Kasus PT GWP, Hakim Diminta Tolak Semua Dakwaan
A
A
A
JAKARTA - Tim penasihat hukum terdakwa Harijanto Karjadi, pemilik dan Direktur Utama PT Geria Wijaya Prestige/GWP (Hotel Kuta Paradiso) meminta majelis hakim menolak seluruh dakwaan jaksa penuntut umum, serta membebaskan dan merehabilitasi nama baik kliennya.
Menurut tim penasihat hukum yang dikoordinir Petrus Bala Pattyona tersebut, baik dakwaan kesatu yaitu menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Ayat (1) atau dakwaan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Ayat (2) atau dakwaan ketiga tentang penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP tidak terbukti.
Hal ini seperti terungkap dalam nota pembelaan setebal 176 halaman yang dibacakan bergantian oleh tim penasihat hukum Harijanto Karjadi, antara lain Berman Sitompul, Alfred Simanjuntak, Dessy Widyawati dan Benyamin Seran, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis 16 Januari 2020.
"(Kami memohon majelis hakim) menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu atau dakwaan kedua atau dakwaan ketiga," ungkapnya.
Tim penasihat hukum juga memohon majelis hakim memerintahkan JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya untuk segera mengeluarkan terdakwa Harijanto Karjadi dari Rutan Kerobokan. Dalam sidang sebelumnya, JPU meminta majelis hakim menjatuhkan pidana selama 3 tahun penjara terhadap Harijanto Karjadi.
Tim penasihat hukum berpendapat berdasarkan uraian yuridis dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan telah terbukti tidak ada satupun saksi yang dapat memastikan atau menerangkan perbuatan terdakwa Harijanto Karjadi memberikan keterangan palsu dalam akta otentik atau tindak pidana penggelapan.
"Semua saksi yang memberikan keterangan tidak pernah menyaksikan, mengalami, melihat atau mendengar perbuatan terdakwa Harijanto Karjadi," ungkap nota pembelaan tersebut.
Selain itu, terbukti dalam persidangan bahwa semua saksi yang memberikan keterangan dalam BAP adalah saksi-saksi yang diarahkan oleh penyidik untuk memberikan pendapat berdasarkan bahan-bahan berupa surat yang disodorkan penyidik untuk dipelajari dan memberikan keterangan.
"Telah terbukti dalam akta notaris I Gusti Ayu Nilawati dalam Akta Nomor 10 tanggal 14 November 2011 tidak ditemukan peran atau keadaan yang membuktikan bahwa terdakwa sebagai pelaku atau menyuruh melakukan atau turut serta sebagai pelaku tindak pidana," tegas nota pembelaan tersebut.
Di sisi lain, RUPS Perubahan Susunan Pengurus dan Pengalihan Saham dalam PT GWP telah memperoleh persetujuan dari Fireworks Ventures Limited selaku kreditur yang telah membeli hak tagih yang dijual BPPN melalui PPAK VI, setelah sebelumnya oleh GWP diajukan Surat Permohonan Persetujuan.
Dengan demikian pengalihan saham dalam PT GWP tersebut telah memenuhi ketentuan dalam Akta Perjanjian Pemberian Kredit Nomor 8, tanggal 28 November 1995.
Tim penasihat hukum Harijanto juga menegaskan bahwa terbukti bahwa pelapor (Tomy Winata) bukan pihak yang berkepentingan melaporkan tindak pidana menempatkan keterangan palsu yang dibuat dalam Akta Notaris I Gusti Ayu Nilawati Nomor 10 tanggal 14 November 2011 karena Tomy Winata baru memiliki Hak Tagih berdasarkan Cessie tanggal 12 Februari 2018 dari Bank CCB Indonesia.
Apalagi, papar pembelaan itu, terbukti legalitas Tomy Winata sebagai pihak yang berkepentingan dan memiliki hak tagih telah ditolak oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat sesuai putusan perkara Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 18 Juli 2019, dan terhadap putusan tersebut telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sdalam Putusan Nomor: 702/PDT/2019/PT.DKI tanggal 26 Desember 2019.
Tim penasihat hukum menilai proses penyidikan hingga penuntutan terhadap Harijanto Karjadi penuh rekayasa karena tidak didasari bukti permulaan yang cukup, karena laporan Desrizal, yang bertindak atas nama Tomy Winata, tidak didukung bukti-bukti.
Apalagi bukti berupa Akta Notaris I Gusti Ayu Nilawati Nomor 10 tanggal 14 November 2011 dalam kenyataannya ada beberapa versi, yaitu yang ada pada penyidik, JPUdan majelis hakim berbeda dengan yang ada pada Kementerian Hukum dan HAM.
Tim penasihat hukum juga menilai bahwa Harijanto Karjadi ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, tanpa prosedur hukum, baik menurut hukum Indonesia atau hukum di Negara Malaysia sehingga muncul polemik di Parlemen Malaysia atas pelanggaran Kedaulatan Negara Malaysia yang dilakukan Kepolisian Polda Bali.
Di sisi lain, terdakwa menjalani masa penahanan yang menyimpang dari pasal-pasal penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 KUHAP tentang Penahanan dengan mengenakan pasal-pasal dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diancam dengan pidana 9 tahun agar sesuai dengan Pasal 29 KUHAP, sehingga terdakwa dapat ditahan selama 120 hari, padahal Pasal TPPU tidak didakwakan kepada terdakwa.
"Telah terbukti dakwaan yang disusun berdasarkan berkas penyidik tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup dan masih bersinggungan dengan perkara perdata," ungkap nota pembelaan tersebut.
Menurut tim penasihat hukum yang dikoordinir Petrus Bala Pattyona tersebut, baik dakwaan kesatu yaitu menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Ayat (1) atau dakwaan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Ayat (2) atau dakwaan ketiga tentang penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP tidak terbukti.
Hal ini seperti terungkap dalam nota pembelaan setebal 176 halaman yang dibacakan bergantian oleh tim penasihat hukum Harijanto Karjadi, antara lain Berman Sitompul, Alfred Simanjuntak, Dessy Widyawati dan Benyamin Seran, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis 16 Januari 2020.
"(Kami memohon majelis hakim) menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu atau dakwaan kedua atau dakwaan ketiga," ungkapnya.
Tim penasihat hukum juga memohon majelis hakim memerintahkan JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya untuk segera mengeluarkan terdakwa Harijanto Karjadi dari Rutan Kerobokan. Dalam sidang sebelumnya, JPU meminta majelis hakim menjatuhkan pidana selama 3 tahun penjara terhadap Harijanto Karjadi.
Tim penasihat hukum berpendapat berdasarkan uraian yuridis dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan telah terbukti tidak ada satupun saksi yang dapat memastikan atau menerangkan perbuatan terdakwa Harijanto Karjadi memberikan keterangan palsu dalam akta otentik atau tindak pidana penggelapan.
"Semua saksi yang memberikan keterangan tidak pernah menyaksikan, mengalami, melihat atau mendengar perbuatan terdakwa Harijanto Karjadi," ungkap nota pembelaan tersebut.
Selain itu, terbukti dalam persidangan bahwa semua saksi yang memberikan keterangan dalam BAP adalah saksi-saksi yang diarahkan oleh penyidik untuk memberikan pendapat berdasarkan bahan-bahan berupa surat yang disodorkan penyidik untuk dipelajari dan memberikan keterangan.
"Telah terbukti dalam akta notaris I Gusti Ayu Nilawati dalam Akta Nomor 10 tanggal 14 November 2011 tidak ditemukan peran atau keadaan yang membuktikan bahwa terdakwa sebagai pelaku atau menyuruh melakukan atau turut serta sebagai pelaku tindak pidana," tegas nota pembelaan tersebut.
Di sisi lain, RUPS Perubahan Susunan Pengurus dan Pengalihan Saham dalam PT GWP telah memperoleh persetujuan dari Fireworks Ventures Limited selaku kreditur yang telah membeli hak tagih yang dijual BPPN melalui PPAK VI, setelah sebelumnya oleh GWP diajukan Surat Permohonan Persetujuan.
Dengan demikian pengalihan saham dalam PT GWP tersebut telah memenuhi ketentuan dalam Akta Perjanjian Pemberian Kredit Nomor 8, tanggal 28 November 1995.
Tim penasihat hukum Harijanto juga menegaskan bahwa terbukti bahwa pelapor (Tomy Winata) bukan pihak yang berkepentingan melaporkan tindak pidana menempatkan keterangan palsu yang dibuat dalam Akta Notaris I Gusti Ayu Nilawati Nomor 10 tanggal 14 November 2011 karena Tomy Winata baru memiliki Hak Tagih berdasarkan Cessie tanggal 12 Februari 2018 dari Bank CCB Indonesia.
Apalagi, papar pembelaan itu, terbukti legalitas Tomy Winata sebagai pihak yang berkepentingan dan memiliki hak tagih telah ditolak oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat sesuai putusan perkara Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 18 Juli 2019, dan terhadap putusan tersebut telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sdalam Putusan Nomor: 702/PDT/2019/PT.DKI tanggal 26 Desember 2019.
Tim penasihat hukum menilai proses penyidikan hingga penuntutan terhadap Harijanto Karjadi penuh rekayasa karena tidak didasari bukti permulaan yang cukup, karena laporan Desrizal, yang bertindak atas nama Tomy Winata, tidak didukung bukti-bukti.
Apalagi bukti berupa Akta Notaris I Gusti Ayu Nilawati Nomor 10 tanggal 14 November 2011 dalam kenyataannya ada beberapa versi, yaitu yang ada pada penyidik, JPUdan majelis hakim berbeda dengan yang ada pada Kementerian Hukum dan HAM.
Tim penasihat hukum juga menilai bahwa Harijanto Karjadi ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, tanpa prosedur hukum, baik menurut hukum Indonesia atau hukum di Negara Malaysia sehingga muncul polemik di Parlemen Malaysia atas pelanggaran Kedaulatan Negara Malaysia yang dilakukan Kepolisian Polda Bali.
Di sisi lain, terdakwa menjalani masa penahanan yang menyimpang dari pasal-pasal penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 KUHAP tentang Penahanan dengan mengenakan pasal-pasal dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diancam dengan pidana 9 tahun agar sesuai dengan Pasal 29 KUHAP, sehingga terdakwa dapat ditahan selama 120 hari, padahal Pasal TPPU tidak didakwakan kepada terdakwa.
"Telah terbukti dakwaan yang disusun berdasarkan berkas penyidik tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup dan masih bersinggungan dengan perkara perdata," ungkap nota pembelaan tersebut.
(maf)