Pakar Sebut Pengalihan Saham Masuk Ranah Perdata
A
A
A
JAKARTA - Pengalihan saham suatu perseroan disebut adalah ranah perdata, sehingga kalau ada pihak yang merasa dirugikan dengan peristiwa tersebut mestinya melakukan gugatan perdata.
Hal tersebut disampaikan Muzakir, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ketika menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dan penggelapan dengan terdakwa Harijanto Karjadi, pemilik dan Direktur PT Geria Wijaya Prestige (Hotel Kuta Pradiso) di Pengadilan Negeri Denpasar, Rabu, 8 Januari 2020.
"Pengalihan saham suatu perseroan terbatas adalah perkara perdata, tidak bisa dipidanakan," ujar Muzakir, Jumat (10/1/2020).
Turut menjadi saksi ahli, mantan hakim agung Profesor M Yahya Harahap. Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa.
Ketua majelis hakim H Sobandi sempat mengingatkan tim penasihat hukum dan jaksa penuntut umum untuk tidak membahas masalah tindak pidana pencucian uang (TPPU), karena dakwaan saja tidak memuat soal TPPU.
Perkara tersebut merupakan tindaklanjut dari laporan yang dibuat Desrizal selaku kuasa hukum pengusaha Tomy Winata pada 27 Februari 2018. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, Tomy Winata mengaku menderita kerugian lebih dari USD 20 juta sehubungan dengan dugaan pidana pemberian keterangan palsu dan penggelapan tersebut.
Muzakir menjelaskan, kalau dalam akta otentik pengalihan saham yang berstatus digadaikan sebagai jaminan utang itu ada pihak yang merasa dirugikan, maka yang bersangkutan harus menempuh jalur perdata.
"Sementara kalau ada kesalahan dalam akta otentik, bisa direnvoi atau diperbaiki karena bersifat administratif," katanya.
Muzakir juga menggarisbawahi pihak ketiga yang menerima pengalihan piutang tidak bisa mengklaim suatu kerugian terkait kepemilikan piutangnya tersebut atas suatu peristiwa yang terjadi sebelum dia membeli atau menerima pengalihan piutang tersebut.
"Jadi pemegang piutang yang baru tidak punya hak atau legal standing atas peristiwa di masa lalu. Yang punya legal standing adalah pemegang piutang saat peristiwa itu terjadi," jelasnya.
Seperti terungkap dalam dakwaan jaksa penuntut umum yang dikoordinir I Ketut Sujaya, Tomy Winata diketahui membeli dan menerima pengalihan piutang dari PT China Construction Bank Indonesia (CCBI) Tbk pada 12 Februari 2018.
Serta beberapa waktu berselang, yaitu pada 27 Februari 2018 melalui kuasa hukumnya Desrizal membuat laporan polisi di Ditreskrimsus Polda Bali terkait dengan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dan penggelapan dengan terlapor Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi.
Peristiwa dugaan pemberian keterangan palsu itu sendiri merujuk pada akta pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 12 November 2011 atau berselang hampir tujuh tahun sebelum Tomy Winata menerima pengalihan piutang dari Bank CBBI pada 12 Februari 2018.
Hal tersebut disampaikan Muzakir, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ketika menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dan penggelapan dengan terdakwa Harijanto Karjadi, pemilik dan Direktur PT Geria Wijaya Prestige (Hotel Kuta Pradiso) di Pengadilan Negeri Denpasar, Rabu, 8 Januari 2020.
"Pengalihan saham suatu perseroan terbatas adalah perkara perdata, tidak bisa dipidanakan," ujar Muzakir, Jumat (10/1/2020).
Turut menjadi saksi ahli, mantan hakim agung Profesor M Yahya Harahap. Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa.
Ketua majelis hakim H Sobandi sempat mengingatkan tim penasihat hukum dan jaksa penuntut umum untuk tidak membahas masalah tindak pidana pencucian uang (TPPU), karena dakwaan saja tidak memuat soal TPPU.
Perkara tersebut merupakan tindaklanjut dari laporan yang dibuat Desrizal selaku kuasa hukum pengusaha Tomy Winata pada 27 Februari 2018. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, Tomy Winata mengaku menderita kerugian lebih dari USD 20 juta sehubungan dengan dugaan pidana pemberian keterangan palsu dan penggelapan tersebut.
Muzakir menjelaskan, kalau dalam akta otentik pengalihan saham yang berstatus digadaikan sebagai jaminan utang itu ada pihak yang merasa dirugikan, maka yang bersangkutan harus menempuh jalur perdata.
"Sementara kalau ada kesalahan dalam akta otentik, bisa direnvoi atau diperbaiki karena bersifat administratif," katanya.
Muzakir juga menggarisbawahi pihak ketiga yang menerima pengalihan piutang tidak bisa mengklaim suatu kerugian terkait kepemilikan piutangnya tersebut atas suatu peristiwa yang terjadi sebelum dia membeli atau menerima pengalihan piutang tersebut.
"Jadi pemegang piutang yang baru tidak punya hak atau legal standing atas peristiwa di masa lalu. Yang punya legal standing adalah pemegang piutang saat peristiwa itu terjadi," jelasnya.
Seperti terungkap dalam dakwaan jaksa penuntut umum yang dikoordinir I Ketut Sujaya, Tomy Winata diketahui membeli dan menerima pengalihan piutang dari PT China Construction Bank Indonesia (CCBI) Tbk pada 12 Februari 2018.
Serta beberapa waktu berselang, yaitu pada 27 Februari 2018 melalui kuasa hukumnya Desrizal membuat laporan polisi di Ditreskrimsus Polda Bali terkait dengan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dan penggelapan dengan terlapor Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi.
Peristiwa dugaan pemberian keterangan palsu itu sendiri merujuk pada akta pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 12 November 2011 atau berselang hampir tujuh tahun sebelum Tomy Winata menerima pengalihan piutang dari Bank CBBI pada 12 Februari 2018.
(maf)