ketika Ahok terjerat kasus hukum, Djarot juga harus memimpin sendirian. Namun keduanya memang tidak terlalu lama.

Saat ini dua nama telah diajukan Partai Gerindra dan PKS (dua partai politik pengusung pasangan Anies-Sandi di Pilkada 2017) untuk jadi wagub, yaitu Ahmad Riza Patria dan Nurmansyah Lubis. Kedua nama ini sudah diserahkan ke Anies dan akan dibahas di DPRD DKI.

Harapannya proses ini bisa berlangsung cepat agar bisa langsung bekerja mendampingi Anies membangun DKI. Anies sendiri sudah berpesan agar bekerja sesuai dengan visi dan misi yang telah dicanangkan pada 2017 lalu.

"Siapa pun cawagub, dia harus mengikuti visi-misi 2017-2022," ujar Anies di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (20/1).

Tentu wagub yang terpilih nanti mau tidak mau harus mengikuti yang sudah dilakukan Anies. Apalagi 2022 tinggal dua tahun lagi. Memang terlalu lama DKI tidak memiliki wagub. Ini tidak lepas dari tarik ulur kepentingan politik dua partai pendukung Anies-Sandi pada Pilkada 2017.

Partai Gerindra dan PKS tentu sebagai partai pemenang pada Pilkada 2017 punya kepentingan politik saat ini atau di masa datang. Waktu tarik ulur kepentingan dua parpol inilah yang sebenarnya bisa dihemat. Karena yang justru dirugikan adalah kepentingan rakyat DKI.

Anies memang mengaku kepada publik bisa tetap bekerja sendiri. Namun tetap saja persoalan DKI yang begitu kompleks tetap membutuhkan peran wagub. Kepentingan politik memang lumrah terjadi karena memang parpol memiliki peran yang besar dalam pemilihan kepala daerah. Namun sekali lagi kekosongan posisi wagub di DKI sudah terlalu lama.

Kondisi ini tidak lepas dari posisi Anies yang memang bukan kader partai. Baik Partai Gerindra maupun PKS. Adapun Sandi adalah kader Gerindra. Kedua partai merasa berhak untuk mengisi posisi wagub. Di awal-awal pun sempat terjadi perdebatan antarkedua parpol tentang kader siapa yang berhak mengisi posisi wagub.

Tanpa restu keduanya memang, nama wagub tidak bisa dibahas di DPRD. Perlu ada kata sepakat antara Partai Gerindra dan PKS. Membutuhkan waktu hampir satu setengah tahun untuk menemukan jalan tengah. Kedua nama dari kader parpol masing-masing akhirnya disodorkan. Dan sekarang bola ada di tangan DPRD.

Tidak dapat dimungkiri tarik ulur ini juga berkaitan dengan investasi politik untuk Pilkada 2022 nanti. Tentu kader siapa yang duduk di posisi wagub mempunyai peluang terbuka untuk bertanding lagi di Pilkada 2022. Bukan hanya sebagai wagub, bisa juga sebagai gubernur.

Karena ada peluang Anies juga akan maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024 nanti. Kepentingan politik ini yang tampaknya diukur oleh kedua parpol tersebut. Harapannya pada Pilkada 2022 nanti kader yang menjadi wagub pendamping Anies bisa mendongkrak "prestasi" parpol dan tentu harapannya berjaya di Pilkada 2022.

Namun di atas adalah kepentingan parpol. Ada kepentingan publik yang semestinya diperhatikan. Persoalan DKI yang begitu kompleks semestinya juga diukur, bukan hanya kepentingan politik masa depan. Inilah persoalan yang acap kali terjadi di negeri ini.

Parpol tampaknya belum bisa menyinkronkan kepentingan parpol dengan kepentingan publik. Memang di atas kertas, kepentingan parpol adalah kepentingan publik. Namun dalam praktiknya itu tidak terjadi. Selama kepentingan parpol dan publik belum sinkron, akan muncul gejolak di masyarakat.

Lantas jika hal itu sering terjadi, parpol justru akan dijauhi publik. Menjadi pembelajaran bagi parpol, pemerintah, dan masyarakat. Idealnya tentu yang di atas kertas sesuai dengan apa yang ada di publik. Biar terjadi keselarasan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4992 seconds (0.1#10.140)