Soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, PDIP Salahkan Menkes

Kamis, 09 Januari 2020 - 18:18 WIB
Soal Kenaikan Iuran...
Soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, PDIP Salahkan Menkes
A A A
JAKARTA - Pemerintah telah memutuskan untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas sejak 1 Januari 2020 lalu. Kenaikan ini mengacu pada Perpres Nomor 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning mengatakan, meski acuan dari kenaikan ini adalah perpres yang ditandatangani presiden, namun menurutnya keluarnya perpres ini karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan masukan yang keliru dari para pembantunya, dalam hal ini Menteri Kesehatan (Menkes). Apalagi, program kesehatan merupakan salah satu program unggulan pemerintahan Jokowi. (Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS Dinilai Melukai Rakyat)

"Mungkin bukan kesalahan Pak Jokowi, tapi menteri-menterinya harusnya bisa mengambil makna dan bisa menangkap dan bisa menuangkan. Jangan gini lho, inikan BPJS unggulan pemerintahan Jokowi, jangan Jokowi malah dibuli karena (kenaikan) BPJS. Ini (soal kesehatan) kan sangat hakiki," kata Ribka Tjiptaning di Jakarta, Kamis (9/1/2020).

Ribka mengatakan, DPR sesuai dengan aspirasi masyarakat sudah tegas menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal itu sudah disuarakan di rapat kerja (Raker) dengan Menkes bahwa memang hak sehat masyarakat merupakan tanggung jawab negara. "Kalaupun rakyat mau bayar, itu harusnya negara berterima kasih. Nah kalaupun ada kenaikan, rakyat menolak, ya seharusnya itu didengar," papar lulusan Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini. (Baca juga: Sri Mulyani Setop Suntikan Dana ke BPJS Kesehatan)

Menurutnya, persoalan kesejahteraan rakyat dan kesehatan merupakan hal yang sudah tidak perlu diperdebatkan lagi sehingga harus dieksekusi. "Karena sekarang lagi didiskusikan, berapa orang lagi yang mati, gitu kan. harusnya eksekusi. Kalau negara bisanya menjamin kelas tiga, ya penting itu dulu. Orang punya hak yang sama dulu, soal orang mau memanfaatkan atau tidak, tapi punya rasa aman dulu. Suatu saat saya sakit negara menjamin meskipun itu di kelas tiga. Itu dulu, tapi kan kayaknya tidak didengar," urainya.

Hal ini terjadi karena presiden mendapatkan laporan yang keliru dari kementerian dan juga BPJS Kesehatan dengan selalu ditakut-takui jika tidak ada kenaikan iuran maka negara akan rugi.

"Jadi yang ditakut-takuti kan persoalan rugi, rugi lagi, data yang carut-marut. Kalau aku lihat Jokowi juga terpancing untuk bicara bahwa ini lho pemerintah sudah menjamin sekian triliun. Bukan itu, justru (pemahamannya) harus dibalik bahwa masih ada masyarakat yang tidak bisa dilayani, masih ada yang ditolak rumah sakit dan itu melanggar konstitusi," katanya.

Seharusnya, para menteri memberikan masukan kepada presiden bahwa sesuai undang-undang, tidak boleh ada rakyat yang tertolak oleh rumah sakit dan tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan. "Ini lho undang undangnya. Ini lho konstitusi yang bicara. Program kesehatan kan unggulan Jokowi," urainya.

Karena itu, Ribka menusulkan agar ada rapat kabinet khusus yang membahas persoalan BPJS. Sehingga tidak ada lagi Presiden bagi-bagi Kartu Indonesia Sehat (KIS), tapi di sisi lain KIS ditolak pihak rumah sakit dengan alasan ruangan sudah penuh.

"Ini sudah ada kapitalisme. Ini berani gak Menteri Kesehatan bahwa kelas tiga semua rumah sakit swasta maupun negeri dibayar oleh negara. Soal orang mau memanfaatkan atau tidak terserah. Tapi paling tidak sudah ada statemen dari pemerintah bahwa kelas tiga dijamin negara karena memang uangnya hanya cukup untuk itu, itu dulu," paparnya.

Dikatakan Ribka, dalam berbagai rapat dengan pemerintah, DPR sudah menyampaikan menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan sesuai dengan aspirasi rakyat. Jika ternyata pemerintah tidak mendengarkan kemauan rakyat, dirinya mengusulkan kepada Ketua Komisi IX DPR agar ke depan tidak perlu lagi ada pertemuan dengan Menkes maupun Direktur BPJS Kesehatan sampai pemerintah mau mendengarkan masukan DPR. "Ini kan percuma saja kalau cuma seremoni. Setiap masa sidang rapat mendengarkan ini, itu, tapi usulan tidak pernah didengar, ini kan lucu," keluhnya.

Menurutnya, jika pemerintah bisa mengalokasikan dana desa hingga Rp72 triliun maka tidak alasan bagi pemerintah untuk tidak bisa mengalokasikan anggaran bagi layanan kelas III.

"Inilah perlunya pembantu-pembantu Presiden ini memberikan masukan yang akurat. Dana desa saja Rp72 triliun, kenapa tidak bisa kelas tiga dibiayai negara. Bisa sebetulnya, bisalah. Sangat bisa. Cuma kemauan politiknya ada nggak. Ini politik kesehatannya kemana? kalau cari orang pinter banyak," urainya.

Diketahui, pemerintah telah menaikan iuran BPJS Kesehatan yang didasarkan pada Perpres Nomor 75/2019 berlaku mulai Januari 2020. Untuk jenis kepesertaan pekerja bukan penerima upah (PBPU) dengan perincian kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000, kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp160.000. Selain itu penyesuaian iuran juga dilakukan bagi pekerja penerima upah (PPU) pemerintah dan PPU swasta.

Selanjutnya untuk jenis kepesertaan penerima bantuan iuran (PBI) dari APBN dan penduduk yang didaftarkan pemda (PBI APBD) disesuaikan dari Rp23.000 menjadi Rp42.000 berlaku per Agustus 2019. Khusus PBI APBD untuk tahun 2019 selisih Rp19.000 ditanggung pemerintah pusat.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7925 seconds (0.1#10.140)